Pemerataan energi yang sekaligus dapat menginisiasi pertumbuhan industri dijadikan alasan ketertarikan oleh Gubernur Sutarmidji terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kalimantan Barat. Namun tidak semuanya menerima. Terlebih lagi banyak energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Benarkah nuklir menjadi jalan terbaik untuk keluar dari krisis energi?
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kalimatan Barat, Ansfridus J.Andjio mengatakan krisis energi berbahan bakar fosil tidak dapat mendukung pertumbuhan industri di Kalimantan Barat, sesuai dengan apa yang diharapkan oleh gubernur akan adanya inisiasi industri. “Suplai listrik di Kalimantan Barat hanya untuk perumahan, tidak dengan industri. Perlu adanya pembangkit listrik yang dapat memenuhi kebutuhan industry,” ungkapnya .
Padahal industri dapat membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat Kalimantan Barat. Menurutnya, PLTN menjadi salah satu alternatif yang paling tepat menjawab kebutuhan energi untuk industri ini. Ia juga menegaskan bahwa PLTN merupakan industri yang aman dengan mengambil sampel beberapa negara yang menggunakan PLTN, dalam pemasukan listrik di negara lain dan masih bertahan akan industri PLTN sendiri.
“Kenapa Indonesia takut? Kalau adanya PLTN masuk artinya listrik stabil menjadi fokus industri. Negara industri itu yang ditakutkan orang luar oleh karena itu dibayang-bayangilah nuklir bahaya dan sebagainya. Padahal nuklir ni aman, contohnya di Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang,” lanjut Ansfridus.
Terkait ketakutan akan PLTN, menurutnya PLTN merupakan pembangkit listrik yang paling aman. Ia juga memberikan penjelasan bahwa pemecahan reaktor di Fukusima bukan karena proses pengoperasian, melainkan karena bencana tsunami yang menimpa Fukusima 11 maret 2011 lalu.
Syahrul Khairi selaku dosen prodi Teknik Kimia Universitas Tanjungpura (Untan), juga menjawab soal fobia masyarakat akan pemecahan reaktor yang terjadi di Ukraina dan Jepang. Menurutnya pemecahan reaktor yang terjadi di Ukraina atau Chernobly pada tahun 1986 merupakan kejadian sudah lama. Adanya transformasi teknologi yang lebih memadai melalui perkembangan zaman dalam penanganan permasalahan tersebut, sehingga bisa dikatakan tidak mungkin terjadi lagi.
Ia juga menjelaskan terjadinya pemecahan reaktor yang berasal dari Perusahaan TEPCO (Tokyo Eletcric Power Company) ini, di Fukusima Jepang. Ketika gempa dan tsunami menerjang pada tahun 2011 dikarenakan pompa pendingin pada reaktor tersebut mati. Pada saat itu ketika sudah mengamankan reaktor tersebut, ternyata sistem penunjang reaktor yang menyebabkan reaktor tersebut terlalu panas, sehingga terjadi pemecahan yang mengeluarkan radiasi.
Ia menambahkan bahwa hasil dari produksi listrik yang menggunakan bahan bakar fosil sendiri adalah salah satu faktor dari penyebab terjadinya global warming. “Begitu merusaknya energi fosil ini sebenarnya harus digantikan segera dan yang paling berpotensi itu memang nuklir karena ketersediaan sumber dayanya ada. Kita punya sumber daya manusianya, tinggal kita mau atau ndak,” jelasnya.
Alumni dari Chiba Universty tersebut beranggapan bahwa PLTN dapat menjadi solusi permasalahan krisis energi sekaligus mengganti bahan bakar fosil. “Kalau menurut saya pribadi nuklir ini adalah pilihan satu-satunya untuk saat ini. Satu-satunya yang paling cepat untuk menggantikan bahan bakar fosil, sedangkan kita tau bahan bakar fosil itu sesuatu yang tidak dapat diperbaharui dan cadangannya baru bisa diketahui 30 tahun yang akan datang,” ungkapnya dengan yakin.
Menanggapi rencana pembangunan PLTN, serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang akan melakukan studi kelayakan tahun 2020 di Provinsi Kalimantan Barat, Aliansi Kalimantan Barat Tolak PLTN memberikan respon terhadap rencana tersebut. Aksi turun ke jalan untuk menggugat keberlanjutan pembangunan PLTN ini pun sudah mereka lakukan tepatnya pada tanggal 10 Oktober 2019. Gugatan itu termuat dalam enam poin yang isinya mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam kampanye Tolak PLTN serta tuntutan penghentian rencana pembangunan PLTN.
