mimbaruntan.com, Untan – Mengenang era Reformasi 1998, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalimantan Barat (Kalbar) gelar “Aksi Diam” bersama 4 orang perwakilan beberapa jejaring yang ada di Pontianak. Aksi Diam menjejaki jalan Masjid Mujahidin dan Tugu Digulis Pontianak pada Minggu, (21/05).
Dalam aksi itu terbentang poster bertuliskan “25 Tahun Reformasi Dikuasai Oligarki”, serta dibagikan stiker yang bertuliskan “25 Tahun Reformasi, Kalbar Udah Ngapain Aja?” Ivan selaku Kepala LBH Kalbar mengungkap pembagian stiker ditargetkan kepada masyarakat sekitar yang berlalu-lalang, guna merefleksikan dan menumbuhkan kesadaran terhadap keadilan masyarakat yang belum sejahtera akibat kebijakan reformasi.
“Sayangnya, sampai sekarang masyarakat masih ada yang belum sejahtera, masyarakat adat bahkan belum diakui sampai hari ini, undang-undangnya tidak pernah disepakati sama DPR dan pemerintah sampai hari ini. Pencemaran lingkungan masih merajalela, korupsi masih ada di mana-mana, kelompok minoritas atau kelompok lain masih didiskriminasi, dan petani masih digusur lahannya. Semua ini mencerminkan bahwa 25 tahun Indonesia memasuki era reformasi, demokrasi masih jauh dari yang diharapkan pada saat reformasi 25 tahun yang lalu dilakukan,” jelasnya.
Meski sudah 25 tahun masa reformasi tidak ada perubahan yang signifikan, oligarki kini berkuasa menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan.
“Sebelum reformasi yang berkuasa adalah para elit, kalau sekarang malah oligarki yang berkuasa. Dalam oligarki ini, para pemilik modal menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan dan menggunakan kekuasaan mereka hanya untuk kepentingan kelompok mereka. Jadi, jika dibandingkan dengan masa sebelum reformasi, tidak ada perubahan yang signifikan, karena oligarki ini masih dikuasai oleh orang-orang yang memiliki modal besar, ” ungkap Ivan.
Baca Juga: Dua Puluh Dua Tahun Tidak Ada Kejelasan Hilangnya Aktivis Reformasi 1998
Ivan mengharapkan agar kita tak melupakan negara pernah berada pada masa kelam di mana rezim otoriter itu berkuasa, kebebasan sipil dibelenggu habis-habisan, kebebasan pers serta kesejahteraan rakyat tak diperhatikan.
“Upaya kita ke depan adalah bagaimana supaya kita tidak kembali, tidak mundur ke masa-masa yang kelam itu kemudian kita maju untuk mempertahankan demokrasi ini, mempertahankan pemenuhan asasi manusia bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemudian yang salah satu caranya adalah kita menolak untuk dikuasai oleh oligarki,” tutur Ivan.
Lulu selaku peserta aksi dari yayasan Suara Asa Khatulistiwa (SAKA) juga menanggapi dampak reformasi tersebut, sebagai masyarakat sipil tidak merasakan sama sekali kebebasan itu. Demokrasi hanyalah sebuah kata tanpa penerapan.
“Di era 98 itu berat, karena yang dilawan itu adalah pemimpin langsung, kalau sekarang yang kita lawan kita gak tau siapa yang kita lawan. Kenapa oligarki itu dianggap dia lebih berbahaya daripada pemerintahan otoriter? Karena kalau dari oligarki itu dia kayak susah untuk dilihat, kalau misalnya dulu itu terpusat Suharto sementara yang lainnya itu adalah kaki tangannya Suharto kan dulu gitu, kalau sekarang lebih terdesentralisasi, menyebar tapi ya daya rusaknya bahkan lebih besar, ” ungkapnya.
Baca Juga: Menolak Lupa Tragedi Trisakti 1998 dan Tindakan Represif Aparat
Mengenang kilas balik 98 di mana banyak konflik antar etnis bahkan pemerkosaan terhadap etnis tertentu terjadi di Kalbar sendiri.
“Dari 98 sampai sekarang masih ada kekerasan seksual masih terjadi di mana-mana, konflik terkait etnis juga masih terus ada sampai sekarang, ” papar Lulu.
Lulu turut menyampaikan harapan apapun masalah dan pelanggaran yang terjadi, negara harus mengambil posisi sesuai dengan mandat perundang-undangan.
“Sebagaimana negara sesuai dengan yang dimandatkan pada undang-undang. Negara harus menempatkan diri jangan tiba-tiba mendiskriminasi. Sesuaikan saja dengan apa yang telah diratifikasi oleh undang-undang, ” tutur Lulu penuh harap.
Penulis: Sima dan Wahyu
Editor: Mira