mimbaruntan.com, Untan – Langit biru bersih, terlihat dari arah laut Natuna, angin yang berhembus membawa beban berat, ombak terus menggempur, melibas bibir pantai pesisir Desa Kuala Karang, Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya. Hari itu kami menemui pria paruh baya dengan perawakan tidak terlalu tinggi menggunakan peci rajut dengan janggutnya yang kian memutih. Ia dengan ramah menyambut kedatangan kami.
Pria 40 tahun yang kerap disapa A’an alias Andika itu adalah salah satu dari sekian banyak masyarakat yang rumahnya rata akibat diterjang gelombang. Terlihat raut sedih dalam wajahnya saat menceritakan banjir rob yang terjadi tahun 2021 silam.
Mendung bergelayut, suara kencang hantaman gelombang membangunkan A’an yang masih terlelap. Saat itu, air laut naik dan sudah menggenangi desa pada pukul tiga dini hari. Lidah ombak masuk jauh ke dalam daratan hingga menenggelamkan dua dusun. Dalam keadaan was-was gelombang datang membawa sampah dari laut, daratan tenggelam, suasana pun gelap gulita karena aliran listrik juga padam. Gelombang menghantam rumah-rumah tanpa ampun dan membawa hanyut barang-barang. Beberapa bagian desa yang terkena genangan rob mencapai sepaha orang dewasa. Warga berlarian keluar rumah melewati banjir diantara kegelapan untuk mengungsi ke bagian tengah pulau dengan dataran yang sedikit lebih tinggi. Pasang laut Natuna yang sudah dianggap biasa karena terjadi tiap tahun menjadi amukan yang tidak terlupakan bagi warga Desa Kuala karang kala itu.
“Waktu kejadian suasana memang mencengkam. Sekitar jam 3 dini hari. Nah, waktu itu kan kita masih terlelap tidur. Angin datang kencang disertai dengan pasang yang besar jadi kita agak kaget. Pada waktu itu listrik mati, makanya kita tuh dalam gelap hanya menggunakan lampu senter ada yang menggunakan ponsel saja untuk penerangan. Untuk ngemas barang yang masih bisa kita selamatkan, yang tidak bisa diselamatkan ya habis.” Kenangnya (5/13).
Saat air pasang, air laut masuk ke rumah mereka, tetapi semenjak tiga tahun terakhir, rob yang terjadi semakin rutin sepanjang tahun kini berubah dan sulit diprediksi seperti cuaca dan badai yang terjadi tak menentu.
Matahari perlahan terbenam di ufuk barat, kami ditemani salah satu pemuda yang berasal dari Desa Kuala Karang untuk menyaksikan langsung laut yang menelan daratan itu. Adalah Ibrahim, salah satu dari sekian banyak pemuda yang rumahnya terdampak abrasi. Tanpa menggunakan alas kaki dan menaikkan sedikit celana jin birunya agar tak terendam lumpur berpasir, Ibrahim mengiringi langkah kami menyusuri tepian pemukiman yang sudah rata diterjang gelombang. Ia menunjukkan perubahan yang terjadi di sepanjang bibir pantai yang semakin tergerus oleh air laut.
Baca Juga: Bersama AMESA, Mendukung Kualitas Perkembangan Lokal
Abrasi yang telah terjadi bertahun-tahun pelan tapi pasti mengikis daratan. Setiap tahun ombak melibas pesisir daratan. Tampak rumah-rumah dengan konstruksi beton dan kayu kini menyatu dengan bibir pantai. Rumah itu hancur terseret ombak, mencabut pondasi cakar ayam besinya yang kuat. Beton-beton sisa jalan pun masih terserak di tepi pantai hanya tiang-tiang listrik saja yang masih bertahan dengan posisi sebagian miring. Sejumlah rumah masih bertahan namun bopeng sebagian. Tak bisa ditempati, menunggu gulungan ombak berikutnya.
