Entah sudah berapa banyak lelucon yang dibuat oleh badut berdasi di negeri ini. Entah karena kurang kerjaan atau karena memang menggemari keriwehan publik, mereka-mereka itu sibuk urus ini itu soal gado-gado ambyar anti-merakyat. Sebutlah bahan gibah publik yang satu ini; Omnibus Law: RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), bahkan dari namanya saja (cilaka) dengan lugas terbaca sebagai ‘celaka’, ya celaka bagi kita rakyat jelata kalangan buruh dan pekerja yang urusan dapurnya selalu menjadi taruhan oleh mereka-mereka di atas sana (dibaca: pemerintah).
Saya bukanlah seorang profesional apalagi dukun yang bisa mengupas tuntas dan melihat prospek pemerintah ini di masa mendatang. Tapi kita sebagai rakyat biasa bebas memilih apakah ingin tetap meneguk dalgona coffee sembari nyambat dan eksis di Tiktok atauuuu duduk sebentar dimanapun kalian berada, tetap fokus pada layar gadget saat ini, dan baca tuntas masalah ini! Atau jika perlu kalian bisa ikut berdiri dan bersuara dengan otak yang sudah berisi. Ini bukan sekedar ocehan reporter televisi ketika mewarta demonstrasi dan bukan pula ocehan bapak-bapak di warung kopi yang kadang ga ramah di telinga milenial, entah siapapun dan berapapun umurmu, masalah ini bakal nge-impact langsung ke kita semua. Ya iyalah, secara kita semua bakal ‘gede’ dan masuk dalam rantai perekonomian itu, entah apapun profesi kita di masa mendatang.
Yaudah langsung saja kita bahas satu persatu dan disini saya bakal membahasnya dengan bahasa ringan supaya semua paham pentingnya isu ini!
Kita kenalan dulu dengan tersangka kali ini! Omnibus law.
Di awal tadi saya sudah bilang kalau kali ini kita berhadapan dengan gado-gado ambyar anti-merakyat (dibaca: Omnibus law). Ya gimana enggak ya, aturan baru ini dibuat untuk menyerobot aturan-aturan yang sebelumnya telah ada, dipotong-potong bahannya dan digadoin bareng ulekan kacang tanah, jadi deh hahaha. Ada juga yang bilang kalau tersangka kali ini layaknya sapu jagad atau kitab suci yang isinya buanyak banget. Bayangkan saja, omnibus law cipta kerja atau cilaka atau lebih enak dibaca ‘celaka’ ini berisikan 11 kluster pembahasan dan setidaknya 1200 pasal yang dirangkum dari 79 undang-undang sebelumnya. Bayangin banyak banget nggak tuh dan isinya lebih gado-gado lagi, terdapat setidaknya 9 bahan racikan yang bakal di-uwer dalam rancangan undang-undang omnibus law ini yang meliputi penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi atau menghapus pidana, pengadaan lahan, serta kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi. Stop! Tarik nafas dan hembuskan, itu baru pembuka!
Mereka-mereka yang punya ide ini tentu bukan orang-orang bodoh tak berpendidikan, niatnya ‘mungkin’ emang baik. Ya tapi ga gini juga caranya Pak Bu! Haduh gimana si! Mau dibawa kemana negara yang katanya berasaskan Pancasila ini? Transparansi dalam membuat kebijakan diabaikan, sok-sokan main data sana sini sebagai alasan. Katanya mau memakmurkan dan menyejahterakan rakyat, ya rakyat yang mana? Rakyat yang kaya dan banyak uangnya (dibaca: investor dan pengusaha)? Lah lantas bejubelnya sekitar 271 juta jiwa rakyat yang mayoritas menengah ke bawah mau dikemanakan? Belum lagi isu lingkungan yang bakal jadi ancaman dan taruhan. Tuh kan ribet, kesana-sini jadinya.
Kenapa sih pemerintah menganggap omnibus law ini harus ada? Sederhananya begini, intinya pemerintah ingin agar investor yang banyak uangnya itu bisa lebih mudah untuk masuk dan bantuin pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ya supaya investor bisa masuk tentu regulasi yang sebelumnya dianggap rigid atau kaku harus digantikan dengan regulasi yang lebih licin dari belut agar mereka yang punya banyak uang tadi bisa masuk dengan leluasa. Niatnya ya bisa dibilang baik sih, tapiiiiiii gado-gado ambyar ini memang sangat anti-merakyat. Gimana enggak, wong aturan ini sarat kontroversi yang bukan konon katanya lagi bakal ngobrak-abrik kalangan buruh dan pekerja.
Bentar bentar, kenapa sih butuh investor? Katanya sih… makin banyak investor masuk maka semakin banyak pula lapangan kerja yang diciptakan, dan semakin sedikit pula angka pengangguran di Indonesia. Ya jika begitu, katanya perekonomian Indonesia bakal menjadi lebih baik eaaaaa…. Lah emangnya bener? Begini ya, pertumbuhan investasi di sektor industri yang bakal dikoar-koarkan itu tak selalu bergandengan dengan penyerapan jumlah tenaga kerja di sektor industri. Butuh data? Nih ya, data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa di sektor industri; penyerapan tenaga kerja tahun 2017 ke tahun 2018 hanya naik 4% dari angka 17,4 juta tenaga kerja menjadi 18,1 juta tenaga kerja. Padahal nih ya, investasi di tahun 2018 bisa dibilang gede karena tembus angka Rp. 361,6 triliun! Nilai investasi kita secara garis besar udah cukup baik dan tinggi malahan.
