mimbaruntan.com,Untan- Menjelajahi hal baru adalah sebuah kenikmatan. Terlebih lagi menjejali suasana baru tanpa perlu mencari tempat baru. Satu tempat dengan suasana yang berbeda juga adalah kebahagiaan. Meski kebahagiaannya fana.
Jalan Ayani, saat jam pulang kerja adalah semerawut keegoisan pengendara. Namun berbeda dengan suasana hari Sabtu, 13 Oktober 2018. Mungkin pernah sama seperti banjir-banjir lain yang pernah juga terjadi di pusat kota. Namun mungkin aku lebih memperhatikan saat ini.
Suasana berbeda yang kumaksud adalah berkendara tanpa keegoisan dan tenggang rasa sembari ditemani oleh gemericik suara air. Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (sekarang PKN) yang diajarkan waktu SD mungkin tertancap kuat dalam sanubari para penendara. Bagaimana tidak? Mereka berkendara, entah itu mobil atau motor, kompak dalam kecepatan rata-rata 30 km/jam. Konsep Water In City sudah terasa.
Jika Waterfront City adalah konsep pengembangan daerah tepian air baik itu tepi pantai, sungai atau pun danau, sepertinya pembangunan di Pontianak adalah inovasi lain dari Waterfront City. Pontianak tak cukup puas dengan membangun daerah tepian air. Melainkan membawa air ke daratan merupakan hal lebih yang bisa dilakukan dalam konsep pembangunan berkelanjutan di Pontianak.
Ya, mungkin pemimpin-pemimpin terdahulu punya pandangan jauh ke depan, bahwa Pontianak harus melampaui kota-kota dengan konsep Waterfront City. Harus lebih dari Batam, Balikpapan, Jayapura, Palembang, Makassar, atau bahkan Venice.
“Tapi kok paradoks, harusnya Waterfront City ini mengatasi banjir.” Mungkin itu tanggapan orang yang selalu berpikiran buruk tentang pemerintah. Sebenarnya begini, konsep Waterfront City gagasan James Rouse sedikit dikreasikan oleh para pengampu kebijakan.
Sederhananya begini, jika Marxisme hasil pemikiran Marx, disesuaikan lagi oleh Lenin untuk diterapkan di Rusia, namanya berubah menjadi Marxis-Leninisme. Itu juga yang dilakukan pengampu kebijakan soal tata ruang di Pontianak.
Memang gagasan James Rouse tentang Waterfront City ini adalah untuk mengatasi lingkungan kumuh kota bandar Baltimore. Beda Marxisme beda Marhaenisme. Beda Baltimore, beda Pontianak. Sudah kubilang pemerintah ini visioner. Banyak yang beda antara Negeri Paman Sam dan Negeri Kabayan. Jadi ide dari Amerika harus disaring sesuai keadaan dan kepribadian bangsa. Konsep penyesuaian Waterfront City yang pertama kali diterapkan di Baltimore tadi, di Pontianak menjadi Water In City.
Ini seperti antitesis dari reklamasi. Sementara reklamasi di berbagai daerah menuai kecaman karena dinggap merusak lingkungan, ini sudah dipikirkan oleh pengampu kebijakan di Pontianak. Mereka tahu bahwa pembangunan dengan reklamasi akan menuai kecaman, tercetuslah ide untuk membuat antitesis dari reklamasi. Konsep membangun pulau buatan, diganti membangun perairan tambahan di daratan.
Mungkin yang paling menyumbangkan ide dalam konsep Water In City ini adalah Thales. Filsuf Yunani Kuno inilah yang mengemukakan air sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Jadi ada semacam penggalian kembali pemikiran-pemikiran Yunani dan Romawi Kuno setelah terlepas dari abad kegelapan yang dibawa oleh para kolonialis dan imperialisme. Jadi air adalah fondasi penting untuk hidup. Tentunya juga penting untuk membangun kota. Gitu loh.
Mungkin kita bisa melakukan studi komparasi lintas waktu agar lebih jelas. Saat para kompeni datang ke Pontianak dan menancapkan kuku keserakahannya mulai 5 Juli 1779, mereka sudah menyadari kalau Pontianak adalah daerah rawa yang mudah digenangi air. Solusinya, mereka membangun parit. Tak semata-mata hanya sebagai drainase untuk mengatasi banjir, juga sebagai sarana transportasi. Fungsi lain untuk pertahanan dan keamanan kota.
Parit yang dulu berukuran 3 sampai 5 meter jelas merupakan lintasan yang cukup ideal bagi perahu berlalu lalang mengangkut barang-barang. Namun pergeseran dan kemajuan zaman membuat alasan sejarah, utamanya sebagai transportasi, agaknya sangat tidak lagi relevan untuk dipertahankan. Dalih sejarah mudah dibantah dengan kemajuan transportasi darat sekarang. Lebih praktis dan efisien di mata pengampu kebijakan, mungkin.
Lagipula apa yang perlu dipertahankan dari kota Pontianak. Cuma membuat kumuh dan biaya perawatannya mahal. Mungkin ada satu hal yang dipertahankan, yaitu nama-nama uniknya. Tapi cukuplah namanya saja yang dipertahankan lewat cerita-cerita. Wujudnya hilangkan saja. Siapa tahu Pontianak akan melegenda seperti Atlantis. Kalau Atlantis kota yang hilang ke dasar laut. Kalau Pontianak itu kota yang selalu tergenang banjir.
Mungkin orang bisa berasumsi bahwa air yang merembes di jalan-jalan utama Kota Pontianak adalah akibat ditutupnya parit-parit akibat pembangunan yang tak ramah lingkungan. Penutupan parit-parit dianggap, kalau meminjam istilah John Ormsbee Simonds, sebuah bunuh diri ekologis (ecological suicide).
Tapi yang cerdasnya bukan main pasti sedang tertawa. Karena itu adalah teori konspirasi dan kebalikan dari hal yang sedang diterapkan pemerintah. Biar aku yang menjelaskan semuanya. Mereka sedang mengembangkan konsep Water In City, dengan alibi Waterfront City.
Sudahlah. Pemimpin kita bukan orang yang sedangkal itu. Cobalah berpikir secara holistik. Lihatlah realitas. Jangan sampai menghakimi tanpa memahami. Jangan sampai menghujat sebelum melihat dengan pikiran jernih.
Konsep eco green dan eco living dibalik menjadi water living. Pembangunan berkelanjutan dalam konsep pembangunan Kota Pontianak adalah berkelanjutan membiarkan banjir saat hujan turun hanya beberapa jam. Berkelanjutan membiarkan air menumpuk tanpa ada jalan untuk mengalir.
Ini seperti antitesis dari slogan Pegadaian. Mengatasi masalah tanpa solusi. Tapi sebenarnya, ada persekongkolan baik antara pemimpin dulu dengan pemimpin sekarang. Melanjutkan pembangunan berkonsep Water In City.
Penulis : Aris Munandar