Lapar. Anakku menangis. Dua hari sudah, tak ada sesuap nasi pun mengganjal lambung kami. Penghasilan suamiku yang hanya seorang pemulung tak mampu menafkahi istri dan anaknya. Seorang anak berumur satu tahun, harus tumbuh besar tanpa pernah merasakan makanan bergizi.
“Tak perlu yang bergizi yang penting kenyang.” Kata suamiku.
“Emangnya kau mau, anakmu ini kurang gizi?” Tanyaku padanya.
“Emangnya kamu dia mati kelaparan?” Tanyanya balik.
Dasar suami tak berguna. Tak mau berkerja lebih keras. Tak mau membanting tulang lebih kuat. Yang dia tau hanya memungut sampah. Sudah lelah aku menyuruhnya mencari pekerjaan lain. Selalu saja, susah mencari pekerjaan di ibu kota menjadi alasan.
“Dasar pemalas! Kau tak bisa mencari pekerjaan lain?” Tanyaku.
“Susah mencari pekerjaan di ibu kota.” Alasannya.
“Aku sudah bosan hidup seperti ini!” Teriakku pada lelaki pemalas itu.
“Yang sabar sayang! Aku telah melamar pekerjaan kesana kemari. Tapi belum ada satu pun yang mau menerimaku. Tak ada yang mau menerima seseorang yang hanya tamat SMA sepertiku. Kamu syukuri apa yang ada. Ini saja sudah cukup buat kita sekeluarga. Pekerjaan yang aku lakukan pun halal. Insya Allah berkah untuk keluarga kita.” Katanya berusaha menghiburku.
“Cukup kata kau? Kita sudah tidak makan dua hari kau bilang cukup? Lebih baik kau cari pekerjaan yang tak halal dari pada kau punya kerjaan halal tapi anak dan istrimu mati keleparan.” Kataku sambil menangis.
Tak ada yang bisa dilakukannya untuk merendam tangisku kecuali pergi tanpa sepatah kata. Setiap hari ia pergi pagi pulang malam. Sesuap nasipun susah, apalagi sebongkah emas.
Ada yang bilang rumahku adalah surgaku. Tapi bagiku rumahku adalah nerakaku. Setiap hari pertengkaran suami istri dan tangisan anak kecil yang kelaparan mengiang. Bau busuk menikam. Tikus-tikus mengintai. Karung semen tak kuasa menahan dingin. Baliho bekas kampanye tak mampu menahan hujan, penuh bolong seperti janji. Di sinilah kami tinggal. Sampah adalah tetangga.
Besok ulang tahun ketiga pernikahan tak berestu ini. Kami saling mencintai. Dunia bagai milik kami berdua. Aku tak pernah mau jauh darinya. Kasih sayangnya membuatku tenggelam ke dalam jurang cinta. Mulut manisnya menerbangkan ku ke langit ketujuh. Pelukannya menghangatkan tubuh. Aku tak mau jauh darinya. Aku rela menyerahkan semua untuknya. Itu dulu. Dulu di waktu SMA.
“Oek…..!!!” Sudah keberapa kalinya dia menangis hari ini.
“Apakah kau tak bisa diam? Aku juga lapar. Bukan hanya kau yang lapar.”
Aku tak tahan mendengar tangisannya. Tangisannya membuat laparku menjadi-jadi. Tiba-tiba seperti ada setan yang merasuk ke tubuhku. Aku sekap wajahnya dengan bantal. Tubuhnya meronta-ronta. Tak lama, tak ada lagi terdengar tangisannya. Tubuhnya diam. Aku senang tak ada suara tangisannya lagi.
“Assalamualaikum” terdengar suara suamiku.
Aku panik. Aku takut dia tau kalau aku yang membunuh anaknya. Tapi tak ada yang bisa aku lakuakan. Pasrah aku menerima amarahnya.
“Ada apa dengan anak kita?” Tanya suamiku sambil menangis takut kehilangan anaknya.
“Dia mati kelaparan. Tak ada yang bisa aku lakukan untuknya.” Jawabku sambil menyakinkannya.
Dia menangis sejadi-jadinya. Seolah-olah anaknya mati karenanya. Tampak jelas penyesalan di wajahnya. Aku tertawa dalam benakku. Aku senang dia tak mengetaui perbuatanku.
Merasa malu karena perbuatannya. Ia membawa jenazah anaknya entah kemana. Hari itu pun menjadi hari terakhir aku melihat suamiku. Semanjak itu ia tak pernah kembali ke rumah. Aku senang. Kini tak ada lagi yang harus aku urus.
Namun, kini harus ku nafkahi diriku sendiri. Aku berpikir, apa yang bisa aku lakukan untuk mendapatkan uang. Ku lihat diriku dari sebuah cermin. Tubuhku begitu menggoda. Aku bisa menggoda pria berdompet tebal. Umurku 21 tahun. Banyak yang mau denganku. Parasku terlihat seksi walau tanpa make up. Dengan tubuh dan wajah seksi, aku bisa mendapatkan uang. Aku bahagia.
