Namaku adalah Budiman, kawan – kawan biasanya memanggilkan Budi, aku merupakan anak desa yang mencoba keberuntungan untuk bersekolah di Kota. Ayah dan Ibuku hanyalah seorang petani, yang kesehariannya tidak lain hanya bercocok tanam. Aku merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, adek saya saat ini masih bersekolah di salah satu sekolah dasar di desa saya. Disini aku berusaha mencoba mengadu nasibku di yang sangat besar, berbekal hanya beberapa pakaian dan peralatan mandi aku langsung mengikuti tetanggaku yang akan pergi ke kota, berharap bahwa masa depanku akan lebih baik dari sebelumnya.
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya kami sampai juga di Jakarta, kota yang sangat besar yang sangat ku impikan sekali untuk dapat pergi merantau kesana ketika itu. Aku bersyukur karena mempunyai tetangga yang sangat baik, karena di dalam perjalanan Ia mengatakan bahwa Ia tidak bisa menemani aku setiap hari, dan aku harus sekolah, jangan sampai pendidikanku terputus ketika aku sampai di Jakarta, dan ia siap mensekolahkan aku hingga aku lulus SMA. “Budi, saya pikir di Jakarta kamu harus tetap sekolah, jangan sampai pendidikanmu terputus sampai disini, masa depanmu masih panjang, kamu harus sekolah, agar ada yang menemanimu setiap hari, karena tidak selamanya saya bisa menemanimu di Jakarta ini, dan saya akan menyekolahkan kamu hingga kamu lulus SMA nanti”, ujarnya. Setelah ditawarkan, saya dengan perasaan yang senang sekali langsung setuju dengan apa yang di bilang tetangga saya.
Singkat cerita, akhirnya kami sampai di sebuah asrama yang tepat disebelah asrama tersebut terdapat sekolah yang sebentar lagi saya akan belajar disana. Setelah berpamitan Dengan Om Andi yang telah berbaik hati menyekolahkan saya, saya langsung masuk ke kamar asrama saya dan mengeluarkan pakaian yang ada di tas saya. Setelah selesai berkemas, saya bergegas keluar kamar dan menikmati suasana sekitar, disana saya langsung mengambil posisi duduk, karena waktunya pas sekali dengan jam makan. Setelah selesai makan malam, melalui Ibu asrama, saya disuruh memperkenalkan diri saya dihadapan kawan – kawan asrama, dan disini saya di beritahu bahwa ada peraturan yang harus diikuti diasrama ini, mulai dari jadwal piket, jadwal masak, dan jadwal nyuci serta yang lainnya dan saya menyanggupi peraturan tersebut, karena dari kecil saya sudah merasakan hal seperti itu di desa.
Keesokkan harinya saya langsung bersekolah, dan dengan ditemani Ibu asrama saya langsung masuk ke kantor kepala sekolah untuk selanjutnya dibawa ke kelas. Dan, setelah perkenalan, saya langsung bergabung dengan teman – teman baru saya. Ya, begitulah kira – kira rutinitas saya setiap hari.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya ketika saya duduk di kelas 3 SMA, saya dan kawan – kawan dipercaya menjadi Panitia MOS di sekolah saya. Dan disaat itulah saya merasa jatuh cinta pada pandangan pertama, lalu saya beranikan diri kenalan dengan dia, dan akhirnya kami berdua saling kenal. Namanya adalah Sinta, dia adalah anak sulung di keluarganya, walaupun dia asli Jakarta yang hitungannya modern kehidupannya, serta anak tunggal yang saya pikir suka manja, tetapi dia selalu berpenampilan yang sederhana dan sangat dewasa, walaupun dirinya bisa dikatakan cukup perekonomiannya, beda seperti diriku yang hanyalah anak desa Walaupun diriku tidak sering bertemu dengan dirinya paling tidak 1 minggu sekali, tetapi setidaknya setiap kali aku bertemu dengan dirinya hatiku berasa damai bersama dirinya.
Singkat cerita, pertemanan kami telah berjalan satu tahun, dan ketika saya lulus dari bangku SMA saya beranikan diri saya menyatakan jatuh cinta kepada dirinya, walaupun dikatakan masih muda saat itu, tapi saya siap menerima kenyataan apapun yang terjadi saat itu. Tapi, beruntunglah rasanya walaupun dengan perasaan malu – malu ia mau menerima sepucuk bunga yang kuambil di halaman asramaku. Dan akhirnya kami jadian, dan kami berusaha untuk menjaga komitmen untuk selalu bersama. Ketika pertama kali jalan dengan dirinya, disitu juga aku bilang ke dia kalau diriku berniat ingin daftar jadi tentara. Walau dengan perasaan yang sedih yang bisa kulihat dari raut wajahnya, ia menyetujui dan mendukungku untuk menjadi seorang prajurit. “Kalau memang menurutmu itu yang terbaik, aku setuju dengan pilihanmu dan aku selalu siap mendukungmu”, katanya.
