Pada bagian cerita ini kau mungkin tidak akan menemukan sepasang kekasih yang memadu cinta di sebuah dermaga, atau malah selembar amplop berisi surat cinta, yang dititipkan seorang gadis cantik keturunan cina kepada tukang pos. Ya, kali ini aku memang tidak berniat menuliskan semua itu di sini.
Tapi bukan berarti cerita ini akan kehilangan ruh cinta di dalamnya, tidak sama sekali begitu. Jika kau mau dengan sabar membaca dan menghayati cerita ini hingga usai, maka bisa kupastikan, bahwa salah satu dari tokoh dalam cerita ini akan membuatmu jatuh hati. Ya, aku yakin!
Baiklah, mari kita mulai dari sini…
Sore di semenanjung jalan pasar flamboyan memang selalu sesak oleh kendaraan, macet panjang yang bikin aduhai. Belum lagi riuh klakson yang dipaksa melolong oleh tuannya, berisik sekali! untung saja aku adalah pejalan kaki, jadi tidak perlu berdesak-desakan. Aku bisa dengan santai melalui trotoar dan menyalip pengendara-pengendara yang memasang tampang kesal itu.
Aku tidak sedang pulang kerja, tidak pula sedang berangkat kerja, lalu mau kemana? Aku hanya hendak menyambangi kedai kopi kecil yang letaknya tak jauh dari perempatan lampu merah ujung jalan pahlawan di samping texas chiken. Beberapa menit yang lalu, seorang teman lama memintaku untuk menemuinya di sana, dan barangkali tidak perlu aku jelaskan bagaimana proses ajak mengajaknya itu, kau bisa bayangkan sendiri sewajarnya. S E W A J A R N Y A.
Setelah beberapa saat menyusuri trotoar, aku telah berada tepat di halaman kedai. Aku melangkah menuju pintu kaca bertuliskan PUSH. Kutatap sekeliling, tampak beberapa pengunjung sedang asik mengobrol, beberapa yang lain tengah fokus pada gadget mereka masing-masing, dan perhatianku akhirnya berpusat pada seorang gadis berkacamata yang duduk sendiri di meja pojok kedai. Kinanti, tidak salah lagi, itu pasti dia. Sedikit canggung aku melangkah ke arahnya, sementara ia masih belum menyadari kedatanganku.
“Permisi, boleh saya duduk?” Aku pura-pura tak mengenalinya. Ia mengangkat kepala, mendongak menatapku, diam beberapa saat, mengerutkan dahi, sebelum akhirnya ia bangkit, lalu kemudian meninju lenganku.
“Langit si cupu!” Ia tertawa kecil lalu tampak giginya yang putih dan rapi. Aku jadi berpikir barangkali beberapa tahun belakangan, ia rajin sekali gosok gigi. Aku tertawa pelan.
Aku duduk tepat di depannya, sekali dua kali kami beradu tatap lalu buru-buru saling menglihkan pandang saat sama-sama menyadarinya.
“Belum pesan?” Aku coba membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan. Namun belum sempat kinanti menjawab, seorang pelayan telah buru-buru datang menghampiri kami dan menyodorkan buku menu. Aku diam, sengaja menunggu gadis di depanku itu meraih buku menu terlebih dahulu. Aku sekedar ingin tahu, apakah setelah sekian lama menetap di Amerika, perspektif lidahnya terhadap kopi terenak berubah atau malah masih sama seperti saat SMA dulu.
“Espresso mas” ucapnya dengan nada yang amat santai, lalu pelayanpun terlihat mencatat sesuatu pada lembar kertas kecil di tangannya. Lidah Kinanti ternyata masih menyukai kopi yang kusuka.
“Mas nya?” Pelayan itu kini menunjukku.
“Sama” ucapku, kemudian pelayan itupun beranjak.
