Tidak pernah kutemukan lagi matahari bersinar. Semua gelap. Tidak pernah ada lagi cahaya yang mampu menembus tembok ini. Aku sudah lupa seperti apa lantunan burung-burung yang berkicau di luar sana. Tapi satu hal yang harus kau ketahui. Tak secuilpun kisah yang telah aku lewati ini pernah aku sesali.
Di ruang persegi yang pengap dan bau ini tubuh ku terperangkap. Sudah hampir satu bulan baju yang kukenakan ini tidak diganti. Hal tersebut bukanlah bagian yang paling mengerikan. Satu-satunya yang paling mengerikan adalah dipenjara karena bicara tentang kebenaran. Tentu seorang pengecut tidak akan dapat berbicara kebenaran.
Benar-benar mengerikan penjara ini, berbeda dengan penjara pada umumnya. Aku sungguh dikurung. Sampai-sampai aku sudah lupa bagaimana rasa lezatnya sinar matahari. Udara segar baru masuk saat sipir membukakan pintu untuk mengantar makanan, dan itu hanya terjadi satu kali dalam sehari. Waktu terus berputar, hingga hampir lima tahun kehidupan tanpa setitik cahaya ini aku jalani.
Kegelapan selalu ingin tahu banyak tentang ku, ia ingin aku bercerita tentang diriku yang bisa menemuinya di ruang sempit ini. Kucoba sekuat tenaga untuk menyusun kembali lembar demi lembar kisah lima tahun silam.
Berawal dari rasa benciku melihat penindasan di Desa Semunying. Desa tersebut bukanlah tanah kelahiranku melainkan tanah kelahiran istriku Nenes. Setelah pernikahanku, aku dan Nenes sepakat untuk tinggal di Desanya. Nenes ingin mengabdikan dirinya mengajar menjadi guru. Desa yang terletak dikawasan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia ini memang sangat memprihatinkan. Hutan yang dulu rindang kini disulap menjadi kebun sawit. Air yang dulu bersih kini kuning pekat. Kondisi tersebut bukanlah hal utama yang membuat hatiku tergerak untuk menempuh jalan perlawanan, melainkan tanah adat dan tanah masyarakat yang diambil paksa oleh perusahaanlah yang mengantarkanku ke ruangan pengap ini.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama warga sekitar, ingin masuk dan merasakan penderitaan mereka. Kudapati sesuatu yang masuk dalam pikiranku, menggebu-gebu seperti ingin meledak. Sudah kuputuskan untuk memilih jalan perlawanan.
Aku memilih menjadi Kepala Desa untuk menguatkan perlawananku. Kupilih jalur hukum setelah mengumpulkan bukti-bukti perampasan tanah masyarakat Semunying. Setiap malam Aku dan beberapa masyarakat selalu mengadakan diskusi untuk mematangkan perlawanan. “Besok kita aksi di Kantor Bupati, gimana?” tanyaku penuh semangat.
“Saya siap kapanpun Nus,” kata Bisri menyala-nyala. Dari dapur Nenes keluar memberikan secangkir kopi hangat. “Silahkan diminum ya”
“Kalau menurut kalian gimana?” aku menatap ke arah Pardi dan Ukup
“Saya selau dukung Nus” kata Pardi sembari menyeruput Kopi. “Aku siap” Ukup menimpali.
Sembari menunggu proses hukum yang begitu berjalan lamban, sementara penderitaan warga Semunying terus berjalan. Kami sepakat untuk melakukan demonstrasi di kantor Bupati besok.
Aku tak sempat menghitung hari-hari yang telah berlalu, hanya jiwa ini begitu terpukul melihat kulit bocah yang melepuh karena menggunakan air sungai yang kini tercemar. Seribu kata yang termaktub dalam undang-undangpun tak akan pernah mengerti kisah ini.
Langit cerah membiru. Nenes begitu berat melepas kepergianku. Pernikahan yang belum genap dua bulan ini memang penuh tantangan. Akhir-akhir ini perhatianku memang agak berkurang pada Nenes. Tapi kulihat dia wanita yang tegar, dia sangat mendukung jalan yang kupilih. Sungguh beruntung aku memiliki dia.