Tak jauh juga tampak sekolah yang kini terlihat hanya belasan meter dari bibir pantai, sejak tiga tahun terakhir dihantam oleh ombak. Tiga ruang kelas terlihat rusak berat, ruangan kelas dipenuhi lumpur yang mengering dan atap-atap juga sudah hancur, tersisa tiga kelas sehingga anak-anak sekolah terpaksa bergiliran dalam proses belajar dan mengajar bahkan para siswa tidak bisa bersekolah dan terpaksa diliburkan bila air pasang terjadi.
Ibrahim sambil duduk di atas pohon yang sudah tumbang dan mati karena diterjang abrasi sembari bercerita bahwa dulunya terdapat hutan mangrove disini yang tumbuh tak jauh dari pemukiman dan jalan poros yang dilewati, terdapat bagan-bagan hingga sarang burung walet milik masyarakat tetapi yang tersisa hanya puing-puing yang sudah habis karena dihantam ombak.
“Di mana (di depan saya) dulunya ini adalah hutan mangrove dan masih jauh dari pemukiman warga. Di sini (belakang saya) terus daerah sini itu pemukiman dan jalan dan di sini (kanan saya) itu ada sisa sisa bagan dan puing-puing perumahan yang sudah habis dan tertinggal sedikit-sedikit saja yang masih tersisa.” Kenangnya kepada reporter Mimbar Untan (5/13).
Desa Terancam Hilang
Dilansir dari berita Kumparan.com bahwa pada tahun 2020, abrasi yang terjadi sudah melenyapkan 2 RT (Rukun Tetangga) dengan total rumah warga sebanyak 81 rumah yang terdampak. Hingga saat ini abrasi sudah melenyapkan beberapa bangunan rumah warga, jalan poros hingga puskesmas pembantu, masjid serta satu sekolah dasar rusak berat dan menyebabkan para siswa tidak bisa berangkat sekolah apabila pasang terjadi.
Dari waktu ke waktu abrasi membuat luasan Kuala Karang terus menyusut. Dari hasil analisis citra Google Earth terlihat pengurangan lahan yang sudah mencapai pemukiman dan luasan hutan mangrove yang sudah hilang. Selain itu, terlihat juga melalui analisis citra yaitu adanya penambahan daratan di sekitar keluar masuk muara di Desa Kuala Karang. Ibrahim selaku kepala Desa Kuala Karang menyampaikan bahwa abrasi menyebabkan masalah terhadap perekonomian warga, banyak warga yang pindah dan meninggalkan Desa kuala Karang.
Abrasi pesisir pantai dari tahun ke tahun jelas terjadi di Desa Kuala Karang, perubahan tampak terlihat dari tahun 1985-2019 melalui citra satelit Google Earth. Abrasi yang terjadi sudah menerjang daratan hingga 380 meter dari bibir pantai sekarang. Tak hanya itu, di Desa dengan jumlah penduduk ±1800 jiwa dengan 465 kepala keluarga bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan di pesisir Kuala Karang, sedimentasi juga menjadi permasalahan baru karena mengganggu alur masuk keluar kapal nelayan.
“Tolonglah ditanggulangi. terutama masalah muara, dulu kan enak kapal itu keluar masuk, sekarang tuh muara sudah dangkal. karena abrasi juga jadi ekonomi masyarakat juga sangat fatal, bahkan warga yang di kuala karang itu hampir ratusan KK sudah pindah” Resah Ibrahim selaku kepala Desa Kuala Karang kepada Reporter Mimbar Untan (6/7).
Baca Juga: ODHA, Sudah Terinfeksi Tertimpa Stigma Juga
Jasisca Meirany, Dosen Prodi Teknik Kelautan, Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura mengatakan Desa Kuala karang memiliki fenomena laut yang agak unik sebab daerah sungai merupakan penghasil sedimentasi terbesar dan memiliki pola arus dan gelombang yang mengikis bibir pantai sehingga menyebabkan sedimentasi di sekitar mulut muara.
