mimbaruntan.com, Untan- Setelan kaos lengan panjang dan celana kain dengan karet diujungnya, kerudung hitam dan totebag bertuliskan ‘stupid brush’, dan sendal jepit warna hitam, gadis 16 tahun itu berjalan santai memasuki Warkop (Warung Kopi) Legendaris Aming yang baru saja buka di Kota Singkawang.
Seutas senyum dibalik masker ia lemparkan, membentuk bulan sabit di balik kaca matanya. Dia Daranti atau akrab dipanggil Dara. Selain Dara, sebagaian temannya juga memanggilnya ‘Stupid Brush’, sebuah tagname yang ia ciptakan untuk mengenalkan karya-karyanya.
“Agak aneh sebenarnya kalau tagname ini jadi panggilan, karena biasanya kawan tuh manggilnya ‘stupid stupid’ gitu biar singkat,” ujar Dara terkekeh saat bercerita di Senin malam (01/03).
Berawal dari senang menggambar doodle art sewaktu di bangku sekolah dasar, Dara kini mengeksplor lebih jauh lagi keahlian menggambarnya melalui tembok mural dan perkakas sulam, hobinya ini pun berujung menghasilkan cuan.
Dari Kertas Ke Tembok
Berawal dari selembar kertas gambar yang ia terima dari karib abangnya sewaktu mengenyam bangku sekolah dasar, Dara pun tertarik dengan dunia gambar.
“Gambar doodle semi graffiti di kertas gitu, yang kaya ada batako batakonya, terus coba deh buat untuk satu kelas, aku buatin doodle nama mereka terus aku amplop-amplopin satu-satu, gak pake bayar karena iseng aja mau latih tangan,”
Hobi doodling art -nya pun mulai pindah wadah, dari kertas ke kain kanvas. Di Kelas Seni Budaya dan Keterampilan yang ada di sekolah menengah pertamanya, Dara berkenalan dengan cat akrilik dan perihal melukis.
“Pake kanvas, terus ada yang disuruh pake karung gandum, dilukis, kok asik ya, terus dari situlah suka dengan yang namanya melukis, ternyata asik,” cerita Dara lagi mulai menyeruput minuman didepannya.
Di awal tahun 2019, Dara merasa keberuntungan berpihak padanya. Di tahun itulah ia bertemu dengan nama-nama yang akrab ia sapa Bang Roy, Bang Yoga Wild Bornean, Bang Jek, Bang Ayub, Kak Ayu Kebong, Bang Omeng, dan Mba Priska. Nama-nama yang mengajarkannya banyak tentang dunia mural.
Baca juga : Ahmadiyah Ungkap Kebenaran Lewat Ruang Jurnalistik
“Aku waktu itu beruntung sih ikut lomba mural yang di Kridasana, pertama kali belajar nge-mural karena pingin eksplor aja, ternyata dari situ Dara diajarkan banyak hal persoalan teknik nge-mural,”
Dari mulai cara membedakan warna-warna primer, cara mencampur warna, hingga teknik membuat garis dan bonus relasi seniman ia dapatkan, menjadi sebuah pengalaman yang sulit Dara lupakan. Selama dua hari dua malam ia habiskan memoles tembok Kridasana.
“Kalau garis yang aku tau kan sebenarnya garis aja, nah aku itu pake penggaris, jadi diolok gitu sama Mba Priska, dibilang ‘apa garis macam itu’, nah diajarin sama mereka kalau ngeblok warna itu jangan garis dulu, setelah di blok baru line, terus sama Bang Roy diajarin nge-blend warna,” gadis dua bersaudara itu bercerita diikuti tangannya yang bergerak mengawang berusaha menjelaskan bagaimana caranya menggaris saat itu.
Tak berhenti di agenda mural itu saja, Dara kemudian sering diajak Roy kongkow bersama teman-teman pegiat seni di Kota Singkawang lainnya. Kongkow dari warkop ke warkop itu berhasil melahirkan sebuah kolaborasi.
