Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim nampaknya akan menjadi pahlawan bagi para penganut agama lokal (penghayat kepercayaan) yang merasa termarginalkan oleh negara. Pasalnya, pada 7 November 2017 lalu, memenangkan gugatan atas Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Mereka mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena menilai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 merugikan mereka sebagai penganut agama lokal.
Sebelumnya, karena tidak diakui dalam enam agama resmi pemerintah, kolom agama di kartu identitas mereka hanya di beri tanda strip (-). Akibatnya, mereka kesulitan mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara dalam berbagai bidang, seperti identitas agama, pencatatan pernikahan, kelahiran, kartu keluarga, mengurus pendidikan dan pekerjaan.
Para penghayat kepercayaan tidak menyetujui kalau apa yang mereka anut tidak ditulis secara spesifik. Padahal dalam Pasal 29 UUD 1945 pasal 2 mengatakan bahwa, “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Namun permasalahan memahami agama dan kepercayaan menjadi salah satu yang belum terselesaikan. Hingga akhirnya banyak yang terpaksa memilih salah satu dari agama resmi untuk menghindari diskriminasi dalam administrasi kependudukan dan mendapatkan “hidup normal” layaknya warga negara lain yang menganut agama resmi.
Ketok palu persetujuan gugatan itu merupakan angin segar bagi eksistensi “agama asli Indonesia”. Setidaknya, hal sederhana ini bisa menjadi pintu masuk untuk sebuah regulasi yang dijamin undang-undang dalam hal kebebasan memilih, menganut dan menjalankan agama.
Narasi “agama impor diakui, agama leluhur juga harus diakui,” sekarang memasuki babak baru. Jalan panjang yang dilalui oleh para penganut agama lokal, mulai dari dipaksa memilih enam agama resmi, diskriminasi, sampai dicap PKI, kini sedikit berbuah manis terkait eksistensinya.
Menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan hukum tetap, hasil rapat terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi pada 4 April 2018 memutuskan bahwa Kemendagri harus bersiap menerbitkan Kartu Tanda Penduduk bagi penganut agama lokal. Mereka akan memiliki KTP yang berbeda dengan penganut enam agama resmi. Untuk penganut agama lokal, kolom agama akan diganti dengan kepercayaan dan akan tertulis spesifik kepercayaan apa yang mereka anut.
Kemendagri untuk itu akan berkoordinasi dengan Kemendikbud dan Kemenag untuk mendata penganut agama lokal di dalam negeri. Tjahjo Kumolo pun berjanji, pencantuman penganut kepercayaan pada KTP dan KK akan dilaksanakan setelah pilkada serentak 27 Juni 2018.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat per 30 Juni 2017 ada 138.791 jiwa di 13 provinsi. Ada 187 organisasi yang mewadahi para penghayat kepercayaan ini dan 27 diantaranya dinyatakan sudah tidak aktif lagi.
Baca juga:Aksi Doa Bersama Untuk Tuti, Mengecam Hukuman Mati
Para penghayat kepercayaan, diantaranya Kaharingan, Marapu, Kejawen, Sunda Wiwitan, Buhun, Ugamo Malim, Tolotang, dan lain-lain mengkalim kepercayaan mereka lebih dahulu hadir di Nusantara dibanding enam agama resmi yang dominan dianut di Indonesia. Namun perlakuan seperti tamu di rumah sendiri masih mereka rasakan. Kepercayaan yang menjadi minoritas di Indonesia ini, ajarannya tak jauh perihal hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan yang paling menonjol adalah hubungan manusia dengan alam yang juga direpresentasikan sebagai Tuhan.
Tahun 1951, kongres kebatinan yang dikonsolidasi oleh Wongsonegoro menerjemahkan kata “kepercayaan” pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 adalah termasuk ajaran kebatinan. Saat itulah mulai dilihat sebagai masa menguatnya agama dan kepercayaan lokal. Saat itu ada 350 kelompok penganut agama lokal. Puncaknya pada tahun 1972, ada 644 kelompok yang terdaftar di Sekertariat Kerjasama Kepercayaan.
Namun menguatnya kepercayaan lokal menggelisahkan para penganut agama mayoritas yang ada di Indonesia kala itu. Akhirnya definisi agama yang berpatokan pada pendapat Menteri Agama Mukti Ali yang mengatakan bahwa agama itu harus punya Tuhan, punya kitab suci, harus punya nabi. Akibatnya, agama-agama lokal dianggap hanya sebagai bagian dari agama-agama besar. Agama lokal dipandang sebagai sempalan dari agama resmi yang diakui.
