Malam memanggilku untuk beranjak.
Berpoleskan riasan yang memikat, aku keluar dari pintu kamar.
Sebelum bergegas, aku terlebih dahulu pamit kepada seorang wanit paruh baya.
“Bu, Ipeh kerja.” Hanya anggukan dan gumpalan asap kental yang ibu berikan padaku. Aku mengerti, hati-hati nak.
…
Aku melangkah indah di trotoar.
Sesekali pria bajingan mendekat dan menggoda, aku tetap pada melangkah.
(Aku paham, pakaian minimku terlalu menggoda dan aku risih mengenai hal itu. Tak peduli pemberian Ibu, aku benci pakaian yang sedang kukenakan)
Oh, iya.
Kalau perlu, aku bergegas. Karena langkah yang sebenarnya, bukan tempat laknat ini tujuanku. Ada tempat yang harus kudatangi tiap malam dan bukan tempat ini yang kumaksudkan. Maafkan aku Ibu, ada sesuatu yang lebih berharga ketimbang mengobral badan seperti yang kau harapkan ☺
…
Pukul 8
Aku mempercepat langkah. Sudah seharusnya bus tiba di halte kesunyian ini. Tapi dengan melihat keadaan sekitar halte yang kian menyepi, pikirku pantas saja bus tidak memberanikan diri. Terlebih untuk singgah menjemput penumpangnya yang sedang menyendiri.
…
Pukul 8.30
“Ipeh?”
Suara yang menyadarkan lamunan. Sekaligus memecah keheningan yang membekukan malam.
“Kamu, Ge?”
Diakah itu? Dengan tato sekujur tubuh berbalut pakaian putih berpeci hitam?!
“Ka…..mu?”
Aku berhasil membisu. Kehadiran pria itu sangat diluar dugaanku.
Pria yang pernah aku cinta mati-matian namun berkhianat di hari kemudian.
Pria yang pada awalnya menjagaku, nyatanya berhasil merebut paksa kehormatanku.
Dia yang pada akhirnya, bersekongkol dengan Ibuku, untuk kemudian merusak sisa hari-hariku.
Dan dia disini, dihadapanku.
“Peh, ini kamu?” Age mendekat perlahan dan aku pun dengan sigap mundur ke belakang.
3 tahun tiada dan kini secara tiba-tiba ada?
Nafasku tak beraturan dan otakku tetap tak lepas dari ingatan. Tentang bagaimana Age memperlihatkan padaku cara pria gelap mata dan merusak wanita yang diakuinya sangat cinta. Aku kacau, di detik ini.
“Peh, kamu ingat aku? Age, iya ini aku Age.” Ia tersenyum tenang, persis kebiasaannya saat aku dan dia masih bersama, dulu.
Tapi senyum itu apa guna? Waspadaku tetap pada puncaknya. Pikiranku tetap mengunci mulutku untuk kembali berbicara.
“Peh, kamu kenapa?” Age meraih tanganku.
Apalagi ini? Aku tak mampu menepis kasar tangan itu dan justru diam memperhatikan wajah panik Age yang membahagiakan.
Age, aku rindu.
…
Aku mengumpulkan segala keberanian untuk kembali bersuara.
“Kenapa?” Baiklah, berani bagiku hanya mampu mengucapkan 1 kata berjuta makna.
Age terdiam. Age tahu kemana arah pembicaraanku berikutnya.
“Aku tahu, Peh. Aku tahu. Maaf, sudah kurusak kehormatanmu dan mengikuti segala kemauan Ibumu. Aku bersalah, maaf. Aku be….”
“Aku tanya kamu, KENAPA BARU SEKARANG KAMU KEMBALI!!!” Aku rubuh dihadapan Age dan menangis sejadi-jadinya. Nyatanya aku tak pernah sanggup membenci pria yang kucintai ini, bukan?
“Kamu harusnya tahu hidupku setelah kamu memutuskan untuk pergi, Ge.” Aku melanjutkan dengan suara isakan. Bahuku bergetar, tangisku pecah bersamaan dengan suara kendaraan yang memekik keributan yang kubuat.
Pikiranku semakin meracau. Age yang dulu menjadi tameng ketika Ibu mulai hilang kewarasan. Age yang dulu selalu mencari jalan ketika Ibu memaksaku berhenti menyelesaikan pendidikan. Age, aku hancur. Setelah kamu rusak aku, dengan mudahnya kamu melaju pergi tanpa memikirkan sisa-sisa hariku disini. Tentang bagaimana aku melanjutkan hidup tanpa tameng dan teman untuk merdeka dari segala ancaman Ibuku. Aku tersika, Ge. Harus menyalahkan siapa aku saat ini?
Bersambung…