“Itu masjid yang dibangun Bapak, dihancurkan oleh warga karena Bapak masuk Ahmadiyah. Abis itu masjidnya dibangun ulang yang agak jauh dari rumah oleh warga di situ karena tidak mau sholat di tempat Bapak, tapi Bapak waktu itu dak apa, yang penting kita masih bisa ibadah.”
Mimbaruntan.com, Untan – Segaris senyum dilemparkan oleh Rustandi menyambut ketujuh tamunya di Minggu pagi (7/3/21), kumpulan foto di pojok kanan ruangan menjadi perhatian utama, pasalnya deretan wajah pemimpin Jamaah Muslim Ahmadiyah yang berbingkai kuning itulah membuat para Ahmadi berbeda dengan Jamaah Muslim lainnya.
Kediaman Rustandi selaku mubaligh yang bertanggungjawab atas para Ahmadi di Kalimantan Barat (Kalbar) itu tidak jauh dari pusat Ibu kota Kalbar, Pontianak. Rini, istri Rustandi bergegas mengambil peci hitam dan memasangkannya pada sang suami yang sedang melayani berbagai pertanyaan tamunya di hari itu.
“Disini kita sangat terbuka dengan berbagai kunjungan, bagus itu Ketika orang datang kesini dan bertanya langsung tentang Ahmadiyah itu apa, karena banyak sekali berita-berita yang tidak benar tentang Ahmadiyah dan sedikit orang yang mau mengonfirmasinya langsung kesini,” ujar Rustandi diikuti tawa kecilnya.
Ima salah satu perempuan Ahmadi menunuduk seraya tersenyum saat mulai menceritakan luka yang harus ia terima sejak di bangku sekolah dasar.
“Itu masjid yang dibangun Bapak, dihancurkan oleh warga karena Bapak masuk Ahmadiyah. Abis itu masjidnya dibangun ulang yang agak jauh dari rumah oleh warga di situ karena tidak mau sholat di tempat Bapak, tapi Bapak waktu itu dak apa, yang penting kita masih bisa ibadah,” kisah gadis 24 tahun itu sambil memutar-mutar ujung jilbabnya.
Usai pemindahan masjid itu, kondisi kampungnya yang terletak di salah-satu desa di Sintang menjadi kondusif kembali, hingga akhirnya sebuah perhelatan melalui pengajian dilaksanakan, saat itu Ima mengaku ia sudah menginjak kelas satu sekolah dasar, usia yang tidak cukup paham tentang kondisi yang terjadi di tahun 2005 itu.
“Waktu itu bangun tidur dan kondisi itu benar-benar kacau, kita nyari Bapak karena mau siap-siap ke sekolah, tapi orang-orang disana udah kacau sekali, sampai motor itu benar-benar hancur yang berkeping-keping, dak ada bentukannya lagi,” lanjut Ima dengan suara yang meninggi dan merendah dengan cepat menegaskan emosinya mengingat kejadian itu.
Pemberitaan miring pun hadir usai kericuhan, sebuah media koran mengangkat berita tersebut dengan memasukan foto sang Bapak yang terlihat seperti di dalam penjara.
“Koran itu masukin foto Bapak di dalam penjara, ada jeruji besi gitu, sampai besar saya pikir Bapak itu pernah dipenjara, ternyata nggak, pas udah besar baru tau itu fotonya Bapak di semacam warung gitu, tempat itu ada tralisnya kayak di penjara,” ceritanya disusul tawa kecil.
Rini yang duduk tepat disamping Ima spontan mengelus Pundak kirinya.
“Ahmadi (penganut Ahmadiyah) yang ada di Kalbar itu masih dibilang beruntung karena ini di Kalbar, jumlah kita gak sebanyak Ahmadiyah yang di Jawa, jadi kejadian seperti yang Ima alami itu jarang sekali terjadi, diskriminasinya ya paling sekedar omongan dari orang-orang aja,” ujar wanita asal Jawa Barat itu.
Memiliki Khalifah atau pemimpin umat islam menjadi hal yang paling dipertentangkan oleh banyak pihak, menurut Rini pemberitaan yang tidak benar oleh berbagai media dan ujaran kebencian yang terus ada memperparah ancaman keberadaan Ahmadi.
“Berita yang gak bener tentang Ahmadiyah itu banyak sekali, yang di angkat biasanya Ahmadiyah punya nabi baru dan tambahan berita bohong lainnya, seperti Ahmadiyah punya kitab baru lah, sholatnya beda lah, banyak berita simpang siur,” ujarnya
Baca juga : Mimbar Untan Gelar PJTD di Tengah Pandemi
Walau begitu, Rini melalui Lajnah Imaillah, sebuah organisasi intra Ahmadiyah yang menaungi kegiatan para wanita Ahmadiyah berusaha membuka ruang belajar jurnalistik agar mampu menandingi narasa-narasi buruk tentang Ahmadiyah.
Ada dua hal yang menjadi benang merah menurut Rini, bahwa Jamaah Muslim Ahmadiyah tidak ada bedanya dengan Muslim pada umumnya, yang membedakan hanyalah kepemimpinan umat dalam bentuk khilafah bukan negara, sedangkan yang kedua adalah Ahmadiyah tidak pernah memaksa umat islam lain dalam dakwahnya, seperti makna islam itu sediri bahwa tidak boleh ada pemaksaan dalam beragama.
“Kita harus sampaikan kebenaran dan tidak pernah ada pemaksaan, Alquran, Allah, sholat, puasa dan ibadah lainnya kita itu sama, tidak ada bedanya. Itu yang mau kita kabarkan,” ujarnya.
Namun menurut Rini, keberadaan Ahmadiyah yang sedikit di Kalbar menjadikan sumber daya manusia kendala dalam bergeraknya program ini.
Menanggapi hal ini, Yusri Hamid selaku pegiat sejarah Kalbar mengatakan bahwa selain usaha dalam pembelajaran jurnalistik yang dilakukan oleh Lajnah Imaillah, penting untuk digelarnya ruang-ruang diskusi antara Ahmadiyah, organisasi lain yang mendukungnya dan organisasi yang menentangnya untuk bersama-sama mendiskusikan tentang solusi perdamaian dan pencegahan konflik kedepan.
“Ahmadiyah pernah melakukan itu, hanya saja organisasi yang menentangnya itu tidak hadir, udah diundang setau saya, ya ruang seperti itu jangan diabaikan, jangan merasa benar sendiri, karena kuncinya bukan siapa yang benar,” pungkas Yusri saat dihubungi melalui panggilan Whatsapp.
Penulis : Maratushsholihah
Editor : Monica
*Tulisan ini merupakan hasil dari rangkaian acara Traning & Story Grant Sejuk : Anak Muda Suarakan Keberagaman