mimbaruntan.com, Untan- Pelajar ikut serta di antara mahasiswa dan buruh dalam aksi demonstrasi tolak omnibus law. Menggaungkan suara rakyat, mereka turun ke panggung demokrasi walau sering tertangkap polisi. Seperti yang terjadi pada Kamis (8/10), sebanyak 32 orang yang ditangkap polisi karena diduga provokator dalam kericuhan Aksi Kepung Gedung DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kalimantan Barat (Kalbar), sebagiannya adalah pelajar tingkat sekolah menengah atas.
“Apa karena kami tidak beralmamater sehingga dianggap provokator dalam kericuhan hari itu?” ujar Deden (nama samaran) saat ditemui di salah satu warung kopi di jalan Sepakat 2 pada Jumat (9/10).
“Kami datang disana bukan sebagai penyusup atau provokator, kami ingin mewakili rakyat menolak UU (Undang-undang) ini, karena kami kedepannya akan menjadi buruh juga, tapi polisi justru menangkap beberapa teman kami, dibilang pembuat anarkis, kami juga punya hak berdemokrasi, kalau bukan di halaman DPRD, lantas dimana lagi?” tambahnya.
Sebelum kericuhan dimulai, Deden sempat mengerjakan ulangan tengah semester yang dilakukan secara daring di sisi kiri Gedung DPRD, hingga ketika kericuhan terjadi, ia dan beberapa temannya berlari menghindari serangan dari aparat. Aparat meluncurkan gas air mata dan amarah mulai menguasai, dia mencoba melawan dengan melempar batu kepada aparat.
“Tidak ada sebenarnya provokator itu, provokator itu adalah amarah dari kami semua yang hadir disana, melihat ketidakadilan justru dilakukan aparat karena yang tidak tahu apa-apa harus kena gas air mata juga,” ujar Deden menunjukan wajah kecewanya.
Bambang (nama samaran) yang saat itu berada disisi kanan Gedung DPRD Kalbar melihat kericuhan itu justru bukan dimulai oleh para demonstran yang hadir melainkan dari anggota dewan sendiri.
Baca juga : Tuntutan Belum Terpenuhi, Aparat Justru Layangkan Gas Air Mata
“Saya lihat ada anggota dewan diatas sana yang melakukan gerakan bersulang dengan cangkir kopi kearah massa sebelum kericuhan itu terjadi, saya kira itu yang membuat massa marah karena tidak dihargai dan tuntutan belum terpenuhi, anggota dewan itu seperti mengolok-olok, terlihat setelahnya beberapa mahasiswa mulai naik keatas lalu disusul massa lainnya,” jelasnya.
Chaos pun terjadi. Para pelajar ini berlari menjauhi polisi. Sama halnya dengan Deden, Bambang dan beberapa temannya yang sudah bertaburan tak karuan melempar batu kepada aparat karena kesal akan ketidakadilan yang dilakukan.
“Saya nengok ada kakak-kakak mau pingsan, saya tarik kakak itu untuk ikut sama saya. Saya kesal karena yang kena ini bukan cuma yang menyerang polisi tapi orang yang tidak menyerang pun kena. Akhirnya saya lempar batu ke polisi, saya lihat teman saya yang lain juga melempar,” jelasnya.
Bambang memastikan tidak adanya paksaan atau bayaran terhadap pelajar untuk turun dalam demo tersebut. Hal itu dilakukan semata-mata untuk membela suara rakyat.
Pradja, pelajar lainnya mengungkapkan kekecewaannya terhadap tindakan aparat saat dihubungi melalui Whatsapp.
“Kalau masalah ricuh kemarin, saya gak ada pas awal kejadiannya, adanya pas udah terjadi ricuhnya aja. Kenapa seolah-olah mereka yang gak memakai almamater menjadi biang-kerok atas kericuhan kemarin, padahal kan mereka yang gak pake almamater juga ingin menyampaikan aspirasi mereka sebagai rakyat,” tulisnya melalui pesan Whatsapp.
Dalam UU nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di muka umum menerangkan deklarasi universal hak-hak asasi manusia yang menjamin kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat tanpa gangguan apapun dengan cara apapun dengan tidak memandang batas-batas.
Dalam UU nomor 9 Tahun 1998 ini pula diterangkan bahwa kewajiban pemerintah dan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat dan menyelenggarakan pengamanan atasnya.
Di sisi lain, di UU Catatan Sipil, anak yang sudah berusia 17 tahun sudah bisa mendapat KTP. Sementara UU pemilu ataupun Pilkada, mereka yang sudah ber-KTP maka mempunyai hak pilih, artinya meski masih berstatus anak namun mereka sudah memiliki hak politik.
Di UU Perlindngan Anak, tidak diperbolehkan adanya pengeksploitasian terhadap anak, seperti pembayaran atau pemaksaan, jika ini terjadi maka anak tersebut wajib mendapatkan perlindungan. Sedangkan dalam UU ini tidak ada aturan spesifik seorang anak dilarang turun ke jalan menyampaikan aspirasi.
Reporter : Marlin
Penulis : Mara
Editor : Nia