Sebagai kampus dengan predikat nomor satu terbaik se-Kalimantan Barat, sejauh manakah kontribusi yang Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak berikan dalam upaya pemenuhan hak pendidikan. Sebab, hal ini akan terdengar begitu kelu saat berbicara soal hak pendidikan bagi difabel. Padahal pendidikan wajib untuk inklusif agar semua individu punya kesempatan yang setara dalam memperoleh pendidikan.
Dalam membangun lingkungan kampus yang inklusif, tentu saja harus bertahap. Selain sarana-prasarana yang harus dibangun, perlunya wadah pengelolaan pembelajaran bagi difabel serta alokasi dana untuk mengembangkan fasilitas dan sistem layanan bagi mahasiswa difabel. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah (PR) yang besar bagi Untan. Namun, sejauh manakah Untan sudah mempersiapkan diri mewujudkan kampus ramah difabel?
Baca Juga: Fasilitas Penyandang Disabilitas Tersedia di FISIP Untan
Fasilitas Untan, sudahkah ramah difabel?
Sudah lebih dari dua tahun Fadhil berkuliah, mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) semester lima ini masih belum memiliki akses yang layak terhadap fasilitas di kampusnya, Fakultas Teknik (FT) Untan. Seperti akses menuju ruang kelas dan toilet serta koridor yang sempit dirasa kurang cocok digunakan bagi pengguna kursi roda seperti Fadhil. Selain itu, pengurusan berkas-berkas administrasi sulit dilakukan secara mandiri. Sebab itu, dalam proses perkuliahan Fadhil didampingi oleh orangtuanya untuk mendukung mobilitas.
“Lumayan terkendala di bagian pintu masuk juga, aksesibilitas terkhususnya di fakultas Teknik itu banyak tangga ya, dan agak lumayan tinggi juga, jadi agak susah bagi saya gitu,” ungkap Fadhil.
Penyediaan fasilitas bagi difabel telah diatur dalam standar yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Untan yang mengadopsi Pasal 39 Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang standar nasional pendidikan tinggi. Di mana mengharuskan ketersediaan fasilitas berupa pelabelan dengan tulisan braille dan informasi dalam bentuk suara, lerengan (ramp) untuk pengguna kursi roda, jalur pemandu (guiding block) di jalan atau koridor di lingkungan kampus, peta/denah kampus atau gedung dalam bentuk peta/denah timbul dan toilet atau kamar mandi untuk pengguna kursi roda. Dalam ketentuannya standar ini terlaksana paling lambat sebelum 2021.
Ketua LP3M Untan, Oramahi menjelaskan bahwa LP3M Untan bertanggung jawab dalam melakukan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP). Ketika terdapat fakultas yang tidak sesuai standar maka hal tersebut menjadi temuan dalam audit yang dilaksanakan oleh perangkat Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
“Tugas kami sampai batas temuan, tindak lanjutnya ada di fakultas masing-masing. Kalau misal tahun depan ditemukan lagi, itu bisa disampaikan ke rektor untuk ditindaklanjuti agar anggaran ke depan itu fokus pada temuan audit internal itu,” ujarnya.
Hasil penelusuran sementara yang dilakukan reporter mimbaruntan, total dari sembilan fakultas di Untan tidak ada satupun yang mengimplementasikan standar tersebut secara utuh. Selain itu, terdapat pula perbedaan fasilitas bagi difabel yang tersedia di masing-masing fakultas. Sebanyak dua fakultas telah memulai penyediaan ramp dan toilet bagi pengguna kursi roda, yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).
Di beberapa sudut bangunan FISIP terlihat ramp yang bercat biru sudah melengkapi bagian tangga, diantaranya tangga menuju gedung kuliah dan perpustakaan. Toilet bagi pengguna kursi roda juga luas dan terdapat pegangan. Dekan FISIP, Herlan menyampaikan bahwa pembangunan fasilitas tersebut dilakukan untuk memenuhi standar kelas internasional untuk mewujudkan FISIP Go-International. Langkah ini disusul dengan menjadikan dua Program Studi (prodi) terakreditasi internasional.
