mimbaruntan.com,Untan- Dalam diskusi memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Warta IAIN dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Pontinak yang digelar pada hari Sabtu (4/5), Dian Lestari selaku Ketua AJI Pontianak memaparkan 3 hal yang dapat melemahkan kebebasan pers di Indonesia.
Yang pertama adalah dengan munculnya pasal 27 ayat 3 UU ITE yang biasa disebut dengan “pasal karet” sebagai undang-undang yang berbahaya. Pasal tersebut juga bisa digunakan dengan mudah untuk menjerat orang-orang demi membungkam kritik.
Seperti yang dilansir pada laman www.ajisurabaya.org bahwa telah terjadi diskriminalisasi terhadap salah satu jurnalis, yaitu Sugiyono atau Sugik. Sugik dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik yang termaktub dalam Pasal 45 ayat (3) Jo pasal 27 ayat (3) UU RI No.19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam kasus tersebut pelapor menganggap Sugik mengedarkan pesan berisi hal yang dianggap ‘pencemaran nama baik’. Padahal pesan itu berisi informasi yang sugik verifikasi dengan meminta klarifikasi dari pihak yang relevan dan berkopenten termasuk ke polisi.
“Nyatanya secara aturan masih ada atau muncul UU yang justru menjerat jurnalis itu agar bisa dipidanakan, padahal secara aturan jika ada orang yang dirugikan atau ada pihak yang bersengketa dalam pemberitaan maka jalurnya bukan lewat jalur penegakkan hukum polisi, tetapi lewat dewan pers, ditelaah dulu kasus-kasusnya kemudian panggil pihak yang terkait, kalau tidak terjadi kesepakatan maka akan dipilah apakah ini tindak pidana atau bukan,” jelas Dian.
Kemudian muncul beberapa ketentuan yang menurut Dian merupakan “Jebakan Batman” bagi para penulis berita terutama terkait berita bohong, contempt of court, dan pembukaan rahasia, untuk ditindak pidanakan yang tercantum dalam Draf RUU KUHP yang dinilai sebagai upaya membungkam kerja jurnalistik.
Pasal 285 dari draf RKUHP 2 Februari 2018, menyatakan jurnalis yang menulis berita bohong dapat dipenjara maksimal enam tahun, didalam pasal 305 huruf d mengancam pidana dengan klausul menghina persidangan (contempt of court) jika mempublikasi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi hakim dalam persidangan, dan dlam pasal 494 ayat 1 dan pasal 495 ayat 1 yaitu pemberitaan yang dibuat merupakan rahasia negara dikenai pidana penjara selama 2 tahun .
“Secara aturan inilah yang dipermasalahkan bahwa masa depan jurnalistik di Indonesia itu masih mungkin atau bahkan lumpuh karena jurnalisnya, orang-per orang itu akan dilemahkan,” katanya.
Selain karena faktor regulasi, faktor yang kedua adalah masyarakat Indonesia yang berada di post truth era. Pasalnya masyarakat cenderung apabila ada informasi yang masuk dan tidak sesuai dengan keinginannya maka ia akan mengatakan itu adalahh berita hoax tanpa memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu.
“Karena masyarakatnya tidak terbuka terhadap fakta, data, dan analisa, jadi mau sebebas apapun media masa, pers, itu tidak akan berguna ketika masyarakatnya tidak percaya dan tidak mau belajar untuk mencari kebenaran,” ujarnya.
Ancaman yang ketiga menurutnya adalah terletak pada jurnalis itu sendiri.
“Jadi jurnalis itu bisa berada di garda yang paling depan dalam menyebarkan hoax, karena ia ingin banyak yang baca tulisannya atau karena keuntungan tertentu, ketika banyak yang baca dari tangan ke tangan dan ia tidak melakukan verifikasi maka sebenarnya ia sudah ikut andil dalam melemahkan kebebasan pers,” pungkas Dian.
Andi Fachrizal salah satu anggota AJI juga menekankan bahwa pentingnya disiplin verifikasi dan keberimbangan berita kepada seluruh jurnalis yang hadir dalam kegiatan diskusi tersebut.
Penulis : Maratushsholihah
Editor : Sekar A.M.