“Anak saya itu sering gatal-gatal, kalau kulit saya udah tahan, anak saya yang kurang (tahan),” canda Akiang yang turut ditertawai sang istri.
Akiang nampak kesal, tapi apa boleh buat, ia tak bisa melakukan apapun. Satu-satunya air yang bisa ia pakai bersama keluarga untuk mandi, hanyalah air dari Sungai Tangkai yang jaraknya lima langkah dari rumahnya itu.
mimbaruntan.com, Untan – Akiang warga Dusun Subah ini telah berpasrah diri, tidak ada alternatif lain untuk membersihkan air yang menjadi sumber kehidupan mereka itu. Sungai Tangkai ia percayai sudah tercemar akibat perlakuan beberapa perusahaan industri sawit yang merambah daerah mereka.
Perusahaan tersebut diduga melakukan penanaman kelapa sawit sembarangan hingga ke tepian Daerah Aliran Sungai (DAS). Satu-satunya air bersih yang menjadi pemenuhan kebutuhan konsumsi hanyalah tadahan air hujan. Tak mungkin ia merelakan air hujan untuk mandi yang sewaktu-waktu akan habis jika tak turun hujan pada hari itu.
Bapak beranak satu ini merasa sakit hati melihat anaknya yang baru berumur dua tahun, seusai mandi selalu merasakan gatal-gatal serta muncul bintik-bintik pada tangan dan punggungnya. Sejak Akiang lahir hingga beranjak remaja seingatnya air masih bisa ia konsumsi dan tak sekotor kini. Ia merasa sebelum perusahaan sawit masuk, air belum kotor. Ikan-ikan pun ia sadari sudah enggan menetap di sungai tersebut.
“Dari tahun 1985 saya disini, ketika dulu perusahaan belum ada, saya masih bisa minum air (sungai) itu, semenjak mereka datang air pupuk dan limbah mereka tembus ke sungai. Dulu memang gak sekotor itu, cuma ya lihatlah kotor sekarang. Ikan pun sudah berkurang gara-gara limbah pupuk orang perusahaan itu,” cerutuknya.
Akiang dan keluarga kini bersahabat dengan air kotor, masyarakat Dusun Subah pun nampaknya telah memaklumi keadaan sumber air mereka. Ketika rasa gatal mengganggu keseharian, mereka akan pergi ke Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) terdekat untuk meminta obat pereda rasa gatal sementara.
“Anak saya dan anak tetangga di situ juga kalau sehabis mandi gatal-gatal. Bintik-bintik gitu,” jelasnya.
Yuni, bidan yang bertugas di Poskesdes Dusun Subah membenarkan hal tersebut. Hingga hampir empat belas tahun lamanya bertugas, ia sering kali mendapatkan keluhan gatal-gatal dari masyarakat. Jangankan pasien, ia dan keluarganya pun turut merasakan. Air sungai menjadi kecurigaannya, pasiennya selalu mengeluhkan seusai mandi muncul bintik-bintik gatal pada bagian tubuhnya.
“Tahun 2023 itu puncaknya, banyak sekali yang mengeluh ke saya badannya gatal-gatal, cuma saya gak bisa memastikan benar karena air sungai itu atau bukan karena saya tidak meneliti. Tapi kami sekeluarga juga merasakan gatal-gatal kalau habis mandi pakai air itu,” keluhnya.
Dusun Subah, salah satu dari beberapa dusun yang ada pada Desa Subah, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau. Dusun yang berada pada pedalaman Kec. Tayan Hilir membutuhkan waktu hingga satu jam lebih untuk dapat sampai dari jalur masuk awal Wisata Danau Laet.
Mirisnya, industrialisasi sawit juga belum memberikan kontribusi apapun bagi masyarakat setempat. Kebutuhan dasar seperti air saja kini menjadi hal yang sangat mewah untuk bisa dinikmati kembali oleh masyarakat Dusun Subah.