Jasisca memaparkan beberapa faktor penyebab abrasi yang terjadi di Desa Kuala Karang antara lain karena pengaruh morfologi pantai, gelombang laut dan dinamika pantai serta penggunaan lahan seperti aktivitas pemukiman dan wilayah konservasi yang bisa juga menjadi salah satu permasalahannya. Pesisir pantai Desa Kuala karang merupakan pantai yang sangat rawan mengalami abrasi. sebab pesisir pantai pulau ini berhadapan langsung dengan lautan terbuka yaitu laut natuna. kondisi ini menyebabkan gelombang yang terjadi akibat bangkitan angin cukup besar sehingga menyebabkan abrasi pantai terjadi secara terus menerus.
“Penyebabnya karena morfologi pantai, gelombang, laut, dan dinamika pantai dan satu lagi itu penggunaan lahan disitu dalam artian seperti aktivitas permukiman, wilayah konservasi dan itu juga jadi salah satu permasalahan,” Tuturnya (13/7).
Bagaimana Upaya penanganan Pemerintah?
Sulistyono selaku kepala bidang pemadam penyelamatan sarana dan prasarana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kabupaten Kubu Raya mengemukakan bahwa dalam mengatasi serta melakukan pencegahan abrasi di Desa Kuala Karang pemerintah daerah sudah melakukan kajian bersama serta menyiapkan solusi dalam penanggulangan bencana abrasi yang terjadi.
“Karena solusinya tetap seperti itu, tetapi dengan adanya istilah jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang. Nantinya penerapannya memang sesuai dengan aturan, dengan adanya relokasi yang dilakukan pemerintah daerah melalui PUPR itu memang kita jangka pendeknya. karena bicara manusia itu memang harus dilindungi.” Terangnya kepada Reporter Mimbar Untan (6/7).
Dalam melakukan penanggulangan agar abrasi tidak semakin meluas, Sulistyono mengaku menemui berbagai kendala. Tahun 2020 terdapat program penanaman mangrove namun gagal akibat rusak habis disapu ombak. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa belum pernah adanya penyuluhan ataupun sosialisasi yang dilakukan terkait bencana karena terbatasnya anggaran.
Tidak hanya itu, Sulistyono menambahkan kendala lainnya disebabkan oleh susahnya mendapatkan izin dalam melakukan pembangunan di Desa Kuala Karang yang status kawasannya merupakan kawasan hutan lindung. Ia mengaku sudah melakukan pertemuan dan membuat kesepakatan bersama Pemerintah Provinsi agar Desa Kuala Karang dibebaskan dan menjadi lahan pemukiman.
“Jadi kemarin sudah melakukan kesepakatan dengan provinsi bahwa itu akan dibebaskan untuk lahan pemukiman. Jadi alasan terkendala pembangunan karena alasan adanya hutan lindung.” Ujarnya.
Sebanyak tiga puluh Kepala Keluarga terdampak abrasi telah direlokasi dan sisanya akan diproses lebih lanjut. ia menuturkan dalam hasil monitoring serta evaluasi yang dilakukan BPBD terhadap bencana abrasi di Kuala Karang agar masyarakat menghindari dalam membangun pemukiman di daerah yang rawan abrasi.
“waktu itu sudah kita lakukan monitoring beberapa hal, kita sampaikan bahwa sebisa mungkin hindari membuat pemukiman disitu karena bisa membahayakan mereka bahkan bisa jadi merenggut nyawa mereka.” Tutupnya.
Ditemui di sela kesibukannya Ibrahim selaku kepala Desa Kuala Karang juga menyampaikan kekesalannya terhadap upaya pemerintah yang hingga saat ini belum ada. Ia mengatakan bahwa untuk pemerintah agar memperhatikan daerah pesisir.
“Saya bukan protes, tapi saya memberikan solusi, terutama kami yang tinggal di pesisir tolong diperhatikan, bukan kami ada kecemburuan sosial, tentang daerah hulu yang diperhatikan. sama kami juga sama, terutama kami yang di daerah pantai ini,” Tegas Ibrahim saat ditemui Reporter Mimbar Untan di rumahnya.
