PERNYATAAN SIKAP
KONFERENSI PERS FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) KALBAR
20 DESEMBER 2018
“HENTIKAN INTIMIDASI, TEROR, KEKERASAN DAN KRIMINALISASI KAUM TANI.
TOLAK DAN LAWAN REFORMA AGRARIA PALSU DAN PERHUTANAN SOSIAL (RA-PS) JOKOWI,
KARENA TIDAK MENYELESAIKAN AKAR MASALAH KAUM TANI DI INDONESIA”
- Bebasnya Pejuang Agraria-Pejuang Kaum Tani yang dikriminalisasi (AYUB)
Ayub merupakan Ketua Serikat Tani Kubu Raya (STKR) Ranting Desa Olak-Olak Kubu yang dikriminalisasi karena memperjuangkan hak-hak demokratis kaum tani terutama hak atas tanah yang telah dirampas oleh Perusahaan Perkebunan Sawit Skala Besar PT.Sintang Raya (PT SR) dan PT. Cipta Tumbuh Berkembang (PT CTB). Kuatnya kekuatan ekonomi politik Perkebunan Sawit skala besar tersebut telah mengunci rapat-rapat keadilan bagi kaum tani miskin di pedesaan.
Kriminalisasi terhadap kaum tani seperti yang dialami Ayub di Kalbar, khususnya di Desa Olak-Olak Kubu, Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya bukanlah kali pertama. Sebelumnya telah terjadi rententan panjang intimidasi, teror, tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum tani di 9 Desa yang tanahnya dimonopoli oleh PT Sintang Raya dan PT. CTB. Masalah ini telah menjadi rahasia umum jajaran pemerintahan di Provinsi Kalimantan Barat, terlebih Kabupaten Kubu Raya. Lebih dari 10 tahun Perjuangan Kaum Tani di Kubu Raya menolak keberadaan perusahaan tersebut tidak pernah digubris oleh Negara. Negara bahkan lebih membela kepentingan perusahaan dibanding kepentingan rakyatnya dengan menurunkan Alat Negara bersenjatanya untuk melakukan teror, intimidasi dan kriminalisasi terhadap kaum tani, seperti Kriminalisasi Kepala Desa Olak-Olak Kubu, Peristiwa Teror Pasca Panen Massal Rakyat Juli 2016 yang dilakukan oleh Aparat bersenjata Negara dan preman-preman bayaran Perusahaan. Kemudian rentetan penangkapan kaum tani serta intimidasi yang tak terhitung dilakukan perusahaan dan aparat bersenjatanya.
Teror, intimidasi, kekerasan bahkan kriminalisasi yang dilakukan terhadap kaum tani di pedesaan adalah cara paling ampuh untuk memuluskan perampasan tanah. Namun bukannya takut, keberanian rakyat terus meningkat berlipat-lipat karena semakin mengetahui BOPENG sesungguhnya dari Rezim yang berkuasa hari ini. Tindasan yang dialami oleh kaum tani dan rakyat di pedesaan akan semakin menambah keyakinan bahwa berjuang untuk mempertahankan tanah dan hak-hak demokratis lainnya adalah keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar, karena tanah adalah sumber hidupnya kaum tani. Sering dilontarkan oleh salah seorang pejuang agraria “Almarhumah Ibu Herlina” (Ketua Cabang Serikat Tani Kubu Raya 2016-2017) “Tidak berjuang mati perlahan… lebih baik berjuang sampai mati, karena berjuang menciptakan harapan perubahan yang lebih baik untuk saat ini dan masa depan anak dan cucu. Tak bisa diharapkan Bupati, Gubernur, apalagi Presiden. Sudah berkali-kali ganti, tetap saja tanah kita dirampas perusahaan perkebunan sawit, Perusahaan Tambang, Perusahaan Perkebunan Kayu skala besar(HTI-HPH) dan oleh Taman Nasional serta Megaproyek Luar negeri berkedok konservasi lainnya”.
