Judul Film : Capharnaum
Sutradara : Nadine Labaki
Pemain : Zain Al Rafeea, Yordanos Shifera, Treasure Bankole
Mungkin sebagian dari kita jika menonton film kebanyakan film Hollywood, Korea, Jepang, Thailand dan Indonesia. Masih asing di telinga kita ketika mendengar film dari Lebanon termasuk film yang satu ini yaitu Capharnaum. Poin utama dari Capharnaum sendiri berkisah tentang kehidupan seorang anak kecil berusia 12 tahun bernama Zain yang menggugat kedua orang tuanya di pengadilan. Sebab akibat penggugatan kedua orangtua Zain oleh Zain sendiri menjadi bumbu utama film ini. Zain terlahir dari keluarga miskin dengan kondisi lingkungan sekitar yang bisa dibilang kumuh dan tidak memenuhi syarat tumbuh anak dengan lingkungan yang baik.
Film ini menyindir keras 2 aspek dalam kehidupan manusia yaitu eksploitasi anak dan kemiskinan. Selain 2 aspek tersebut juga terdapat nilai-nilai sosial lain yang coba disampaikan oleh Nadine Labaki melalui Capharnaum. Berikut saya paparkan :
- Eksploitasi anak di bawah umur
Jika dalam kehidupan normal anak menjadi asset berharga yang harus dipoles sedemikian rupa agar siap menghadapi masa depan, namun film ini secara gamblang menggambarkan bahwa anak menjadi tulang punggung keluarga tanpa mendapatkan hak mutlak sebagai seorang anak dibawah umur. Potret Zain dan saudaranya yang bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi bentuk eksploitasi anak yang nyata adanya tidak hanya didalam film, di realita kehidupan yang sebenarnya pun hal ini banyak kita jumpai.
- Kemiskinan
Yup hampir selama dua jam film Capharnaum tidak ada scene yang membahas status sosial yang tinggi seperti dikebanyakan film seperti rumah mewah, keluarga pebisnis dan lain-lain. Status sosial yang digambarkan dalam Capharnum dmulai dari kelas menengah kebawah. Karakter utama Zain sendiri digambarkan hidup dalam lingkar kemiskinan yang bisa dibilang berada pada tingkatan paling bawah. Ya miris rasanya melihat anak kecil 12 tahun menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi kuli di toko sembako yang gajinya dalam bentuk sembako itu sendiri. Selain potret kehidupan Zain, kehidupan karakter wanita bernama Tigest juga membuat kita merenungkan kehidupan dimana seorang ibu yang berperan juga sebagai seorang ayah bagi anak semata wayangnya dengan bekerja disuatu tempat yang keberadaanya sendiri pun tidak diakui. Potret kemiskinan dalam Capharnaum yang didukung dengan adegan yang mendramatisir membuat penonton sadar bahwa bersyukur menjadi nilai yang perlu ditanamkan dalam hidup karena masih banyak orang yang berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
- Pernikahan dibawah Umur
Film Capharnaum juga menyinggung pernikahan dibawah umur dimana difilm ini diperuntukkan kepada adik Zain yaitu Sahar. Kasus pernikahan bisa kita bilang “di Indonesia sering terjadi, dan bahkan dianggap biasa” namun di Indonesia pernikahan dibawah umur sering disebabkan oleh kehamilan yang terjadi diluar nikah dimana dapat kita asumsikan bahwa kedua orang itulah yang memulai. Namun pernikahan dini dalam film ini justru didesak karna perekonomian tanpa ada embel-embel pacaran
- Imigran Gelap
Film ini juga menyinggung persoalan yang sering dialami negara Timur Tengah tak terkecuali Lebanon mengenai banyaknya imigran gelap yang mencari peruntungan di sebuah negara.
- Pendidikan
Kesempatan memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan ternyata tidak bisa didapatkan dengan mudah. Mulai dari pendidikan yang didapat dari orangtua hingga pendidikan formal disekolah terasa seperti butiran debu yang tidak perlu dibahas. Film ini menggambarkan bahwa kalangan masyarakat menengah ke bawah masih berjuang dalam mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Film ini seolah-olah menggambarkan bahwa pendidikan tidak berpihak kepada mereka yang miskin.
- Kesehatan
Setting tempat di permukiman kumuh yang jauh dari kata bersih membuat kita berasumsi tampaknya sehat bukan merupakan sesuatu yang dibuat mahal dalam film ini. Kesehatan yang seharusnya menjadi prioritas setiap orangtua bagi anak-anaknya justru menjadi suatu hal yang tabu dalam film ini.
- Perdagangan manusia
Sedikit scene dalam film ini yang menyinggung soal perdagangan manusia. Namun kasus perdagangan manusia seakan-akan menjadi boomerang bahwa manusia sama sekali tidak berharga demi uang yang akan didapat termasuk memperdagangkan anak kecil dengan menghalalkan berbagai macam cara agar aksi yang dilakukan berjalan dengan mulus.
Pemilihan aktor dan aktris Capharnaum juga tergolong unik karena sang sutradara mengcasting pemain-pemain yang bukan berasal dari dunia seni peran terutama untuk sang aktor utama yaitu Zain yang ternyata merupakan seorang pengungsi dari Suriah yang sempat tinggal di Lebanon pun diaudisi di jalanan. Namun hal tersebut justru membuat peran yang dibawakan oleh zain sendiri begitu natural tanpa dibuat-buat. Kualitas acting yang mumpuni juga mumpuni juga dapat dibawakan oleh tigest karakter imigram gelap yang mampu membawakan sesosok single parent yang banting tulang demi kehidupan sang anak. Berkat tema yang diangkat serta pesan-pesan yang disampaikan, Capharnaum pun berhasil masuk beberapa nominasi di ajang-ajang bergensi dunia perfilman sebut saja Academy Awards (Oscar), Cannes Film Festival, Golden Globe dan lain-lain.
Baca Juga : Resensi Buku: Kata “tentang senja yang kehilangan langitnya”
Namun dibalik kesuksesan sebuah film, masih terdapat kekurangan-kekurangan pada umumnya. Film dengan genre drama keluarga terdapat beberapa scene sebab akibat yang kurang detail khususnya scene dimana Zain yang menusuk seseorang yang sampai akhir film pun penonton tidak akan mengetahui siapa yang menjadi korban penusukan sehingga membuat penonton sedikit bingung untuk memahami adegan selanjutnya. Terakhir film ini tidak menjelaskan secara detail adegan kelanjutan hidup dari Zain setelah masuk dalam pejnjara apakah ia dikirim ke Swedia atau kembali ke tempat asalnya sehingga terkesan menggantung. Tapi secara keseluruhan film ini wajib untuk ditonton dengan pesan-pesan sosial yang relevan dengan permasalahan dalam kehidupan sosial manusia dan ditambah dengan kualitas acting pemain yang seperti berperan tanpa script yang membuat penonton seperti menonton konflik sebuah keluarga di kehidupan nyata. Untuk penilaian terakhir film ini saya beri skor 8,7 /10.
Tentang Penulis
Nama : Nurmirawati
Instagram : @nurmiralukman