Ia juga menceritakan kekhawatirannya mengenai Desa Kuala Karang yang kian tahun abrasi yang terjadi semakin sulit diprediksi. ia menuturkan bahwa jika tidak ada penanggulangan berupa pembangunan pemecah ombak makan 20 tahun mendatang Desa Kuala Karang akan hilang karena abrasi yang terjadi.
“Kuala Karang hampir tiap tahun, termakan oleh abrasi pantai. tapi kalau tidak ditanggulangi oleh pemerintah, saya yakin Desa kuala karang 20 tahun ke depan sudah tidak ada lagi”. Ujarnya.
Mitigasi dan Adaptasi
Abrasi yang terus terjadi selama bertahun-tahun hingga tidak ada upaya penanggulangan pasca bencana. Jasisca menyampaikan bahwa pemerintah selalu melakukan upaya mitigasi setelah bencana baru terjadi, seharusnya pemerintah melakukan upaya mitigasi sebelum abrasi parah itu semakin terjadi.
“Setahu saya setelah ada bencana baru ada upaya untuk melakukan mitigasi, pasca bencananya dan itu pasti”. ungkap Jasisca saat ditemui di Fakultas Teknik.
Baca Juga: Merapah Derai Abai Pemulung
Menurutnya Abrasi yang terjadi di Desa Kuala Karang merupakan fenomena alami yang terjadi, tidak bisa membentuk suatu pencegahan tetapi berupaya dalam melakukan pengendalian serta adaptasi..
“Pengendalian yang bagaimana ya itu tadi 100 meter itu harus bisa diarahkan tidak boleh di bangun disitu, masyarakat memang harus pindah, itu yang terjadi.” Terangnya.
Ia juga menambahkan bahwa kita memang tidak bisa mengubah pola kehidupan masyarakat secara langsung tapi secara sedikit-sedikit untuk merelokasi pemukiman. Selain itu juga bentuk pengendalian yang dapat dilakukan adalah upaya buatan dengan membangun sebuah pemecah ombak dan kemudian secara alami dengan penanaman mangrove.
“Jadi ada dua upaya yaitu pembangunan pemecah ombak dan upaya kedua secara alami dengan penanaman mangrove.” tutupnya.
hal yang senada juga disampaikan Tsafiuddin selaku ahli tata ruang kalimantan barat Ia menyampaikan bahwa pemasangan breakwater harus di imbangi dengan penanaman manggrove. ia menjelaskan bahwa bangunan pemecah ombak yang cocok dan dirasa sesuai yaitu dengan bangunan seperti tetraPOT.
TetraPOT adalah sebuah bangunan penahan gelombang yang memiliki konsep berkelanjutan. Di mana tetraPOT bukan hanya sekedar membantu untuk melindungi pesisir dari abrasi tetapi dapat menciptakan habitat mangrove secara alami.
Tsafiuddin juga menyampaikan dalam pengimplementasiannya bangunan ini dapat dipasang dengan cara menanam bakau (Rhizophora), di mana bakau adalah salah satu tanaman mangrove yang akarnya tumbuh ke bawah kemudian dalam melakukan penanamannya harus ditambah dengan resfosfat untuk mempercepat akar mencapai dasar, kemudian di belakang tetrapod ditanami mangrove jenis api-api yang akarnya tumbuh menyamping dan mempunyai sifat ekspansi.
“Meminimalkan dampak bencana memang harus dari breakwater ini. Breakwater yang bisa dilakukan seperti yang terdapat di pemangkat atau sungai duri dan itu sudah lazimnya. saya menyarankan menggunakan bangunan tetraPOT, di bagian depannya tetraPOT ditambah resfosfat untuk mempercepat akar (Fosfor) mencapai dasar dan bagian belakangnya udah bisa pake tanam biasa seperti api-api pungkasnya (8/20).
Penulis: Abang Hendy Fuady dan Tri Pandito Wibowo
Editor: Adi Rahmad
*Tulisan ini telah terbit di Majalah Edisi XVI. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/MajalahMimbarUntanXVI