Adapun isi pengajuan Gugatan Aliansi Tolak PLTN:
- Bahwa (yang diperlukan) energi terbarukan, bukan nuklir/PLTN!!!
- Agar Presiden, BATAN beserta promotor PLTN di Indonesia segera menghentikan sesat pikir dan kebohongan (kepada) publik.
- Agar pemerintah pusat di bawah pimpinan Presiden dan pemerintah di daerah menghentikan atau tidak memaksakan (rencana) pembangunan PLTN di Kalimantan Barat maupun di Indonesia umumnya.
- Meminta pemerintah pusat dan pemerintah di daerah (lebih fokus) mengoptimalkan energi terbarukan sebagai solusi pemenuhan dan pemerataan energy alternative masa depan.
- Agar wakil rakyat di parlemen berkomitmen mengawal dan memperjuangkan tuntutan ini.
- Mengajak segera parlemen masyarakat menjauhkan Kalimantan Barat dari resiko bencana PLTN.
Adam, satu di antara yang tergabung dalam Aliansi Tolak PLTN Kalimantan Barat, meragukan tujuan pendirian PLTN di Kalimantan Barat, yang beralasan sebagai upaya pemerataan energi listrik. Ia mengatakan semestinya yang diprioritaskan dahulu untuk dimanfaatkan adalah energi terbarukan yang bersumber dari alam seperti panas bumi (geothermal), air (mikrohydro), tenaga surya, angin, dan lainnya. Selain itu, pengetahuan ataupun informasi mengenai rencana pendirian PLTN di Kalimantan Barat masih belum begitu familiar di telinga masyarakat Kalimantan Barat.
“Selama ini energi terbarukan masih belum dimanfaatkan secara optimal, termasuk di Kalimantan Barat. Padahal penggunaan energi ini akan lebih baik, ramah, dan aman dengan potensi risiko yang kecil, bila dibandingkan penggunaan energi fosil maupun penggunaan sumber energi berbahaya seperti nuklir sebagai tenaga pembangkit listrik. Terlebih bila kemudian terjadi gagal teknologi dan kecelakaan fatal, baik atas intervensi maupun di luar kendali manusia,” ungkapnya.
Seminar Nasional Infrastruktur Energi Nuklir (SIEN) (10/10/2019), yang diselenggarakan oleh BATAN dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat yang bekerjasama dengan Untan menurutnya tidak seperti kegiatan nasional pada umumnya.
“Terkesan senyap, tanpa gema menjelang pelaksanaannya. Baru pada saat pelaksanaannya tiba, papan iklan videotron Untan di sekitar Tugu Digulis menayangkan informasi perihal kegiatan tersebut,” tambah Adam.
Seseorang dari Komunitas Masyarakat Energi Terbarukan (Kommet), Yanuar Z. Arief, mengaku tidak menolak sepenuhnya penggunaan nuklir. Komunitasnya menerima nuklir yang digunakan untuk pertanian dan kesehatan karena memang sudah ada dengan kadar yang sangat kecil. Namun menurutnya jika digunakan untuk pembangkit listrik, kadarnya besar dan tentu juga dengan resiko yang besar.
“Jangan memandang masyarakat sekedar angka statistic, yang artinya ketika PLTN akan dibangun di Kalimantan Barat dan kemudian terjadi bencana, maka dampak kepada masyarakat tidak sebanyak bila PLTN ini dibangun di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk yang lebih banyak lagi. Kami tidak menolak Nuklir tapi kami menolak PLTN,” tegasnya.
Menurut Yanuar, dalam pembangunan maupun pemberhentian PLTN memerlukan biaya yang cukup besar sehingga dapat membebani negara, serta limbah yang dihasilkan dari pengoperasian PLTN, dan ketika masa produktivitas sudah habis limbah radioaktif sulit ditangani.
“Katakanlah jika PLTN baik-baik saja pun (tidak ada bencana) PLTN ini tetap punya limbah, mau dikemanakan limbah ini? Tetap akan merusak lingkungan, selain itu PLTN juga punya jangka usia produktifnya. Jika masanya sudah habis, maka perlu diperbaiki lagi dan mengeluarkan biaya yang sangat besar,” tambahnya.