Diperparah lagi dengan adanya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pasca peristiwa itu, agama lokal yang tak sesuai definisi agama dari Mukti Ali, dianggap PKI yang diindentikan dengan ateisme. Gencarnya pemberantasan PKI masa itu seperti membangun narasi di masyarakat bahwa, “kalau penganut agama lokal mau hidup, pilih agama resmi yang diakui oleh pemerintah.”
Pada masa Orde Baru, Soeharto memang terkesan mendukung penghayat kepercayaan. Soeharto mengusulkan pada sidang DPR-MPR 16 Agustus 1978, penganut agama lokal perlu dibina agar jalannya tetap selaras dengan Pancasila. Pembinaan itu di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun itu bukan jaminan untuk mendapatkan hak yang sama seperti penganut agama resmi yang diakui pemerintah.
Setelah permasalahan PKI dianggap usai, permasalahan penghayat kepercayaan belum juga usai. Ketakutan dalam menghayati kepercayaan lokal masih terasa. Ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa karena tidak adanya regulasi yang jelas menyebabkan penghayat kepercayaan rentan menjadi sasaran diskriminasi.
Hal ini mengakibatkan orang lebih cenderung membohongi dirinya sendiri dan publik terkait kepercayaan yang dianutnya. Hal ini untuk menghindari diskriminasi dan demi memperoleh hak administratif yang sama dengan penganut agama resmi.
Oleh karenanya, masa Orde Baru dan masa-masa setelahnya, penghayat kepercayaan rentan sekali diperlakukan diskriminatif dalam hal-hal yang bersifat administratif di berbagai bidang. Bahkan sampai saat ini, rentan sekali isu-isu tentang penghayat kepercayaan untuk dipolitisasi.
Baca juga:Untan Tidak Mengirim Perwakilan Program Permata 2018
Punahnya Agama Dayak
Jika ketuk palu terjadi di dekade 1970-an, agaknya tak perlu Kaharingan yang dianut oleh Suku Dayak Uud Danum di Kalimantan Barat kehilangan penganut dan Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah berafiliasi dengan agama Hindu. Intervensi pemerintah sesudah peristiwa PGRS/PARAKU di Kalimantan Barat, yang berideologi Komunis, penganut Kaharingan yang di mata negara tidak diakui, dianggap tidak beragama dan simpatisan ideologi terlarang.
Oleh karena itu ada proses katolikisasi kepada penganut Kaharingan dengan mendatangkan 3.000 guru dari NTT pada periode 1978-1982. Dibumbui ketakutan dicap PKI, membuat Karangingan di Kalimantan Barat, menurut AJU, sudah punah.
Sedangkan di Kalimantan Selatan, proses berafiliasinya Kaharingan dengan Hindu menempuh jalan panjang. Mereka sempat mendatangi Islam dan Kristen. Namun karena pebedaan yang amat jauh antara Kaharingan dan dua agama besar tersebut, mereka memilih Hindu karena secara praktik keagamaan hampir berdekatan. Bahkan sekarang ada kecenderungan penganut Kaharingan di Kalimantan Selatan untuk menyamakan diri dengan Hindu yang ada di Bali.
Sedangkan penganut Ugamo Malim dan Sunda Wiwitan lebih memilih memeluk Kristen. Ada juga Kejawen dan Wetu Telu yang dikaitkan dengan Islam. Dan masih banyak agama-agama lokal lain yang “dimasukkan” ke dalam agama-agama resmi.
Sudah setahun sejak diketuk palu persetujuan gugatan yang diajukan oleh para tetua penghayat kepercayaan. Namun sampai sekarang belum ada kejelasan janji Mendagri terkait realisasinya. Padahal sudah hampir lima bulan sudah usai Pilkada serentak dilaksanakan.
Kita patut bertanya komitmen pemerintah untuk menindaklanjuti secepatnya keputusan dari Mahkamah Konstitusi. Kita tunggu realisasi dari Kemendagri terkait status yang secara langsung berdampak pada pengakuan dan eksistensi dari para penghayat kepercayaan. Jelasnya, semakin cepat semakin baik. Jangan sampai penghayat kepercayaan harus berbohong untuk salah satu hal yang paling fundamental dalam berkehidupan di negara yang terkenal religius untuk mendapatkan kesamaan hak.
Permasalahan data agama lokal, jumlah penganut dan aplikasi semoga cepat diselesaikan. Optimisme harus dikedepankan agar para penghayat merasa diakui oleh negara dan tidak lagi ada diskriminasi dalam mendapat hak-hak mereka. Status yang jelas dalam catatan kependudukan juga diharapkan menangkal ajaran, paham atau ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Penulis: Aris Munandar