“Waktu saya masih SD atau SMP tahun 1980-an, air sungai itu masih saya konsumsi. Tahun 1991 masuk PT. Akasia pun masih bisa (dikonsumsi). Tapi waktu (perusahaan) sawit masuk itu sudah tidak bisa lagi,” keluh Anam
Corporate Social Responsibility (CSR) tak pernah warga dapatkan. Tanggung jawab sosial yang patutnya dipenuhi oleh beberapa perusahaan sawit yang masuk tentu saja dipertanyakan olehnya. Sosialisasi keberadaan perusahaan sawit yang dicurigai menjadi pemicu utama kotornya sumber air mereka pun tak pernah ada.
Alih-alih memberikan bantuan, justru air mereka kian kotor. Gatal-gatal pun menjadi ancaman bagi masyarakat setiap ingin bersentuhan dengan air sungai di dekat rumah mereka. Namun, nasi telah menjadi bubur, mengeluh pun tak akan membuat air mereka menjadi bersih seperti dahulu.
“Dulu saya ngomel, tapi kalau saya sendiri yang berjuang ya tidak bisa. Air keruh putih seperti susu, ya itulah limbah. Tidak bisa konsumsi bahkan mandi juga gak bisa. CSR sampai sekarang pun kami gak tahu, kami juga gak pernah dibantu,” kembali Anam tersulut emosi mengingat betapa lelahnya ia terus menerus membicarakan bagaimana sumber air mereka kini dikotori.
Anam resah mengapa perizinan perusahaan industri sawit selalu diberi izin, jika ada tanggung jawab setelahnya mungkin tidak apa, namun ketika hal tersebut justru semakin merusak daerahnya ia tak akan bisa tinggal diam saja.
Dihimpun dari Swandiri Institute (2016) pada buku berjudul Masyarakat Adat di Tengah Kepungan Industri Ekstrakti, Industri sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) masing-masing menguasai lahan seluas 530.329,95 hektare dan 286.201,62 hektare dari 1.285.770 hektare luas wilayah Kabupaten Sanggau. Begitulah sekiranya data delapan tahun yang lalu.
Banyaknya hal yang mengganggu pikiran, Anam pernah terbesit untuk melaporkan keadaan sumber air mereka. Namun, Anam merasa ia belum memiliki bukti kuat berupa penelitian yang menyatakan air mereka benar-benar tercemar. Ia pun tak berani hanya menyampaikan argumen jika mereka merasa gatal karena air yang dipakai sehari-hari.
“Lapor itu perlu penelitian, kita tak punya sampel data. Tapi gatal itu bersumber dari air karena kami merasakan dampak langsungnya setelah mandi, kalau lapor kami tidak ada analisis dan open data-nya,” ujar Anam sembari menghabiskan hisapan rokok lintingnya itu.
Ia tidak meminta yang muluk-muluk, setiap hari ia selalu berdoa semoga hujan turun, doanya hanya cukup itu. Kesehatan warga termasuk dirinya pun semakin mengkhawatirkan. Tepat hingga Senin (26/2), ia masih merasakan gatal hebat pada seluruh kakinya seusai mandi.
Bintik-bintik yang muncul terasa perih, obat dari Yuni lah yang terkadang meredam rasa gatalnya. Seringkali ia tertidur akibat efek samping obat konsumsinya, itu satu-satunya cara agar rasa gatal di tubuhnya berhenti menyiksa.
“Mudahan hujanlah, supaya airnya (sungai) bisa mengalir keluar,” doanya.
Bukan berarti ia hanya berdiam diri, ia pernah menganggarkan anggaran desa untuk ia belikan tandon air berukuran 1.000 liter untuk setiap kepala keluarga. Namun, memang ia rasa belum merata ke seluruh warga.
Cara tersebut ia harap dapat dimanfaatkan sebagai penadah air hujan yang akan dikonsumsi masyarakat Dusun Subah. Dengan adanya tandon air ia tak terlalu mengkhawatirkan jika hujan tak sering turun, cadangan air yang sudah masuk ke dalam penyimpanan membuatnya sedikit lega.
