Mimbaruntan.com, Untan – Sebagai bentuk dukungan dan solidaritas untuk Suara USU, diadakan malam pembacaan puisi yang diselenggarakan di Sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Mimbar Untan, Kamis (28/3).
Sebelumnya, Lembaga Pers Mahasiswa Suara USU di Universitas Sumatera Utara menerbitkan cerpen berjudul Ketika Semua Orang Menolak Kehadiran Diriku Di Dekatnya di situs suarausu.co. Cerpen yang dianggap sebagian pihak mengandung unsur pornografi dan muatan LGBT ini berbuntut panjang, mulai dari disuspensinya situs suarausu.co sampai dipecatnya 18 anggota Suara USU pada 25 Maret 2019.
Adi Rahmad selaku Ketua Umum LPM Mimbar Untan mengatakan acara diskusi dan pembacaan puisi ini adalah bentuk solidaritas dari Pers Mahasiswa di Kalbar terhadap permasalahan yang terjadi Suara USU. “Bentuk sikap kita terhadap rektor yang sewenang-wenang terhadap Suara USU. Kita tahu seharusnya pemimpin akademis ya harusnya juga bersikap akademis, bukan otoriter,” katanya.
Menanggapi pemecatan 18 awak redaksi Suara USU, Ketua Umum LPM Warta IAIN Pontianak, Farli AFif mengatakan itu adalah tindakan yang teresa-gesa dari pihak rektor. “Itu tindakan yang perlu dikaji ulang. Karna saya rasa itu tindakan yang tidak tepat. Karena kenapa dengan karya yang seperti itu, Suara USU harus ditumbangkan sampai ke akar-akarnya,” ujarnya.
Menanggapi polemik cerpen tersebut, Restiana Purwaningrum yang ikut hadir dalam pembacaan puisi mengatakan karena isu yang diangkat dalam cerpen ini juga membuat kontroversi di masyarakat. Hal itu menjadi alasan rektorat berani menjadikan cerpen ini sebagai cara untuk membungkam Suara USU.
Menurut Muhammad Arif Rahman, merupakan kasus yang unik saat Pers Mahasiswa diintervensi seperti di USU karena cerpen. Menurutnya ini adalah bentuk tindakan sewenang-wenang dari pihak rektorat yang hanya mencari momentum dari keresahannya yang sudah di ubun-ubun terhadap Suara USU.
Ia menambahkan jika mengomentari soal cerpen, berarti bicara tentang cara penyampaian, alur cerita, gaya bahasa dan lain-lain. “Saat kita membicarakan sastra, kita bukan bicara benar atau salah. Tapi bicara bagus atau tidak. Kalau jurnalisme dibungkam, sastra bicara. Tapi kalau sastra dibungkam, kembali kita lawan dengan jurnalisme,” ungkapnya.
Editor: Nurul R. Maulidia