Oleh Nabu
mimbaruntan.com, Sambas—Jejak kebudayaan melayu zaman dahulu masih tersisa di tengah kehidupan modern masyarakat Paloh. Jejak peradapan yang membuat orang paloh sampai sekarang melestarikannya.
Jangan heran apa bila terdengar gendangan rabana dan ratib. itu adalah kegiatan mengagung-agungkan nama-nama Allah disertai doa selamat dan doa tolak bala. Jangan pula merasa takut apabila ada orang kayak kesurupan, tetapi orang itu benar-benar dimasuki roh mahluk halus yang di panggil oleh dukun atau pawang untuk dimasukkan ke badan orang sebagai perentara.
Itu salah satu rangkaian acara Antar Ajung. Tapi sebelum penulis menjabarkan lebih dalam lagi tentang Antar Ajung ini. Lebih baiknya kita ketahui asal muasal Antar Ajong ini.
Paloh adalah salah satu Kecamatan yang berada di ujung pantai utara Kabupaten Sambas. Berjarak sekitar 30 kilometer dari kota Sambas.
Masyarakat Paloh hidup dari pertanian dan maritim. Kombinasi ini membuat budaya,tradisi dan pola kehidupan masyarakatnya, mengabungkan hal tersebut. Salah satunya budaya Antar Ajung itu. Ritual yang dilakukan sebelum menyemai padi. Asa juga ritual menjelangpanen, ruah emping. Ruah artinya keselamatan. Emping berarti panen.
Antar Ajung memiliki makna, mengantar ajung. Ajung berasal dari kata Jung. Ini nama untuk kapal dengan dua layar utama. Bentuknya mirip kapal Shanghai dalam film-film Hongkong. Masyarakat susah menyebut kata Jung. Untuk lebih memudahkan pengucapan, ditambah huruf A.
Menurut kepercayaan orang Sambas terutamanya masyarakat paloh, tradisi ini juga tak bisa dilepaskan dengan kisah Raden Sandhi yang diangkat sebagai menantu raja oleh “orang kebenaran”. “Orang Kebenaran” adalah sebutan orang Sambas untuk makhluk halus. Raden Sandhi bukannya mati, tapi dibawa “orang kebenaran” orang halus, orang Paloh. Sampai saat ini, masyarakat masih percaya dengan keangkeran atau hal-hal mistik.
Ritual Antar Ajung ini tak tentu waktunya. Pelaksanaan berdasarkan kesepakatan para tetua adat. Lalu, ada timbul pertanyaan. Apa makna Antar Ajung bagi warga di Paloh?
Salah seorang warga Paloh Arif (60) menjelaskan, dulu bahwa dengan pelaksanaan Antar Ajung, masyarakat dijauhkan dari marabahaya. Dia berharap, dengan Antar Ajung juga masyarakat dijauhkan dari berbagai macam roh jahat, hama wereng dan tikus. Karenanya, ruh-ruh jahat itu, mesti ‘diikat’ dan dibawa dengan Ajung, menuju laut lepas. Dan dia percaya, ada perubahan hasil panen karena pelaksanaan Antar Ajung ini.
Tetapi Alhdulilah Sekarang ini, Dinas Pariwisata Sambas sudah mulai membantu kegiatan ini. Bahkan, sudah menjadikannya agenda pariwisata.
Pelaksanaan Antar Ajung dilaksanakan di Desa Tanah Hitam. Setiap dusun membuat satu ajung. Tak ada pakem dalam pembuatan ajung. Ukurannya tak dibatasi. Besar atau kecil, terserah saja
Waktu pelaksanaannya pun sekitar bulan Mei, Juni dan Juli. hal ini dikarenakan kadang dukun atau pawangnya yang menentukan.
Penulis pun mencoba turun ke tepi bibir pantai yang dari tadi pagi sudah di padati pengunjung. Berbagai motif alasan mengapa datang ke acara Antar Ajung ini. Ada yang benar-benar ingin lihat kegiatanya. Ada yang hanya untuk hiburan dan berkumpul bersama dengan teman-temannya serta ada yang untuk pacaran.
Penulis dengan seksama melihat beberapa tarian khas Sambas berupa tarian “Radat” yang di sungguhkan untuk pengunjung yang datang, sebelum Ajung di lepas ke laut. Beberapa jepretan kamera pun tidak terlewatkan untuk mengambil moment itu. Panas matahari tidak dihiraukan. Tetapi air laut sudah agak pasang, karena untuk melepas Ajung harus diwaktu air laut pasang.
Disamping itu penulis bertanya tentang proses pembuatnya. Salah satu warga setempat sebut saja Tamrin (52) yang juga berpartisipasi membuat Ajung itu menjelaskan. Ajung dibuat dari kayu Pelaik atau Lempung. Ini jenis kayu ringan dan mudah terapung. Warga juga menggunakan kayu Sengon. Kayu diambil dari pinggir hutan di sekitar kampung.
Panjang ajung sekira 1-2 meter. Lebar badan sekira 20-30 cm. Tinggi layar sekira 2-3 meter. Ada tiga layar di Ajung. Layar depan, berfungsi menentukan arah kapal, selain kemudi tentunya. Layar utama dan kedua untuk membuat ajung berlayar. Di samping ajung diberi cadik atau katir. Ini sebagai penyeimbang, supaya Ajung tidak roboh. Di bagian buritan ada kemudi dari kayu keras. Biasanya dari kayu Boris atau Kompas yang bisa tenggelam.