Angka pengangguran terbuka pada tahun 2019 menurut Badan Pusat Statistik ialah sebesar 6,82 juta orang. Belum lagi Indonesia yang bakal dihadapin sama yang namanya bonus demografi. Belum lagi desakan pada isu Indonesia bakal jadi negara maju. Wajar kalau pemerintah khawatir ya tapi ga bablas begini juga dong. Mau membuat kebijakan tapi condong sepihak jatuhnya bakal buruk di mata masyarakat, terlebih substansi dari rancangan tersebut jelas-jelas menjadi mimpi buruk bagi kaum buruh dan pekerja, sedangkan investor dan pengusaha, jelas ini akan menjadi angin yang begitu menyegarkan bagi mereka.
Jika memang gado-gado ini tidak bermasalah di mata pemerintah lantas bagaimana mungkin demonstrasi dan penolakan timbul dari banyak pihak yang jelas merasa timpang atas sajian kali ini? Tentu tidak ada asap tanpa adanya api. Jika “salah paham” dan dikambing-hitamkan oleh pemerintah lantas bagaimana mungkin keterlibatan pihak pekerja nihil adanya? Mengapa semua terkesan buru-buru dan seolah ingin ditutupi? Ada apa sih sebenarnya? Lelah juga saya menerka-nerka ini semua.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Ketua Umum Perhimpunan Tani Indonesia sudah angkat suara yang jelas kontra dengan gado-gado buatan pemerintah kali ini. Ya, gado-gado kali ini sangat tidak merakyat sebagaimana gado-gado yang dibuat mbok-mbok di pasar tradisional ataupun di terminal. Buanyakk banget hal yang dikhawatirkan; hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten, masalah pesangon yang muali ga jelas, outsourcing yang bakal mudah masuk, sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan dihapuskan, jam kerja yang eksploitatif udah seperti kerja lembhur baghai qudha, masalah karyawan kontrak, tenaga kerja asing yang bisa semakin luwes, urusan pecat-memecat yang bakal makin gampang, dan masalah jaminan sosial. Bagaimana ga bikin khawatir kaum buruh dan pekerja, jelas mereka akan sangat pusing dengan hal seperti ini.
Eittttt….. masalah bukan hanya timbul dari masalah ketenagakerjaan, tapi juga lingkungan!
Nih ya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) udah mulai was-was dengan gado-gado ini. Sepertinya bukan hanya walhi deh, lembaga dan komunitas yang concern dengan isu lingkungan pasti bakal terusik dengan kehadiran gado-gado ambyar anti-merakyat ini, atau bisa disebut juga gado-gado yang tidak ramah lingkungan hahaha. Gimana ya, disini masalah amdal juga jadi persoalan. Masa’ mekanisme penilaian analisis dampak lingkungan (Amdal) pengen di-obrak-abrik juga?! Jelas sebelumnya juga udah ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), lah ini mau diubah dengan mekanisme baru yang rentan praktik manipulatif. Belum lagi masalah batasan administrasi gugatan semisal ada perusakan lingkungan yang diribet-ribetin dan masalah sanksi serta izin lingkungan, hadeh! Ga perlu ini ga perlu itu, perlunya ini perlunya itu, harusnya begini jadi begitu, sekelumit masalah beginian emang paling tidak bisa diremehkan.
Persoalan gado-gado ini memang bikin ambyar pikiran terlebih persoalan ini memang multidemensional, banyak aspek yang berhubungan. Ada banyak pertanyaan besar. Urgensinya apa sih? Kenapa nampak ngotot sekali? Sistem ekonomi yang katanya berasaskan Pancasila malah tampak neoliberalisme! Ada apa dengan orang-orang hebat di balik ini semua? Belum lagi di saat lagi sibuk-sibuknya mengatasi masalah pandemi COVID-19, eh taraaaaa…. muncul pulak barang yang bikin enek ini, gimana publik ga makin mual! Daripada kurang kerjaan ngurusuin ini lebih baik prioritaskan penuntasan kasus korupsi yang jelas makan banyak uang negara. Lebih baik tuntaskan rancangan undang-undang yang memang jelas urgensinya, bukan lagi seperti RUU Ketahanan Keluarga yang lebih mirip produk orde baru dan ga ramah sama masalah gender. Pusing saya tuh…. eit eit, dan akhirnya pembahasan Omnibus law kluster ketenagakerjaan baru-baru ini kembali ditunda eaaa, setidaknya langkah pemerintah ini sudah cukup baik, tampak seperti angin segar menjelang ramadan.
Sampai disini obrolan singkat kita yang memang masih sangat dangkal! Saya harap pembaca bisa melihat ini sebagai stimulus agar bisa mendalami isu ini sebaik mungkin, dan yang terpenting adalah melihat ini dari berbagai sisi. Gado-gado yang satu ini memang baru sekedar draft, justru karena itu perlu tinjauan mendalam yang melibatkan seluruh pihat terkait. Jangan baper jangan apatis, semangat untuk pemerintah dan rakyat Indonesia, sekian.
Penulis: tanpanama
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi mimbaruntan.com.