“Ternyata kau masih menyukai kopi” Kali ini Kinanti yang memulai percakapan, percakapan yang sebenarnya masih terlihat agak canggung. Percakapan yang sudah 7 tahun lamanya tidak pernah kami lakukan. Ya, semenjak Kinanti memutuskan untuk ikut ayahnya ke New york, dan memilih kuliah disana, kami tidak pernah lagi bertemu, bahkan berkomunikasipun tidak.
“Kau dapat kontakku dari siapa?” Kali ini aku yang bicara.
“Kau ingat manda, anak IPA 2?”
“Ya ingat”
“Dia yang memberiku kontakmu”
Ah, beberapa menit berlalu percakapan yang kami lakukan terlalu basa-basi memang. Ya, kami menanyakan sesuatu yang sebenarnya tidak penting, seperti misalnya kau sedang sibuk apa? Atau malah kau masih tidak suka pedas? Tapi bukankah kadang-kadang, pada sistuasi tertentu, pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang perlu untuk dilontarkan? terlebih untuk meminimalisir kecanggungan satu sama lain, atau untuk sekedar memangkas jeda obrolan yang terlalu panjang.
Seorang pelayan datang membawa nampan kecil berisi dua gelas Espresso yang kami pesan, ia datang di waktu yang tapat. Ia membantu kami membuyarkan jeda panjang ditengah pembicaraan kami, ia juga membantu kami lepas dari rasa canggung kami masing-masing.
Sejujurnya, aku dan Kinanti memiliki sebuah kenangan yang mungkin hingga saat ini masih tertanam jelas dalam benak kami masing-masing. Dan barangkali kenangan itulah yang sekonyong membuat rasa canggung di antara kami meluap-luap tiada henti. Perihal kau penasaran dan ingin tahu seperti apakah gerangan kenangan itu? Sabar dulu, dan baca cerita ini hingga usai, nanti kau juga akan tahu.
“Kau masih suka menulis puisi, Langit?” Setelah beberapa menit kami saling diam, kini Kinanti angkat bicara.
“Masih” jawabku
“Kenapa tidak kau coba jadikan buku?” Ia meraih gelas espresso di depannya.
“Puisi-puisiku terlalu biasa, tidak menarik, orang tidak akan ada yang mau membacanya”
“Biasa atau luarbiasa itu relatif, hanya soal selera” Ia meneguk espresso hangatnya.
“Tapi setidaknya ada standarisasi yang telah berpuluh-puluh tahun disepakati oleh para ahli, soal semua itu” aku ikutan meneguk espressoku
“Standarisasi yang mana? standarisasi para ahli yang sering digunakan oleh kritikus yang terlalu berlebihan mengagung-agungkan aturan dalam berkarya itu kah?” Ia tersenyum santai.
“Tapi keberadaan para kritikus itu juga ikut mendukung kemajuan kesusastraan kita, Kinanti”
“Aku setuju itu Langit, selama mereka tidak diperbudak oleh emosi pribadi dalam melontarkan kritikan”
Aku mengangguk-anggukan kepala, tapi bukan berarti aku sepenuhnya setuju dengan apa yang dikatakannya, hanya saja aku menyadari sesuatu, yaitu bahwa ternyata gadis di depanku itu tidak berubah banyak. Ia masih secerdas dulu. ia juga masih ingat bahwa aku suka menulis puisi, ia masih ingat banyak hal tentangku.
“Kau ingat, Langit? Kau pernah meminjam buku puisiku dan tidak mengembalikannya” ia tertawa, akupun ikut tertawa.
“Ya aku ingat” tentu saja ingat sekali, aku pernah meminjam buku puisi hujan bulan juni karangan pak sapardi darinya.
“Kau masih menyimpannya kan?” lagi-lagi ia tertawa kecil. Aku mengangguk. Buku itu mamang masih ada bahkan aku masih suka membacanya.
Sepi lagi, kami kembali saling diam, ia memutar-mutar gelas espressonya, dan aku sibuk bergelut dengan tanda tanya di dalam kepalaku, kenapa tiba-tiba ia mengajakku bertemu? Bukankah dulu ia yang mati-matian menghindar?