Akhirnya aku mendaftar, dan berkasku dinyatakan lengkap, disitu aku senang sekali dan tidak lama tahap demi tahap tes pun dimulai. Disaat masa – masa tes, disitulah aku merasakan kasih sayang dari seorang gadis pujaan hatiku Sinta, dia memberikan selalu dukungan kepadaku, disaat aku letih dia memberikanku semangat hingga akhirnya aku lulus. Hingga pada akhirnya aku dinyatakan lulus dan siap untuk menjadi siswa, disitulah aku langsung sms Sinta memberitaukan bahwa aku lulus. Keesokkan harinya aku bertemu dengan Sinta, dan kebetulan ketika itu hari Minggu, sekalian ku ajak Sinta untuk ketemu Om Andi, tetanggaku yang membawaku hingga sampai ke Jakarta ini. Disitu aku memperkenalkan Sinta sambil meminta tolong sampaikan ke orang tuaku kalau aku dinyatakan menjadi seorang Tentara, dan besok hari akan mengikuti pendidikan.
Keesokan harinya, pagi – pagi buta diriku langsung bergegas mandi dan menyiapkan segala perlengkapan saya, dan setelah itu saya pergi ke tempat pelatihan. Dan, disinilah setelah aku menjadi Siswa, aku langsung mengucap syukur karena bisa membanggakan nama keluargaku serta memperbaiki ekonomi keluargaku. Beberapa bulan kemudian, pada saat hari pelantikan tiba, diriku bangga, seakan menjadi manusia beruntung karena sebentar lagi bisa menjadi seorang prajurit bukan siswa lagi. Dan yang sangat membuat saya terharu yaitu ketika pada saat pelantikkan diriku, orangtuaku ada dan kebetulan juga ada Sinta, dan ketika selesai diriku langsung menghampiri Sinta, memeluk dirinya sebagai ungkapan karena lama tidak berjumpa, dan ku mengajak dia untuk bertemu orangtuaku, hingga akhirnya mereka kenal.
Diriku hanya mendapatkan izin beberapa hari setelah pelantikan, pasalnya diriku akan bertugas di Perbatasan selama 3 tahun, oleh sebab itu aku pergunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Aku langsung memohon izin kepada orang tuaku, agar segala tugasku terpenuhi dan dapat segera terselesaikan. Sehabis diriku memohon izin dengan orang tuaku, diriku langsung bertemu Sinta dan meminta doa dari dia agar aku bisa pulang beberapa tahun lagi. Diriku langsung berjanji, jika nanti aku pulang diriku akan langsung menikahi dirinya, dan dia hanya memberikan senyuman manisnya itu.
Selama bertugas disana, aku selalu rindu dengan Keluargaku begitu juga dengan Sinta. Aku selalu menghubungi keluargaku, juga menghungi Sinta menanyakan kabar mereka semua di sana. Rindu tersebut menjadi semangat diriku agar semakin dapat menjaga amanah menjaga persatuan dan kesatuan Negara ini. Dan, setiap hari diriku tetap menabung disini, demi persiapan pernikahanku dengan Sinta.
Waktu terus berjalan, tidak terasa 3 tahun telah ku lewati, dan akhirnya aku dapat kembali ke daerah asalku. Ketika sampai di desaku, aku langsung mencium tangan kedua orang tuaku, dan memeluk mereka, dan diriku langsung membicarakan tentang hubunganku dengan Sinta, dan mereka sangat setuju Sinta untuk menjadi istriku. Diriku langsung menelepon Sinta, menanyakan kabarnya, tapi diriku tidak memberitaukan kepada dirinya bahwa akan kerumahnya besok, karena aku mau buat kejutan ke Sinta yaitu mengajak dia bertemu dengan Orang Tuaku di kampung.