“Pola bangunan lama tidak melihat dengan standar internasional, ada anggaran yang diberikan kepada kita dipakai untuk memenuhi standar internasional. Pertama, buat jalan untuk difabel kedepannya kita berharap ada interkoneksi antar bangunannya dari D, E, gedung dosen sosiologi, F, di bawah nanti ada lift sehingga dia bisa kuliah juga di lingkungan atas,” jelas Herlan.
Motif pengadaan fasilitas bagi difabel di FISIP ternyata tak jauh berbeda dengan FEB. Dekan FEB, Barkah menerangkan bahwa pembangunan toilet dan akses khusus menuju lobi bagi pengguna kursi roda dilakukan dalam rangka pemenuhan standar untuk meraih predikat Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi (Zi WBK) yang sudah dikantongi pada 2021 lalu.
“Kita ikut lomba Green Campus dan memang itu mewakili universitas jadi zona integritas wilayah bebas anti korupsi, itu kita juga meningkatkan kualitas layanan publik, termasuk layanan untuk disabilitas,” ucap Barkah sambil menunjukan Piagam Penghargaan yang tersimpan di rak kaca.
Fakultas Kedokteran juga memiliki fasilitas ramp. Meskipun demikian, tidak semua tangga di fakultas tersebut dilengkapi ramp, salah satu contohnya adalah tangga yang mengarah ke lantai dua. Menurut Wahyudi, Kasubbag. Akademik dan Kemahasiswaan FK, standar fasilitas bagi difabel belum pernah disosialisasikan oleh LP3M.
Sementara itu, fasilitas bagi difabel yang tersedia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) berupa tempat duduk prioritas yang terletak di koridor. Pembangunan tertunda sebab alokasi anggaran untuk fasilitas bagi difabel dialihkan ke pembangunan gedung penjas sehingga dalam waktu dekat pun kemungkinan realisasinya masih minim, ungkap Wakil Dekan III (Bidang Kemahasiswaan), Agus Syahrani.
Selebihnya, yaitu Fakultas Teknik (FT), Fakultas Pertanian (FAPERTA), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Hukum (FH) dan Fakultas Kehutanan (FAHUTAN) tidak didapati fasilitas bagi difabel. Minimnya sosialisasi standar dari LP3M menyebabkan beberapa fakultas tak kunjung membangun fasilitas bagi difabel. Misalnya pada FT, pembangunan ramp baru direncanakan setelah terdapat mahasiswa difabel pengguna kursi roda.
“Kemarin itu kami baru sadar setelah ada satu mahasiswa yang pakai kursi roda itu, dari situlah kami mulai mencanangkan kedepannya kita mau menyiapkan fasilitas untuk difabel, paling untuk yang mahasiswa tadi itu,” ucap Suryadi, Kasubbag. Umum & BMN FT Untan.
“Kedepannya kita kawal, kita adakan fasilitas itu bertahap.”
Dalam pembangunan fasilitas, terdapat fakultas yang tidak menjadikan standar LP3M Untan sebagai acuan. Salah satunya FK, Kasubbag. Akademik dan Kemahasiswaan FK, Wahyudi menyampaikan bahwa selama ini pembangunan fasilitas mengacu pada standar akreditasi.
“Kedokteran belum ada sosialisasi dari LP3M setahu saya karena selama ini kita hanya mengacu pada standar akre, termasuk toilet tadi apa itu belum ada sosialisasi, ” ungkapnya.
Wakil Dekan III (Bidang Kemahasiswaan), Agus Syahrani mengatakan, bahwa pembangunan fasilitas termasuk fasilitas bagi difabel bukan menjadi tanggung jawab LP3M melainkan Tim Teknis di bawah naungan Wakil Rektor IV.
“Seharusnya penjaminan mutu itu tidak bicara soal teknis, ada tim teknis itu di bawah WR empat, selanjutnya ada tim (amster) lab, nah di bawahnya itu ada yang kemudian mengurusi soal fasilitas-fasilitas termasuk mengatur bagaimana pembangunan itu tidak lagi di fakultas, yang fasilitas difabel itu di teknis bukan penjaminan mutu, ” ucapnya.