Biaya pembuatan Ajung ini hasil patungan secara bersama seluruh warga dusun, atau orang yang sukarela dan mampu melakukannya. Satu ajung menghabiskan dana sekitar Rp 250-300 ribu. Kepala Buana Lancang Kuning memberi bantuan sekitar Rp 50 ribu-Rp 100 ribu, pada setiap dusun, untuk pembuatan ajung.
Pembuatan Ajung ini juga dilakukan secara bergotong royong, mulai memotong, membelah, bahkan hingga mengecat serta memberi bentuk layar ajung tersebut. Apabila ajung sudah selesai, maka dilakukan penurunan ajung pada parit kecil sebagai wujud adaptasi untuk mengarungi lautan luas.
Sebelum ajung dilepas, terlebih dahulu diantar dengan tradisi jiget, dan tarian radat yang di iringi dengan bunyi-bunyian gendang tradisional masyarakat setempat. Pelepasan ajung harus dilakukan secara serentak oleh pemilik ajung yang merupakan wakil dari masing-masing dusun. Ajung pun digiring ke bibir laut yang selanjutnya akan terbawa arus menuju lautan lepas.
Proses perjalanan ajung-ajung ini mempunyai arti yaitu, bila waktu dilepas mengalami tingkat kesulitan untuk berlayar, maka diasumsikan masih adanya unsur ketidakikhlasan. Begitu juga sebaliknya, bila jung tersebut melaju secara cepat tanpa hambatan, maka diasumsikan bahwa masa tanam akan berhasil.
Ajung yang didesain seperti layaknya perahu layar ini juga diisi dengan beberapa muatan seperti telur ayam, ratih, beras kuning dan sebagainya. Tujuannya, tradisi ini merupakan proses mengantarkan sementara para penganggu tanaman padi akan ditanam oleh masyarakat agar dapat pergi sementara waktu. Proses antar ajung ini terbagi dalam tiga fase.
Fase pertama, masa pemberitahuan dari penghuni Ajung. Biasanya ada isyarat sejak enam bulan sebelumnya yang intinya memberitahukan bahwa sudah saatnya musim panen dilakukan, dan ini akan diiringi dengan masa makan emping bersama antar masyarakat secara terbuka.
Selanjutnya, memasuki masa mengantar upeti ke istana dengan bahan-bahan seperti beras kuning, beras pulut, retih, emping dan padi yang jumlahnya serba sedikit sebagai syarat, biasanya dilakukan pada akhir tahun atau akhir masa panen padi.
Malam harinya dilanjutkan dengan acara mengisi ajung. Ajung diisi dengan bermacam-macam wabe (hama penyakit bahasa Melayu Sambas), baik penyakit untuk tanaman, ternak maupun penyakit yang bisa menjangkiti manusia. Pada malam itu pula disediakan air untuk mandi benih. Setelah antar Ajung, barulah air tersebut dibagikan kepada masyarakat untuk memandikan padi yang akan disewakan. Keesokan harinya, Ajung lalu diturunkan ke laut.
Penulis merasakan sudah cukup mencari informasi tentang Antar Ajung, lalu menyegerakan tubuhnya mencari tempat yang terlindung dari panas matahari. Dari kejauhan terlihat beberapa orang sudah bersiap-siap untuk melapaskan Ajung. Jam pun menunjukkan pukul 01.45 Wib. Air laut pun sudah pasang dan sudah waktunya melepaskan Ajung.
Orang-orang berbondong-bondong untuk merapat ke bibir pantai. Sudah saatnya untuk melepaskan ajung orang pun bersorak.
Terlihat ada beberapa Ajung yang tidak seimbang belayarnya, ada yang kembali lagi, dan ada juga yang melaju kencang menuju laut lepas. hal ini juga di pengaruhi oleh arah angin.
Cukup lama Ajung yang melaju kencang tadi sudah tidak tampak terlihat lagi, sedangkan yang gagal melaju kencang dibawa lagi ke daratan. Orang-orang pun sedikit demi sediki meninggal kan lokasi. Penulis sendiri pun tidak luput untuk segera meninggalkan lokasi Antar Ajung.
Ternyata ritual Antar Ajung sudah dimulai sejak kerajaan Sambas berdiri atau tepatnya semasa pemerintahan Sultan Muhammad Syafiudin. Antar ajung dimaksudkan agar raja-raja roh jahat tidak menganggu tanaman petani, setelah dikumpulkan di dalam satu ajung roh-roh jahat tersebut kemudian dikirim ke lautan lepas.
Setelah melakukan ritual Antar Ajung masyarakat diwajibkan mematuhi pantangan, seperti tidak boleh menebang kayu besar di hutan dan pohon sagu. Kalau ada masyarakat yangn melanggar maka akan dikenakan hukuman adat sebesar membuat ketupa sebanyak seratus buah yang dibagikan pada setiap rumah dan membayar sejumlah uang untuk diinfakkan (disumbangkan) ke masjid.
Hukuman adat tersebut memang ringan tetapi sanksi moral dengan membagikan ketupat ke tiap rumah dinilai sangat memalukan oleh masyarakat Melayu Sambas. Masyarakat Sambas percaya bahwa kalau tidak dilakukan ritual Antar Ajung maka hasil panen akan menurun dan akan diserang hama tikus dan wereng.
Ritual Antar Ajung ini diikuti dan disaksikan tidak hanya masyarakat Melayu Sambas, tetapi seluruh warga dari berbagai etnis yang ada di Paloh dan Sambas. Ketika pelaksanaan ritual Antar Ajung inilah terjadi hubungan, interaksi masyarakat dari berbagai etnis, agama, tua-muda, laki dan perempuan. Di samping ada sisi budaya dan ritual, antar ajung menjadi pesta syukur rakyat Sambas, khususnya paloh.