“Satu saja (harapan), lakukanlah penelitian air, air sumber kehidupan dan keberlangsungan harapan. (Air) jadi prioritas kehidupan kami,” harapnya.
Ikan Juga Turut Pergi, Mata Pencaharian Kami Terusik
Siapa sangka, air yang mengalir masuk ke dalam Sungai Tangkai pun juga berasal dari Danau Laet. Danau yang menjadi primadona Desa Subah karena terkenal sebagai tempat wisata. Jika dilihat secara kasat mata, air tersebut berwarna kehitaman dengan beberapa kotoran yang mengambang seperti dahan kayu yang jatuh, bunga yang berguguran dan beberapa kotoran lainnya.
Apakah pada saat mengalir terbawa kotoran di jalan atau lainnya hingga berwarna hitam, itupun masih menjadi tanda tanya saya (reporter) dan masyarakat setempat yang masih belum jelas jawabannya.
Perubahan warna itu rasanya tidak begitu mereka perhatikan, yang mereka rasakan hanyalah kehilangan beberapa tangkapan ikan secara spesifik. Sebagian besar masyarakat Dusun Subah bermata pencarian sebagai nelayan, tangkapan ikanlah yang menjadi modal nafkah mereka. Sungai-sungai yang dulunya menjadi lahan mencari tangkapan, kini bukan lagi habitatnya, spesies ikan mulai berkurang.
Dahulu, nelayan dapat menangkap banyak ikan, bahkan Anam mengetahui sekiranya ada sampai 100 (seratus) spesies ikan yang hidup di daerahnya, ia pernah meneliti hal tersebut. Kini, ia sudah merasakan kehilangan beberapa spesies ikan yang dulu sering ia lihat. Kondisi air pun kini menjadi ‘bangam’ (kotor namun tak berbau).
Perubahan kondisi tersebut diterangkan oleh Antonius Anam, Kepala Dusun atau biasa dikenal warganya sebagai Kepala Wilayah Dusun Subah. Perambahan lahan yang seakan memberi makan para pengusaha industri kelapa sawit telah berlangsung cukup lama. Sejak tahun 1990-an, Desa Subah seakan menjadi tuan rumah izin pembukaan lahan untuk industri kelapa sawit.
“Kalau ada limbah sawit itu saya selalu larang, ketika barang (kelapa sawit) itu ditanam, bau dan turun ke sungai itu jadi berminyak. Ini juga berdampak ke habitat ikan, sekarang saya sudah tidak tahu lagi ikan ada berapa sudah banyak yang hilang,” geramnya.
Akibat air yang turut mengganggu biota air termasuk ikan, masyarakat Desa Subah bergotong royong membuat keramba ikan. Tempat tersebut akan menjadi tempat pengembangbiakan ikan hasil tangkapan masyarakat.
Ide tersebut dilakukan sebagai upaya alternatif sulitnya mendapatkan ikan saat ini. Dengan penggunaan dana desa yang baik, masyarakat berharap ternak ikan ini akan terus berjalan dan dapat dibudidayakan sebagaimana mestinya.
Hasil budidaya yang baru berjalan pun masih mengembangbiakkan ikan toman air tawar sebagai bahan percobaan keberhasilan.
“Kami buat sendiri di belakang rumah saya, nanti ikan hasil tangkap kami ternak karena susah sekarang ikan sudah banyak punah. Kami juga belum begitu paham cara budidayanya seperti apa, butuh sekali bimbingan instansi terkait,” tutup pria berusia kepala lima itu.
Percobaan yang baru berjalan dua bulan dirasa perlu banyak bimbingan dan evaluasi, masyarakat pun mengharapkan dukungan dari instansi terkait untuk dapat dibimbing perlahan agar usaha yang telah dilakukan tidak berakhir sia-sia.
Penulis: Hilda Putri Ghaisani
Editor: Lulu Van Salimah