mimbaruntan.com, Untan- Dekan Fakultas Pertanian (Faperta) Universitas Tanjungpura (Untan), Denah Suswati menyampaikan bahwa penggunaan istilah sengketa pada permasalahan batas lahan Arboretum dan Faperta ini tidak tepat. Hal ini ia paparkan karena menurutnya lahan itu ialah hak pengelolaan yang merupakan milik Untan dan bukanlah hak milik Arboretum saat ditemui di ruangannya pada Sabtu (12/12/20).
Penggalian lahan ini berawal dari Surat Keputusan (SK) Rektor No.3405/UN22/LK/2020 tentang batas tanah Arboretum dan Fakultas Pertanian (Faperta) yang dikeluarkan pada 9 November 2020.
“Pada saat batas SK 2002 itu sebenarnya sudah jelas, implementasi dari SK tersebut harusnya ada pembagian pengelolaan oleh masing-masing fakultas, sehingga setelah menjadi fakultas sendiri pada tahun 2000, lahan harusnya dikelola oleh masing-masing fakultas,” ungkapnya.
Baca juga : Ada Apa Dengan SK Rektor? (Tentang Arboretum Sylva)
Dekan Faperta menuturkan bahwa di dalam SK Rektor tahun 2002 itu hanya disebutkan seperti batas utara, selatan, barat, timur, tetapi titik koordinat seperti yang bisa diimplementasikan saat ini tidak ada. Hal ini yang membuat Rektor membuat batas pengelolaan itu pada SK yang baru.
Saat Pihak Arboretum menolak keberadaan batas lahan, Denah memutuskan untuk membangun pagar tembok mundur sejauh tiga meter dari batas lahan yang tercantum di SK Rektor 2020.
“Itu sudah membagi wilayah implementasi dari SK Rektor karena batas tanah Arboretum. Implementasinya kan 3 meter dari pagar lama masuk ke dalam pertanian. Nah, kami begitu menerima SK rektor, kami langsung membangun pagar,” tuturnya
Ia juga menjelaskan bahwa sejak dulu sudah ada pagar berupa kayu di garis batas tersebut, namun seiring berjalannya waktu batas tersebut hilang.
Baca juga : Kronologi Tembok Panas Antara Arboretum Sylva dan Faperta (Versi Fahutan)
“Pada saat pembangunan pagar dulu itu, itu tidak ada protes karena ada memang bekas pagar di situ, tetapi belakangnya kan bekas-bekas itu udah nda kelihatan. Sehingga sekarang barulah timbul masalah dalam pengelolaannya,” jelas Denah.
“Sebenarnya, pembuatan pagar itukan biasa. Nah setiap fakultaskan juga punya pagar. Misalnya Fisipol, pagarnya itulah wilayah pengelolaan Fisipol. Itu sesuatu yang biasa sebenarnya, tetapi menjadi hal yang luar biasa karena dianggap belum jelas batas-batas itu. Akhirnya memang menjadi permasalahan,” pungkasnya.
Penulis : Arum dan Fathana
Editor : Mara