Minimnya ketersediaan fasilitas disabilitas berbanding lurus dengan jumlah mahasiswa difabel yang ditunjukkan oleh Biro Akademik dan Kemahasiswaan (BAK) UNTAN. Rahmawati, bagian kemahasiswaan BAK Untan menyebutkan bahwa data mahasiswa disabilitas di Untan berasal dari penerima beasiswa ADik Afirmasi yaitu sebanyak dua orang, dan rekomendasi bantuan dari dosen FEB sebanyak satu orang. Dua orang lainnya berasal dari pencarian mandiri oleh reporter mimbaruntan. Dari data tersebut total lima mahasiswa difabel yang berkuliah di Untan dari seluruh fakultas dan Program Studi (prodi).
Baca Juga: BEM FISIP Gelar Peduli Disabilitas Dalam Rangka Memperingati Hari Disabilitas Nasional
Bagaimana Kesetaraan Hak Difabel?
Pada kenyataannya menciptakan sebuah kampus inklusif bukanlah suatu hal yang bisa dilaksanakan dengan instan.
Berdasarkan data yang didapat dari laman inklusif.kemdikbud.go.id. PT di Indonesia yang dinyatakan siap menerima mahasiswa berkebutuhan khusus baru sejumlah 72 dari 3.975 perguruan tinggi di Indonesia.
Sedangkan PT yang memiliki Unit Layanan Disabilitas berjumlah 59 perguruan tinggi. Hal ini perlu disoroti, mengingat UU yang mengatur tentang pemenuhan hak dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan khusus penyandang disabilitas ternyata belum mampu dilaksanakan dengan menyeluruh oleh PT itu sendiri.
Sayangnya regulasi tersebut tidak membantu Ade dalam proses pendaftaran kuliah di Untan. Penyandang disabilitas (tuli) yang sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Terbuka itu pernah mendaftar di Untan pada tahun 2021 melalui jalur mandiri gelombang pertama. Sebagai difabel tuli yang memiliki keterbatasan dalam menerjemahkan soal ujian yang ada, Ade membawa Juru Bahasa Isyarat (JBI) pada saat ujian berlangsung. Akan tetapi, JBI tidak diperbolehkan masuk untuk membantunya menerjemahkan soal ujian pada saat tes tulis berlangsung.
“Saya minta jelaskan sama JBI tetapi tidak diperbolehkan oleh panitia” jelas Ade ketika dikonfirmasi ulang,(28/8).
Mewujudkan Kampus Ramah Difabel
Sampai saat ini belum ada kebijakan yang mengatur jalur masuk perguruan tinggi bagi difabel. Namun, dengan keberadaan UU No. 8 Tahun 2016 menjadi landasan bahwa setiap perguruan tinggi di Indonesia harus memenuhi hak pendidikan bagi para difabel. Seperti yang dilakukan Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) melalui Peraturan Rektor Nomor 1150/2020 dengan membuka Seleksi Mandiri Jalur Disabilitas (SMJD).
Debby, lulusan Pendidikan Khusus Universitas Pendidikan Indonesia mengatakan bahwa perguruan tinggi harus mengkaji dengan seksama kebutuhan-kebutuhan penyandang disabilitas untuk berkuliah. Selain memberikan kualitas pendidikan yang baik hal ini juga dapat meningkatkan nama perguruan tinggi tersebut.
“Perlu dilakukannya asesmen untuk mengkaji apa saja yang dibutuhkan anak difabel saat masuk universitas dan unit-unit yang dibutuhkan untuk disabilitas, disesuaikan juga dengan kebudayaan atau lokasi universitas tersebut. Berjalin dengan komunitas dan Sekolah Luar Biasa (SLB) akan menambah referensi apa yang dibutuhkan oleh universitas tersebut,” jelasnya saat di wawancarai via online.
Maka dari itu, Pusat Layanan Disabilitas (PLD) memegang peran penting di suatu perguruan tinggi. Dengan adanya unit ini, memberikan ruang untuk menyampaikan kendala maupun kebutuhan penyandang disabilitas dalam proses perkuliahan. Salah satu perguruan tinggi yang telah menyediakan unit ini yaitu Universitas Brawijaya (UB). Dikutip dari laman kominfo.jatimprov UB menjadi perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa difabel terbanyak se-Indonesia, yaitu sekitar 112 mahasiswa.
Penulis: Alfiyyah Ajeng Nurardita dan Fahrul Azmi
Editor: Mar’atushsholihah
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Edisi XXVI. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/TabloidMimbarUntanXXVI