Namun, setidaknya kabar gembira yang ditunggu-tunggu kaum tani di Desa Olak-Olak Kubu dan seluruh Indonesia telah tiba, pada 20 Desember 2018, Ayub dijadwalkan bebas dari masa tahanannya. Berarti pula kembalinya Pejuang Kaum Tani ke kampung halamannya untuk bersama-sama berjuang.
- Solidaritas untuk Petani Dusun Jurang Koak dan Burne(Lombok Timur-NTB) dan Masyarakat Adat Suku Ammatoa Kajang (Bulukumba-Sulawesi Selatan)
Di saat yang sama di belahan Indonesia lainnya, Negara terus melakukan penindasannya terhadap kaum tani dan masyarakat adat. 18 Desember 2018 kembali terjadi teror, intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum tani di dusun Jurang Koak dan dusun Burne, Desa Bebidas Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) 2 orang Petani sekaligus Masyarakat Adat ditangkap (Sarafuddin dan Amaq Har) dan pemukulan terhadap seorang pemuda yang berakibat luka serius di kepala (Deri Putra). Peristiwa ini terjadi akibat Operasi Gabungan antara POLRI, POLHUT dan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dalam rangka pengusiran petani dusun Jurang Koak dan dusun Burne dari lahan pertanian seluas ±300 Hektar yang mereka kelola secara turun temurun sejak zaman kolonial Belanda. Tanah tersebut diklaim sepihak oleh negara melalui Taman Nasional Gunung Rinjani. Tidak hanya tanah pertanian, namun juga tanah pemukiman masyarakat. Sehingga Masyarakat yang hidup sejak dahulu di sekitar Gunung Rinjani diusir paksa oleh Taman Nasional Gunung Rinjani untuk meninggalkan kampung halamannya. Sebelumnya pada tahun 2016 di lokasi yang sama 3 orang petani ditahan paksa selama 1,5 tahun. 16 September 2017, 500 aparat gabungan dipimpin langsung oleh KAPOLDA NTB dikerahkan untuk mengusir, merusak ladang dan membakar pondok-pondok, memukul puluhan petani, menangkap 5 orang petani, memaksa menandatangani pernyataan bahwa mengakui telah mengelola lahan TNGR. Semua kejadian tersebut belum termasuk rentetan penangkapan tanpa proses hukum yang tidak terpublikasikan.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang diperjuangkan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesil Selatan. Telah lama Perjuangannya menuntut Pengakuan atas wilayah adatnya yang telah dirampas dan dimonopoli oleh PT.Lonsum belum juga terwujud. Tidak ada perjuangan yang berjalan mulus, upaya untuk mendapatkan kembali Tanah Adatnya dibalas dengan kriminalisasi 14 orang pejuang kaum tani dan masyarakat adat oleh PT.Lonsum melalui Polres Bulukumba. Saat ini, 14 orang tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka penyerobotan lahan PT.Lonsum. Walaupun Ada kesepakatan bersama antara Masyarakat dengan Kemendagri, akan dibentuk tim kecil untuk pengukuran ulang HGU PT.Lonsum dan tanah adat yang dirampas oleh PT.Lonsum akan dikembalikan kepada Masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Semua kesepakatan tersebut sampai dengan saat ini belum dipenuhi, dan Masyarakat hanya menggantungkan nasib wilayah adatnya dengan janji-janji yang tidak pasti dari pemerintah serta kriminalisasi yang terus berlanjut.