Keesokan harinya diriku kerumah Sinta, dan dia sangat terkejut ketika diriku datang, dan langsung saja kupeluk dirinya sebagai ungkapan rasa kangenku kepadanya. Ketika berada diruang tamunya, diriku disuruh duduk sebentar sambil menunggu dia ganti baju, karena siap – siap membawa Sinta kerumahku. Dan, ketika sedang duduk, ku melihat ada satu kamar terbuka, karena penasaran langsung saja aku bergegas kesana, saat itu juga diriku terkejut, ketika melihat foto lambang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terpampang jelas di atas kasur tidur. Tanpa pikir panjang langsung ku panggil Sinta, kutanyakan terkait hal itu, dan ketika itu Ia bercerita, benar sekali bahwa Ayahnya sebagai seseorang penganut paham PKI, dan ketika itu diriku langsung pulang meninggalkan Sinta.
Sesampainya dirumah, tanpa memperdulikan di sekitarku langsung saja masuk kekamar dan mengunci pintu. Dan disini aku merasakan rasa kegalauan yang sangat mendalam, disatu sisi Aku sangat mencintainya, tetapi dikarenakan ayahnya seorang yang masih menganut paham PKI, diriku harus berpikir beribu kali, pasalnya diriku adalah Seorang Prajurit, yang sangat mencintai Negaraku ini, dan Negara ini pernah mempunyai masa lampau yang sangat suram dengan PKI yang membuat Ibu Pertiwi berduka sekali ketika itu. Disaat itu diriku benar – benar terpuruk, karena jika aku memilih masih mempertahankan cintaku walaupun diriku tau bahwa ia masih bagian PKI yang artinya sama dengan menghianati Negara ini, atau diriku memilih untuk setia pada NKRI dan walaupun aku harus menerima konsikuensinya yaitu berpisah dengan Sinta.
Keesokkan paginya aku telah membuat keputusan yang bulat, dan aku langsung bertemu Sinta. Sesampainya dirumah Sinta, ia langsung memeluk diriku, namun ketika itu langsung aku melepaskan pelukan darinya dan langsung bilang kepada dirinya bahwa diriku tidak bisa bersama dengan dia lagi. Seketika itu aku langsung bilang ke Sinta “Ingat perkataanku ya Sinta, walau nanti ragamu tidak bersamaku lagi, tetapi hati kan wajahmu tetap kuukir indah di hati dan pikiranku, dan aku harap kamu segera melupakan diriku dan mencari pengantiku, mengenai kasus ini tidak akan kuberitau siapa – siapa, biarkan saja aku dan dirimu yang mengetahuinya” dan setelah itu langsung saja kuputar balikkan badanku dan langsung kutinggalkan dia, dan dia bilang “Pleasee Budi jangan tinggalkan aku, aku sangat mencintaimu, yang PKI itu bukan aku, tapi Ayahku, Pleaseee Budi jangan pergi, Buddd…Budiii…”, ungkapnya dengan suara yang keras sambil menangis. Yah, bagaimanapun cintanya kepadaku masih kalah dengan cintaku kepada Bangsa ini, biarpun bukan dirinya yang secara langsung bersalah, tetapi ia masih keturunan ayahnya yang sosoknya seorang yang menganut paham PKI.
Tetapi, bagaimana pun diriku tidak menceritakan kepada siapa – siapa tentang permasalahan itu, bagiku cukup aku, dia, dan Tuhan yang tau tentang semuanya itu. Dan beberapa hari kemudian aku memutuskan untuk mengajak keluargaku ikut kerumah baru yang kubeli untuk Orang Tuaku di daerah tugasku, agar diriku tidak terlalu jauh dengan mereka. Sesampainya kami disana, kami merasa bersyukur karena kami dapat hidup lebih baik dari sebelumnya, dan memulai hidup baru. Di tempat baru kami diriku seperti biasa bekerja, dan orangtuaku membuat warung kecil dirumah sebagai pengisi waktu mereka sehari – hari. Dan mengenai hubunganku dengan Sinta, kusembunyikan permasalahan tersebut sampai kapanpun dengan kedua orang tuaku.
Dua tahun kemudian, tetanggaku Om Andi meneleponku dan memberitau bahwa ada undangan pernikahan buat dirinya dan diriku. Dia memberitau bahwa Sinta akan menikah beberapa hari lagi. Dan ketika saya mendapatkan berita tersebut, walau berat tetapi saya tetap berusaha senyum kecil, dalam hati diriku ada rasa kecewa, tetapi ada rasa bersyukur. Dia mendegarkan nasihatku, dan pastinya aku tetap ingat pada perkataanku bahwa dirinya akan selamanya terekam dalam hati ini. Bagiku lebih baik melupakan satu seseorang daripada harus melupakan identitas diriku sebagai penjaga dan pemersatu bangsa karena satu orang.
Penulis : Julio Silitonga