Warga Semunying begitu antusias, mata mereka memancarkan harapan besar pada aksi ini. “Ingat saudara-saudara ini adalah aksi damai, tidak ada kekerasan,” teriak Bisri dihadapan enam puluh empat warga Semunying. Kami berangkat bagai serdadu yang siap tempur. Serdadu yang harus bertempur di tengah hutan yang tak mereka kenal sebelumnya. Sudah barang tentu mereka takut. Tapi tak kulihat seperti itu sekarang. Sesaat, kuperhatikan inci demi inci raut wajah warga yang duduk di bak mobil.
Tak kulihat wajah kebahagiaan terpancar dari mereka. Tapi aku merasakan darah juang yang mengalir deras di dalam tubuh mereka.
Sinar matahari kian membakar semangat kami. Puluhan orang-orang berbaju coklat, bertubuh tegap ternyata sudah menunggu kedatangan kami. Aku mulai khawatir sekarang. “Sekali lagi para pejuang, saya tidak ingin ada kekerasan,” teriakku sembari mencoba alat pengeras suara. Bukan hanya untuk mencoba pengeras suara, lebih-lebih karena khawatir warga terpancing emosi saat berhadapan dengan Polisi.
Dengan kobaran semangat, aksi inipun aku pimpin. Teriakan warga sudah mengalahkan letusan gunung Krakatau. Benar-benar dahsyat. Hampir tiba satu jam tuntutan kami untuk bertemu sang Bupati belum dipenuhi. Emosi warga sepertinya sudah berada dipuncak. “Hei Polisi yang terhormat, tolong beri kami lewat,” teriak salah seorang warga dihadapan Polisi. Terjadilah dorong-dorongan antara warga dan Polisi. “Tahan-tahan” aku coba mengendalikan situasi. Keadaan bukan malah semakin kondusif. Emosi Polisipun tak terbendung. Salah seorang warga terlihat berlumuran darah, ternyata benda tumpul telah bersarang diwajahnya. Bentrokpun tak dapat dihindari.
Tidak berapa lama kemudian Gas air mata mulai ditembakkan kearah kerumunan. Suasana mencekam. “Ayo cepat mundur” pekikku sambil menarik warga yang terus saja ingin menyerang. Bisri dan Pardi lari terbirit-birit dikejar Polisi dan Ukup sudah tak terlihat. Saat sedang megatur kerumunan. Seseorang menyergapku dari belakang. Lalu disusul rekannya untuk menolong melumpuhkanku. Aku digelandang entah kemana. Mataku ditutup erat, tanganku diborgol. Setelah itu aku tidak ingat lagi detik yang berjalan, yang kutahu tubuh ini sudah melebur bersama kegelapan. Tidak ada pengadilan, tidak ada penjengukan. Pertanyaan yang sampai saat ini tidak kutahu jawabannya ialah penjara apakah yang kudiami saat ini? Mungkinkah ini tempat pembuangan? Entahlah, tapi kurasakan seperti itulah yang kurasakan sekarang.
Pelan-pelan kuhirup udara kotor di ruangan pengap ini. Aku hanya selalu terbayang mata yang sehari-hari yang memberikan pancaran semangat. Mata yang juga memberikan sepercik cahaya dalam hatiku. Benar-benar tidak kusangka hari itu adalah hari terakhirku melihat Nenes.
Pelan-pelan aku mulai berpikir sejenak. Kini aku dapat memahami satu hal, sukses adalah kebahagiaan, sementara kebahagiaan tidak harus di ruangan dingin nan terang. Ketika aku melihat senyum dari wajah warga Semunying, aku sudah merasakan kebahagiaan. Namun sayangnya aku belum pernah melihat senyum mereka sampai sekarang. Bukan karena aku sudah jauh dari mereka, melainkan karena aku masih merasakan darah juang itu tetap mengalir. Untukku itu adalah pertanda bahwa mereka masih dalam kesengsaraan.
Pengarang: Prabangsa