Malam ini, aku turun ke alun-alun kota. Dengan rok pendek dan baju berdada rendah. Menjajakan diri ke pria hidung belang. Tak butuh lama aku berdiri di tengah malam. Hanya berselang satu jam kini aku telah di kamar hotel. Kamar yang jauh lebih bagus dari kamarku. Aku hanya perlu membiarkan tubuhku dipermainkan dan dinikmati. Tak hanya kenikamatan, uang tiga ratus ribu diselipkan Om ke dalam kutang. Uang yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhanku.
Aku menikmati pekerjaanku. Malam ke malam. Tak terasa sudah ratusan malam. Aku tau ini hina. Tapi aku sudah terlanjur hina. Menikmati birahi menjadi kini menikmati kehinaan. Dengan hina aku hidup.
Malam ini, tepat malam ke-500 aku menjadi wanita hina. Bosan. Aku harap bisa melepas gelar hina dan menjadi kaya di malam ini.
Tuhan mengabulkan harap setiap yang ingin menjadi baik. Malam terakhirku bersama Bandar. Kata Tante, ia telah menungguku di hotel berbintang dengan kamar termewah. Aku bahagia. Malam ini aku dibayar 50 juta dan tidur di kamar bak kamar raja. Sungguh malam terakir yang penuh makna. Aku pun bingung, kenapa ada orang yang mau bayar kemaluanku semahal itu.
Aku harus lebih cantik dari malam-malam sebelumnya. Luluran. Kerimbat. Baju baru yang super menggoda dan seksi. Wangi semerbak mendominasi penciuman. Semaksimal mungkin aku lakukan untuk malam terakhir.
Kamar 500. Kamar Raja. Aku selir malam ini.
“Tok… tok…. tok….”
Pintu terbuka. Aku langkahkan kaki namun tak ada yang menyambut. Bau harum kamar raja menghampiri penciumanku. Senyuman tipis karena bahagia ini malam terakhir.
Tapi ada yang aneh dari kamar ini. Tak ketemukan seorang pun. Tiba-tiba terdengar bunyi rintikan air dari kamar mandi. Aku mulai berpikir Raja sedang mandi. Aku memutuskan untuk menunggu sambil berbaring di tempat tidur.
Lima menit sudah. Tak kunjung keluar pria itu dari kamar mandi. Aku mencoba melihat pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca buram. Aku terkejut. Tak terlihat bayangan seseorang pun.
Tiba-tiba ada yang menarik kakiku. Aku tersungkur. Kedua tanganku ditarik dan diikat di punggung. Aku meronta. Tak ada yang bisa aku lakukan. Wajahku ditutupinya dengan penutup kepala. Aku hanya bisa teriak. Lalu tubuhku diangkat ke atas kasur. Aku belum bisa melihat wajahnya.
“Hei, bangsat! Masih ingat dengan suara ini? Yang sabar sayang! Aku telah melamar pekerjaan kesana kemari. Tapi belum ada satu pun yang mau menerimaku. Tak ada yang mau menerima seseorang yang hanya tamat SMA sepertiku. Kamu syukuri apa yang ada. Ini saja sudah cukup buat kita sekeluarga. Pekerjaan yang aku lakukan pun halal. Insya Allah berkah untuk keluarga kita.” Menirukan suaranya dulu.
“Kau laki-laki sial? Mantan Suamiku?”
“Rupanya kau masih ingat dengan aku. Oh ya aku bukan mantan suamimu. Aku masih suamimu. Aku belum menceraimu.”
“Terserah kau, yang penting lepaskan aku sekarang!”
Dia buka penutup kepalaku. Terlihat wajahnya yang siap melahap tubuhku. Tiba-tiba ia keluarkan tumpukan uang seratus ribuan.
“Ini untuk kamu semuanya”
“Aku tak butuh uangmu. Dasar laki-laki bajingan!” Aku ludah wajahnya.
“Dasar wanita tak tau diri. Dulu kau menghinaku karena aku miskin. Kini aku kaya raya kau menolakku. Dasar wanita murahan.” Tamparannya mendarat di wajahku.
“Tak sudi aku menerima laki-laki sepertimu lagi.”
Merasa sakit hati, tubuhku ditendang-tendangnya. Bertubi-tubi pukulannya mendarat di wajah aku.
“Minta ampun padaku!”
“Dasar lelaki bajingan! Tak sudi aku minta ampun padamu. Kau yang salah. Kau yang membunuh anak kita.”
“Kau kira aku bodoh? Mana ada orang mati yang mukanya biru karena kelaparan. Bangsat kau.”
Tangisku menjadi-jadi mengingat kelakuanku. Aku hina.
“Bunuh aku! Izinkan aku menyusul anakku. Aku menyesal.”
“Dor!” Sebuah peluru bersarang di perutku.
“Hahaha, kau tau apa yang aku mau. Kita akan berkumpul di Surga.” Tawanya sungguh lepas. Tiba-tiba ia menangis sekeras-kerasnya. Aku tau ia mencintai. Aku tau ia merindu.
“Dor!” Ia tersungkur di tubuhku dengan mengalir darah dari kepalanya.
Di kamar 500. Di malam ke-500. Harapanku terkabul. Malam terakhir
Gilang Habibie