Gagasan antroposentrisme yang menitikberatkan pada keyakinan bahwa manusia adalah penguasa dan penentu realitas yang bisa menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya. Oleh karenanya, segala sesuatu yang berada di luar diri manusia akan diperlakukan sebagai objek yang fungsinya tak lain untuk memenuhi kebutuhan manusia. Cikal bakal gagasan ini muncul dari gagasan Rene Descartes yang membawa pergeseran yang amat besar sekaligus mendorong optimisme manusia menuju pandangan bahwa manusia mampu menaklukan alam. Jika di periode sebelumnya manusia tunduk pada alam, kini dengan rasio yang mereka miliki alam dibuat tunduk. Dengan kata lain, manusia berada pada pusat alam semesta sehingga segala sesuatunya baru akan dianggap bernilai jika mampu memberikan kebermanfaatan untuk manusia.
Pandangan inilah yang mendasari hampir seluruh model pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. Akibatnya, ciri dari pengelolaan SDA cenderung eksploitatif. Di Indonesia, model pengelolaan yang eksploitatif ini muncul sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1967 yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan kemudian disusul dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sejak Indonesia membuka keran investasi di masa Orde Baru atau dengan kata lain menjadikan alam sebagai produk yang bisa dikapitalisasi, aktivitas eksploitasi SDA semakin merajalela dan imbasnya lingkungan hidup rusak secara signifikan. Kondisi lebih buruk terjadi di Era Reformasi kini, tuntutan pasar bebas yang amat tinggi menyebabkan semakin banyak SDA yang harus dikorbankan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Proses modernisasi, industrialisasi dan kapitalisasi yang terjadi secara terus menerus ini memicu terjadinya krisis ekologis sulit dihindari.
Baca juga: Pertobatan Ekologis: Ketika Agama Berbicara Mengenai Lingkungan
Mari melihat lebih dekat model pengelolaan eksploitatif SDA dalam konteks Kalimantan Barat. Provinsi yang dilintasi oleh Sungai Kapuas ini terkenal dengan industri perkebunan kelapa sawit dan juga tambang. Akibatnya, setiap tahun ada jutaan hektar hutan yang terpaksa ditebangi guna memenuhi kebutuhan pasar. Hilangnya tutupan hutan bukan sekadar angka, upaya pemenuhan kebutuhan manusia modern menyebabkan hutan kehilangan fungsinya sebagai ekosistem penyangga. Maka wajar jika bencana alam akhir-akhir ini semakin sering menghampiri masyarakat.
Di Kabupaten Melawi tidak kurang dari 3 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan 7 perusahaan tambang di bentangkan karpet merah untuk mengelola hutan yang ada di Kecamatan Menukung. Izin lokasi yang diberikan oleh Bupati Melawi tersebut tak tanggung-tanggung yaitu sebanyak 120 ribu hektar. Meskipun hingga saat ini belum digarap secara keseluruhan. Namun, kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit saja misalnya telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat mulai dari kesulitan air bersih hingga ancaman banjir yang kian sering.
Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Melawi mengungkap selama kurun waktu 2020 lalu, tidak kurang 5 kali terjadi banjir dan 2 diantaranya dengan kondisi terparah sepanjang sejarah kabupaten Melawi berdiri. Di Nanga Pinoh, pusat ibu kota Kabupaten Melawi, banjir setinggi 3 meter merendam pemukiman warga selama hampir sepekan, terhitung sejak tanggal 12 September hingga 18 September 2020. Kondisi ekonomi lumpuh total, pasokan air kritis, dan listrik ikut terputus. Kondisi terburuk bisa saja terjadi, jika banjir tidak kunjung surut. Pemandangan serupa juga terjadi di 10 kecamatan lainnya.
Baca juga: Nasib Mahasiswa terdampak Banjir: Antara Perut dan Kuliah
Corey Bradshaw dan kawan-kawan dalam kajian yang diterbitkan oleh Global Change Biology sudah mengingatkan bahwa banjir akan memberikan dampak negatif bagi jutaan penduduk miskin, dan menimbulkan kerugian mencapai triliunan dolar selama beberapa dekade mendatang. Oleh karenanya, menimbang risiko dan tingkat keparahan yang bisa terjadi di negara berkembang, melakukan perlindungan hutan dengan skala besar guna melindungi kesejahteraan manusia serta melakukan reboisasi dapat mengurangi frekuensi serta tingkat keparahan akibat banjir adalah langkah yang harus dilakukan segera.
Upaya pemenuhan hasrat hidup manusia dan pergeseran dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern berjalan lurus dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup. Pandangan masyarakat tradisional semula menitik beratkan alam sebagai penentu realitas, dan manusia sebagai objek dari kekuatan alam. Sedangkan masyarakat modern berpikir sebaliknya, alam adalah objek dan mengeksploitasinya adalah keniscayaan.
Jika kita menarik pada konteks pembahasan dalam majalah ini, persoalan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan manusia dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir lebih jauh telah memberikan ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Kabupaten Melawi. Selain frekuensi bencana semakin sering, ancaman terjadinya bencana banjir yang lebih besar sangat mungkin terjadi jika pemerintah tidak serius menangani hal tersebut.
Penulis: Mita Anggraini