Atas peristiwa-peristiwa tersebut, kami dari berbagai organisasi Petani, Buruh, Pemuda, Mahasiswa dan perempuan yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat menilai bahwa kriminalisasi, intimidasi dan teror serta penyitaan alat kerja yang didalangi PT.Sintang Raya dan PT.CTB menggunakan alat negara terhadap Ayub beserta pimpinan dan anggota Serikat Tani Kubu Raya lainnya adalah pelanggaran HAM yang tidak manusiawi. Dipenjaranya Ayub hingga kebebasannya hari ini tidak akan pernah menyurutkan semangat perjuangan kaum tani dan rakyat lainnya untuk mendapatkan hak-hak demokratisnya. Lebih dari itu, teror, intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh para Tuan Tanah di seluruh penjuru Indonesia semakin memperjelas karakter anti-rakyat dari Rezim Jokowi-JK yang merangkap Rezim Boneka Kapitalis Monopoli Amerika Serikat. Serta apa yang dilakukan oleh Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dan aparat gabungan di Dusun Jurang Koak dan Perampasan Tanah serta kriminalisasi yang dilakukan oleh PT.Lonsum terhadap Masyarakat Adat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulsel melalui aparat bersenjatanya adalah tindakan keji. Sama halnya dengan apa yang telah dilakukan Kolonial Belanda dan Jepang terhadap Kaum Tani Indonesia di masa lalu.
Oleh Karena itu Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat menyatakan sikap :
- Menuntut dihentikannya Kriminalisasi Petani, Aktivis, dan Pejuang Agraria serta Bebaskan seluruh petani yang dikriminalisasi di seluruh Kalimantan Barat dan di seluruh Indonesia
- Menuntut Presiden RI dan Gubernur Kalimantan Barat menindaklanjuti Pelanggaran HAM yang terjadi di Desa Olak-Olak Kubu oleh Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT.Sintang Raya dan PT.Cipta Tumbuh Berkembang.
- Mengutuk keras intimidasi, teror, pengusiran, pengrusakan, kekerasan serta penangkapan oleh Taman Nasional Gunung Rinjani melalui aparat gabungan POLRI, POLHUT dan satuan keamanan TNGR di Dusun Jurang Koak, Desa Bedabas, .
- Menuntut kepada POLRI untuk membebaskan tanpa syarat 2 orang petani Jurang Koak yang ditangkap (Saraffudin dan Amaq Har) dan mengusut tuntas pemukulan terhadap Deri Putra
- Menuntut Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) untuk mengembalikan Tanah milik Kaum Tani di desa-desa yang diklaim oleh TNGR dan menghentikan perampasan tanah milik masyarakat.
- Menuntut TNGR mengganti seluruh kerugian yang dialami kaum tani di sekitar Gunung Rinjani akibat peristiwa pengrusakan, pengusiran September 2017 dan Operasi Gabungan 18 Desember 2018.
- Menuntut Pemerintah Jokowi beserta jajarannya segera Merealisasikan tim kecil yang akan melakukan pengukuran ulang HGU PT.Lonsum dan mengembalikan Tanah Adat Suku Ammatoa Kajang, Bulukumba,Sulawesi Selatan.
- Menuntut kepada POLRI hingga jajaran POLRES Bulukumba untuk membebaskan tanpa syarat 14 Pejuang Kaum Tani dan Masyarakat Adat yang dikriminalisasi oleh PT.Lonsum
- Menuntut Pemerintah Jokowi-JK beserta jajarannya menghentikan perampasan tanah kaum tani untuk peruntukan apapun.
- Menuntut Pemerintah jokowi-JK beserta jajarannya menghentikan Reforma Agraria Palsu dan Perhutanan Sosial (RA-PS) yang nyatanya tidak menghilangkan monopoli tanah Tuan Tanah.
- Menuntut dicabutnya Pelarangan pembakaran Ladang bagi kaum tani dan Masyarakat Adat di Kalimantan Barat dan Seluruh Indonesia.
- Menuntut Pemerintah jokowi-JK beserta jajarannya untuk sesegera mungkin menaikkan harga jual karet, kelapa bulat (kopra), sawit milik petani.
Demikian Pernyataan Sikap kami sampaikan dengan sebenar-benarnya
Jayalah Perjuangan Kaum Tani ….!!!
Jayalah Perjuangan Rakyat Indonesia….!!!
Jayalah Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia…!!!