Melalui perkumpulan Turun Tanah, sebuah komunitas kecil yang bergerak dibidang seni, Dara ikut berkontribusi atas jalannya Semusim dan Jamming, sebuah agenda rutin dari Turun Tanah untuk membuat mural di tembok-tembok Kawasan Tradisional Rumah Keluarga Tjia Singkawang.
Namun Kian kemari, tembok-tembok itu mulai sulit didapatkan, selain karena stigma vandalisme dari masyarakat, Pemerintah Kota Singkawang pun membuat mereka harus mencari tempat yang baru sebab Pemerintah ingin mempertahankan sebuah lukisan permanen bernuansa budaya Kota Singkawang di daerah tersebut.
Dari Tembok Ke Benang Sulam
Di awal tahun 2020 Dara dipertemukan kembali dengan Ayu, seniman asal Kota Pontianak yang akrab ia panggil Kak Ayu Kebong, berhasil membuat Dara berpindah sejenak dari tembok mural ke benang sulam.
Ayu yang saat itu membawa semua alat sulam dan alat jahitnya saat berkunjung ke Kota Singkawang, mempraktikan bagaimana ia menyulam dan membuat Dara tertarik serta ingin belajar darinya.
Menyulam menurut Dara lebih sederhana dan mudah, hanya perlu menggambar sedikit pola dan mulai menaik-turunkan jarum dan benang sulamnya, ini tak serumit ia menggambar diatas kertas ataupun tembok. Melalui benang sulam ini pula Dara membuka komisi yang menjadi ladang penghasilannya.
“Demi cuan,” jawab Dara singkat kemudian disusul tawa renyah yang ikut tenggelam di riuhnya suara pelanggan Warkop.
Gadis sekolah menengah atas (SMA) ini memang sedang belajar mengatur keuangannya dengan berusaha berdikari dari persoalan meminta uang jajan, karena mengingat ia sudah duduk di bangku SMA.
Modal membeli semua bahan dan alat sulam ia dapatkan dari hasil membuat mural di Belakang Hotel Mandarin. Dara menjual karya sulamnya dengan 3 ukuran dari 15 x 15 cm hingga 60 x 60 cm yang ia jual dari harga dua puluh ribu hingga tujuh puluh ribu rupiah.
Baca juga : Wisuda Belum Selesai Diurus, Resepsi Jalan Terus
“Mau seaneh apapun, serumit apapun pesanan gambarnya, harganya tetap segitu,” ujarnya.
Usaha yang ia mulai sejak pandemi hadir ini pun membuatnya lebih leluasa membagi waktu serta belajar cara mengatur waktunya. Hal yang paling menantang menurutnya adalah bagaimana cara mengatur keuangannya.
Selain belajar soal manajemen diri, bonus lainnya adalah belajar perihal eksistensi di Instagram, platform yang Dara gunakan untuk memajang karyanya. Dibantu Yoga, seniman Kalimantan Barat, Dara belajar bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan melalui ruang media sosial.
“Post apa pun yang kamu bikin,” ucap Dara mengulang pesan dari Yoga kala itu.
Suhu malam Kota Singkawang semakin dingin dibawa angin, Dara pun melirik jam berkali-kali, belum larut namun sudah ada janji di lain tempat, apalagi kalau bukan persoalan lukisan. Sebelum Beranjak, dua kalimat ia pesankan untuk teman-temannya yang ingin belajar melukis ataupun menyulam.
“Kita harus pede dengan karya kita sendiri, mau ada yang beli atau ndak itu urusan belakang. Masa sebelum dinilai orang lain kita udah nilai karya kita tu udah jelek,” pungkasnya tersenyum kemudian pamit untuk meninggalkan tempat duduk dan kopinya yang tinggal seperempat gelas.
Reporter : Atna dan Mara
Penulis : Monica dan Mara
Editor : Nia