mimbaruntan.com, Untan – “Lakum dinukum waliyadin, itu saja modal saya. Di sini bekerja, soal iman lain cerita,” kalimat itulah yang selalu digunakan Abdul ketika orang sekitar bertanya tentang kemuslimannya yang memilih bekerja di sebuah Kelenteng.
Dari depan warung kopi di ujung jalan WR. Supratman, Abdul Qodir tampak sudah lengkap dengan kaus merah. Lelaki yang akrab dipanggil Bang Dul ini membuka pagar hijau yang dikelilingi ornamen merah pekat, khas kelenteng. Begitulah rutinitas paginya, usai mendirikan sholat subuh, rumah ibadah yang satu ini juga wajib ia datangi.
Bergegas membuka pintu kelenteng, sebuah pengeras suara di antara patung ia nyalakan, doa dan dzikir subuh dari masjid sekitar pun mulai meredup digantikan dengan iringan musik meditasi umat Budha. Di Vihara Paticca Sammupada inilah ia bekerja melayani pengunjung dan membersihkan kelenteng.
Setiap sudut ruang harus dipastikan tak ada debu yang mengganggu, patung-patung ia rapikan, beragam ukuran dupa pun ia nyalakan.
Hingga parkiran motor di warung kopi seberang mulai padat, Abdul bersama dua orang penjaga Vihara lainnya pun selesai berberes. Tugas selanjutnya duduk menunggu pengunjung Vihara.
Dahulunya Abdul adalah penjaga halaman parkir Vihara, kemudian ia diminta berpindah untuk merawat bangunan Vihara yang sudah berusia lebih dari 400 tahun. Kesempatan untuk beralih profesi dari tukang parkir ini pun Abdulsambut baik dan bertahan dua puluh tahun lamanya hingga saat ini, di usia yang sudah separuh abad.
“Inilah cara saya memasak periuk saya sendiri,” ujarnya sambil melihat lurus ke depan, kepada Akhim yang duduk di meja depan pintu masuk Kelenteng saat dikunjungi pada Minggu (21/6/21). Kiasan itu juga selalu mengiringi langkahnya selama bekerja di sini.
Akhim yang juga menggunakan kaus merah yang sama dengannya mengangguk tersenyum. Laki-laki berusia 71 tahun itu sudah delapan tahun menemani Abdul merawat Vihara Patica Samupadda ini.
“Kalau di sini, Akhim itu kayak ustad, dia yang membacakan doa-doa untuk para pengunjung,” tambah Abdul yang kemudian dibalas Akhim dengan bahasa Khek. Keduanya pun berbicara singkat sebelum kemudian mengajak untuk berkeliling Kelenteng.
Baca juga: Desa Kalibandung: Merawat Hutan Merawat Keberagaman
Dua dekade bukan waktu yang singkat untuk memahami bahasa Khek dan Tio Chiu. Dua bahasa yang digunakan sebagain besar umat Konghuchu di Kalimantan Barat. Melalui kedua bahasa inilah Abdul berkomunikasi dengan dua rekan kerja lainnya yang beragama Konghuchu dan Budha serta para pengunjung yang semuanya adalah Tionghua.
Abdul tak sendiri, masih ada dua rekan kerja lainnya yang juga beragama Islam. Walau mereka tidak memahami bahasa satu sama lain seperti dirinya, tapi rasa kekeluargaan turut hadir.
“Udah kayak keluarga sendiri, bukan hanya kepada Pak Akhim saja, tapi semuanya, kalau sore di sini ramai, beragam agama duduk di samping parkiran, berbagai macam suku juga. Tionghoa, Madura, Batak, Melayu, Jawa, semua ada,” cerita Abdul sambil menyusun dupa-dupa di sisi kiri ruang.
Tak hanya hadir di Vihara, keberagaman ini hadir pula di setiap hari raya tiba. Saling mengunjungi adalah hal yang biasa. Terlebih ketika ada rekan yang tertimpa musibah, membesuk sudah pasti dilakukan.
“Saya biasa main ke rumahnya,” ujar Akhim yang sedang membolak-balik buku tebal dengan tulisan Mandarin yang rapat.
Menjadi seorang pembaca doa seperti Akhim, tak lengkap tanpa hadirnya pemukul Gong. Keduanya sama-sama berfungsi untuk menyampaikan pesan kepada yang di atas. Abdul lah yang bertugas menabuh Gong tersebut.
“Hari seperti ini sepi, apalagi Corona, kalau yang ramai itu Cheu It dan Cap Go, itu setiap tanggal 1 dan 15 di kalender Imlek. Hari begitu semua sibuk, melayani pengunjung, yang biasanya di sini berlima, tujuh orang lainnya datang ikut bantu di Cheu It dan Cap Go,” jelas Akhim sambil membuka lembaran kertas kuning bertuliskan doa-doa dalam huruf Mandarin yang ia bacakan untuk pengunjung.
Doa meminta keselamatan pun mulai ia bacakan, perlahan dan sakral. Di sudut ruang lain, Abdul sudah siap menabuh Gong. Begitu doa selesai, bergantian ia tunjukkan bagaimana suara lantang dari kepingan mas raksasa itu berdengung kencang, dengan harapan dari pengirim doa agar permohonannya sampai ke langit.
Dupa tak hanya menyala di sisi depan ruangan, bukan hanya di bagian patung-patung untuk umat Konghuchu. Mundur ke belakang sedikit, deretan patung milik umat Budha juga tersusun rapi. Vihara ini bagi Abdul sudah menunjukkan keberagaman itu sendiri.
Gerimis mulai turun. Dingin pagi bercampur dengan udara hujan, membuat ruangan terasa hangat dari api dan asap dupa yang menyala, serta aroma harum yang dikeluarkannya. Abdul dan Akhim melanjutkan duduk di teras Vihara, menunggu pengunjung yang semakin jarang di masa pandemi Covid-19 ini.
Pengawas petugas Vihara Paticca Samuppada, Budi menjelaskan bahwa tidak ada syarat apapun untuk bekerja disini selain dapat bekerjasama dengan baik.
“Yang terpenting ia dapat bekerja sama dengan baik degan kita,” ujarnya.
Upaya untuk merawat Vihara yang telah berdiri sejak zaman Penjajahan Belanda ini membuahkan hasil, pada 2019 yang lalu, tepat di perayaan Cap Go Meh, Wismilak Foundation memberikan penghargaan kepada pengurus Vihara Paticca Samuppada atas upayanya dalam merawat bangunan suci ini.
Siapa yang menyangka, usaha merawat Vihara berbuah merawat keberagaman.
Penulis : Mara dan Sandy
Editor : Sekar