“Kau betah di New york?” Kali ini aku memberanikan diri memulai obrolan dengan topik New York.
“Sejauh ini betah” ia menjawab tanpa mengalihkan pandang ke arahku.
“Apa yang berbeda dari New York dan Pontianak?” Tanyaku lagi
“Perbedaan mencolok antara New York dan Pontianak hanya satu, Langit” ia menggantung ucapannya sejenak, meneguk kembali Espressonya, lalu kemudian lanjut bicara “Yaitu di New york tidak ada kamu, dan di Pontianak ada kamu” ia melirik ke arahku.
“Kau ternyata sudah punya keterampilan menggobal” Aku berusaha sebisa mungkin agar tetap terlihat biasa-biasa saja.
“Kau tidak percaya?” Ia menatapku. Sementara aku membalas tatapannya dengan tawa kecil, aku tidak berniat menertawakannya, hanya saja aku tidak ingin bila pertemuan kami kali ini akan terkesan formal, dan obrolan menjadi kaku. Ah tidak, sejujurnya aku hanya tidak berani mengungkit-ngungkit lagi kejadian menyakitkan yang ku alami beberapa tahun silam. Dalam hati aku menyesal sebab telah melontarkan pertanyaan bodoh soal New york itu.
“Langit, aku tahu kau tidak menyukai arah pembicaraan ku, tapi aku merasa harus menyelesaika pembicaraan ini” Kinanti menatapku, ia seperti tak peduli terhadap dua pasang kekasih di sebelah kami yang sedari tadi memperhatikanku dan dia.
Sementara aku memilih untuk diam, aku hanya tidak ingin pembicaraan ini terlihat semakin kaku dan aku juga tidak mau mengungkit-ungkit luka yang beberapa tahun silam mengoyak-ngoyak perasaanku.
“Langit apakah kau masih menyukaiku?” Bom! Pertanyaan itu akhirnya meluncur juga dari bibir manis Kinanti, pertanyaan yang bagai peluru menghujamku. Aku tak tahu harus menjawab apa, namun juga tak tega membiarkan gadis di depanku itu berlama-lama menunggu. Beberapa tahun silam pertanyaan hampir serupa pernah aku utarakan padanya, dan 7 tahun ia membiarkanku menunggu jawaban itu, ia menghilang ke amerika.
Waktu berselang, getar handphone di depanku membuyarkan situasi menegangkan itu, kinanti mengelihkan tatap ke arah handphoneku itu, satu pesan masuk bernisial ‘ISTRIKU’ aku menghela nafas lega. Istriku, kau mengirimiku pesan diwaktu yang tepat, pikirku. Aku melirik ke arah Kinanti, sebelum meraih handphone. ia tersenyum kecut, lalu berkata “Baca saja”
Kinanti terus berusaha agar terlihat biasa-biasa saja. Meski itu tidak bisa menyembunyikan rona kecewa yang tergambar jelas di wajahnya. Lama kami saling diam, larut dalam pikiran masing-masing. Aku berulangkali meneguk Espressoku sementara kinanti terus saja memutar-mutar gelas Espressonya. Satu dua kali kami beradu tatap dan buru-buru mengalihkan pandangan saat sama-sama menyadarinya.
“Langit, kau tidak mau bertanya sekali lagi soal New york padaku?” ia tersenyum kecil. Sementara aku menelan ludah, meraih gelas espressoku dan meneguknya.
Di luar, jalanan masih terlihat macet, sementara langit sore sudah separuh gelap, kedai juga terlihat lebih ramai, satu dua pengunjung mulai berdatangan, dan Kami berdua tenggelam dalam diam.
***
Selesai sudah cerita ini, jika salah satu tokoh dalam cerita ini belum berhasil membuatmu jatuh hati, berarti aku keliru dalam penceritaannya, terimakasih.
Penulis: Husnu.R