mimbaruntan.com, Untan – Sejak pukul 02.00 dini hari, Salmah warga Jalan Tanjung Raya I berjalan kaki sejauh 3 kilometer dengan penuh semangat menuju tempatnya biasa mencari rezeki. Setibanya ia di Pasar Tradisional Flamboyan, tampak mobil-mobil pengangkut berbagai macam barang yang akan dijual sudah berjejer memadati pinggiran Jalan Gajah Mada, Senin (25/3).
Tak heran jika pasar tradisional sedari subuh buta sudah dipadati oleh pedagang, pembeli, tengkulak dan juragan kebun berbaur dalam satu tempat.
Suasana pasar tampak riuh, sisi kanan dan kiri jalan tampak pembeli yang sedang melakukan tawar menawar dengan pedagang sayur, buah, bumbu dapur dan keperluan sembako lainnya.
Tak luput para kuli panggul pasar menggunakan gerobak membawa berbagai macam barang, lincah mencari celah di antara para pembeli yang hilir mudik yang ada jalan-jalan kecil berukuran satu meter lebih itu.
Tak jauh dari tempat pedagang sayuran, tong-tong berisi udang seukuran kelingking sudah menunggu Salmah di lapak ikan di bagian utara Pasar Flamboyan. Ibu yang berusia 50 tahun ini tak ingin membuang waktu dan siap dengan celemeknya untuk mengupas udang yang menumpuk diatas meja.
Tangannya cekatan menguliti udang satu demi satu. Bukan sembarangan mengupas kulit udang. Selain butuh kuku yang kuat dan tajam, jari juga harus terbiasa ditusuk duri yang ada di kepala udang. “Kalau ada kulit, harganya murah, kalau tidak ada kulitnya, harganya mahal,” ungkap wanita ini.
Tak hanya Salmah, Amma (35) ibu dua anak ini juga bergelut dengan udang-udang yang akan dikupas di Pasar Flamboyan. Ia mengenang ketika hendak menjemput rezeki sebagai pengupas kulit udang, dirinya harus perlahan-lahan bangun agar tidak menganggu anaknya yang berusia sepuluh dan lima tahun tengah terlelap tidur. Kepada saya Amma bercerita, jika ia pergi ke pasar pada pukul 02.30 dinihari maka urusan rumah diserahkan kepada suaminya.
“Kalau hanya menunggu uang dari suami mana cukup,” katanya sambil tersenyum. Semua demi asa untuk membantu suaminya yang bekerja sebagai pedagang buah musiman untuk menghidupi keluarga. Anaknya yang pertama sudah kelas 4 SD. Anak yang kedua tahun ini akan masuk TK.
“Di sekolahkan satu tahun saja TK-nya. Tidak mampu, biayanya mahal,” keluhnya sembari terus mengupas kulit udang.
Ia pun tak boleh kalah cepat dari teman-temannya saat menguliti udang. Genangan air di lantai pasar dan bau amis yang menguap memenuhi ruangan tak dirasanya mengganggu. Pandangannya terus tertunduk kebawah menyaksikan tangannya sendiri mengupasi kulit udang sambil sesekali berbicara dengan teman-temannya sesama pengupas. Mereka menguliti udang dalam posisi berdiri.
Jika Salmah dan Amma yang semangat menjadi pengupas udang. Maka ada yang tak kalah semangat. Wanita yang berusia 80 tahun itu masih tampak bergairah seperti anak muda, meskipun mengalami gangguan fungsi pendengaran. Berjalan kaki dari Jalan Tanjung Raya I menuju pasar tanpa mengenakan sandal. Hitung-hitung olahraga tanpa mengeluarkan biaya. Nenek adalah teman Amma satu meja. Kata Amma, dari pukul dua belas malam sudah turun dari rumahnya. Kuku jari tanggannya yang sudah menghitam pertanda jam terbangnya yang sudah tinggi menjadi pengupas kulit udang. “Dia ini sudah senior, sudah kami angkat jadi ketua kami,” kata Amma sambil terkekeh.
“Kalau cepat banyak dapat,” ujar Rupa (50) wanita yang juga mencari rupiah bekerja sebagai pengupas udang. Menurutnya itu bisa menjadi motto kerja pengupas udang.
Para wanita pengupas kulit udang ini dibayar harian sesuai hasil kupasan yang mereka dapatkan. Kecepatan tangan masing-masing bukan faktor penentu satu-satunya untuk hasil yang mereka dapatkan, karena juga tergantung pada pasokan udang yang datang. Saat mulai mengupas pukul 03.00 dan selesai pada pukul 10.00, rata-rata mereka mampu menghasilkan 10 kilo. Lima puluh ribu ia kantongi untuk dibawa kerumah. Sebelum dikupas, udang ini dihargai empat puluh ribu rupiah. Tanpa kulit, udang ini menjadi delapan puluh ribu.
Mereka pergi bekerja di pagi buta dan pulang menjelang siang demi empat puluh ribu sampai lima puluh ribu rupiah. Sekadar untuk menjaga asap dapur tetap mengepul.
Penulis: Aris Munandar
Editor : Umi Tartilawati