Menurut Badan Atom Internasional (IAEA) dan Lembaga Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2005 banyak korban dari pemecahan reaktor yang terjadi di Chernobyl. Penduduk yang meninggal 56 orang dengan perincian 47 pekerja reactor, 9 anak terkena Kanker Thyroid, serta perkirakan warisan 9000 orang terkena Kanker Thyroid.
“Ditambah lagi apabila terjadi bencana misalnya meledak, itu dampaknya bukan hanya saat ini saja tapi berpuluh bahkan ratusan tahun kedepan, menurunkan anak yang cacat, kerusakan lingkungan. Masalah asap saja Kalbar belum selesai bagaimana dengan radiasi?,” pungkasnya.
Adam, satu di antara yang tergabung dalam Aliansi Tolak PLTN Kalimantan Barat, meragukan tujuan pendirian PLTN di Kalimantan Barat, yang beralasan sebagai upaya pemerataan energi listrik. Ia mengatakan semestinya yang diprioritaskan dahulu untuk dimanfaatkan adalah energi terbarukan yang bersumber dari alam seperti panas bumi (geothermal), air (mikrohydro), tenaga surya, angin, dan lainnya. Selain itu, pengetahuan ataupun informasi mengenai rencana pendirian PLTN di Kalimantan Barat masih belum begitu familiar di telinga masyarakat Kalimantan Barat.
“Selama ini energi terbarukan masih belum dimanfaatkan secara optimal, termasuk di Kalimantan Barat. Padahal penggunaan energi ini akan lebih baik, ramah, dan aman dengan potensi risiko yang kecil, bila dibandingkan penggunaan energi fosil maupun penggunaan sumber energi berbahaya seperti nuklir sebagai tenaga pembangkit listrik. Terlebih bila kemudian terjadi gagal teknologi dan kecelakaan fatal, baik atas intervensi maupun di luar kendali manusia,” ungkapnya.
Seminar Nasional Infrastruktur Energi Nuklir (SIEN) (10/10/2019), yang diselenggarakan oleh BATAN dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat yang bekerjasama dengan Untan menurutnya tidak seperti kegiatan nasional pada umumnya.
“Terkesan senyap, tanpa gema menjelang pelaksanaannya. Baru pada saat pelaksanaannya tiba, papan iklan videotron Untan di sekitar Tugu Digulis menayangkan informasi perihal kegiatan tersebut,” tambah Adam.
Seseorang dari Komunitas Masyarakat Energi Terbarukan (Kommet), Yanuar Z. Arief, mengaku tidak menolak sepenuhnya penggunaan nuklir. Komunitasnya menerima nuklir yang digunakan untuk pertanian dan kesehatan karena memang sudah ada dengan kadar yang sangat kecil. Namun menurutnya jika digunakan untuk pembangkit listrik, kadarnya besar dan tentu juga dengan resiko yang besar.
“Jangan memandang masyarakat sekedar angka statistic, yang artinya ketika PLTN akan dibangun di Kalimantan Barat dan kemudian terjadi bencana, maka dampak kepada masyarakat tidak sebanyak bila PLTN ini dibangun di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk yang lebih banyak lagi. Kami tidak menolak Nuklir tapi kami menolak PLTN,” tegasnya.
Menurut Yanuar, dalam pembangunan maupun pemberhentian PLTN memerlukan biaya yang cukup besar sehingga dapat membebani negara, serta limbah yang dihasilkan dari pengoperasian PLTN, dan ketika masa produktivitas sudah habis limbah radioaktif sulit ditangani.
“Katakanlah jika PLTN baik-baik saja pun (tidak ada bencana) PLTN ini tetap punya limbah, mau dikemanakan limbah ini? Tetap akan merusak lingkungan, selain itu PLTN juga punya jangka usia produktifnya. Jika masanya sudah habis, maka perlu diperbaiki lagi dan mengeluarkan biaya yang sangat besar,” tambahnya.
Menurut Badan Atom Internasional (IAEA) dan Lembaga Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2005 banyak korban dari pemecahan reaktor yang terjadi di Chernobyl. Penduduk yang meninggal 56 orang dengan perincian 47 pekerja reactor, 9 anak terkena Kanker Thyroid, serta perkirakan warisan 9000 orang terkena Kanker Thyroid.
“Ditambah lagi apabila terjadi bencana misalnya meledak, itu dampaknya bukan hanya saat ini saja tapi berpuluh bahkan ratusan tahun kedepan, menurunkan anak yang cacat, kerusakan lingkungan. Masalah asap saja Kalbar belum selesai bagaimana dengan radiasi?,” pungkasnya.
Penulis: Eufemia dan Reza