Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) kini telah ‘berkunjung’ ke Indonesia yang bisa kita ketahui melalui pemberitaan akan empat kasus positif Covid-19 di Indonesia. Kabar tersebut sontak membuat panik publik yang diperburuk dengan berbagai isu simpang siur yang menambah nilai mengerikan di mata masyarakat Indonesia.
Panic buying: Masyarakat salah paham tentang penggunaan masker
Fenomena panic buying mendadak ‘merasuki’ masyarakat yang gencar berburu produk yang dianggap dapat mencegah diri dari infeksi Covid-19 hingga berujung pada melonjaknya harga kebutuhan tersebut. Produk kesehatan seperti masker dan hand sanitizer begitu diburu oleh masyarakat hingga berujung pada kenaikan harga yang terlampau tidak rasional. Sebut saja harga masker yang awalnya dihargai Rp.30.000 hingga Rp. 45.000 untuk satu kotak melanggit hingga 10 kali lipat menjadi Rp. 350.000 per satu kotak. Alih-alih berusaha untuk memproteksi diri malah akan berakibat besar pada roda perekonomian.
Anggapan masyarakat bahwa penggunaan masker dapat mencegah diri dari infeksi Covid-19 tidak sepenuhnya benar jika masker digunakan oleh orang yang berada dalam kondisi sehat. Menurut CDC dan dr. Terawan selaku Menteri Kesehatan RI, masker hanya digunakan bagi mereka yang berada dalam kondisi kurang sehat dan menunjukkan gelaja infeksi seperti batuk, pilek, dan sejenisnya. Penggunaan masker bagi orang sakit dapat membantu menekan penyebaran penyakit, hal ini akan berbanding terbalik jika masker digunakan oleh orang sehat yang kemudian ‘menyita’ hak dan kewajiban mereka yang sakit untuk tidak menyebarkan penyakit.
Baca Juga:Mengenal Novel Coronavirus (2019-nCoV)
Penularan penyakit bisa melalui kontak jarak dekat dimana orang yang terinfeksi kemudian batuk atau bersin ini mengeluarkan droplets yang mengandung virus selanjutnya terhirup oleh orang yang sehat. Berkaitan dengan itu bagaimana mungkin orang yang sakit dapat mencegah penularan jika masker yang menjadi ‘tameng’ itu sendiri menjadi semakin langka dan malah digunakan oleh mereka yang sehat.
Tidak hanya itu, aksi penimbunan dan penyalahgunaan masker justru akan membahayakan nyawa para tenaga medis sehingga meningkatkan potensi penyebaran virus dan penyakit menular lainnya. Pasokan peralatan kesehatan dan alat perlindungan diri yang menipis tentu akan menjadi hal riskan bagi tenaga medis yang jelas bersentuhan langsung dengan kasus ini. Mulai sekarang bijaklah dalam mengolah informasi dan cerdaslah dalam mengedukasi diri terutama dalam upaya preventif infeksi Covid-19.
Stigma: Pandangan buruk masyarakat lebih buruk dibandingkan virus itu sendiri
Sisi kemanusiaan bukan hanya datang dari masalah masker saja melainkan juga timbulnya stigma pada dua pasien kasus pertama. Pemberitaan yang diperparah munculnya opini publik yang tidak relevan mengarahkan pasien yang merupakan seorang ibu (64) dan anak (31) pada mentally drained. Profil mereka dengan mudah terekspos dan bukan hanya menggangu kesehatan mental mereka sendiri melainkan juga masyarakat pada area yang teridentifikasi adanya kasus tersebut. Diskriminasi serupa sebelumnya telah marak di dunia internasional dimana rasisme timbul pada penyebutan Covid-19 sebagai virus Wuhan, virus Tiongkok, virus Asia, dan penamaan lain yang mengarah pada bentuk diskriminasi.
Stigma yang timbul akan mengarah pada stereotip dan asumsi yang bisa memperluas ketakutan dan merendahkan seseorang yang telah terpapar virus corona. Stigma ini sendiri dapat membuat seseorang menghindari pertolongan, pemeriksaan, pengujian, ataupun isolasi yang bukan tidak mungkin dapat memperparah penyebaran penyakit.
Hal ini bukan hanya mengenai kasus akibat infeksi Covid-19 melainkan juga pada banyak jenis penyakit lain seperti AIDS, tuberkulosis, kusta, dan bahkan pada berbagai penyakit mental. Masyarakat cenderung menganggap orang dengan penyakit tersebut sebagai ‘momok’ yang harus dihindari, padahal hal demikian adalah buruk adanya. Jika stigma dan stereotip terus tumbuh di masyarakat maka akan banyak orang yang enggan untuk sembuh dan memilih untuk menutup diri karena rasa khawatir akan justifikasi masyarakat lebih besar dibandingkan rasa khawatir akan bahaya dari penyakit itu sendiri terutama jika dibiarkan begitu saja tanpa ada penanganan lebih lanjut. Mari dari sekarang kita ubah pola pikir kita agar lebih terbuka dan peka dengan hal seperti ini karena ini menyangkut kemanusiaan yang dampaknya bukan tak mungkin begitu luas.
Jangan panik, jangan underestimated!
Covid-19 ini merupakan golongan virus yang menyerang sistem pernapasan manusia namun masih tergolong ‘lebih jinak’ jika dibandingkan dengan saudaranya yang menyebabkan penyakit seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang ‘lebih berbahaya’ jika dilihat dari angka kematian. SARS pada tahun 2002 dengan total 8.096 kasus terkonfirmasi dan 744 pasien meninggal (9,19%). MERS pada tahun 2012 mempunyai total 2.494 kasus terkonfirmasi dengan 858 pasien meninggal (34,4%). Sedangkan Covid-19 sendiri pada 7 Maret 2020 mencapai sebanyak 102,242 total kasus dengan 3,497 pasien meninggal (6%).
Kita sebaiknya jangan khawatir berlebih hingga menimbulkan tindakan-tindakan yang merugikan seperti panic buying dan stigma. Hal menarik lain yang perlu dipertanyakan kembali adalah masyarakat yang terlalu begitu takut dengan infeksi virus ini namun masyarakat sendiri masih betah dengan kebiasaan buruk seperti merokok ataupun vaping, kebiasaan makan berujung obesitas, dan kebiasaan buruk lainnya yang bahkan lebih membahayakan kesehatan. Mari kita renungkan banyak hal dimulai dari sini, berhenti terfokus pada masalah dan mulailah temukan solusi untuk masalah tersebut.
Penulis: Dery Wahyudi
*) Opini kolumnis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi mimbaruntan.com.