mimbaruntan.com, Untan- “Jangan silau…Jangan silau.Sekali lagi “Jangan silau,” tegasnya mengulang kata yang sama hingga tiga kali. “Semua peranan dan kesempatan ada ditangan kalian.Kalian bisa berbuat dan tatkala kalian memiliki kesempatan itu jangan lupa nasihat saya,”kata dokter Soedarso. Membuat seorang mahasiswa termangu ketika meminta nasihatnya pada Februari 1976 silam.
Dipo Alam, mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Indonesia yang saat itu sedang melakukan penelitian di Kalimantan Barat berkesempatan berbicara langsung dengan dokter Soedarso. Sosok yang telah berbakti untuk Kalimantan Barat selama kurun waktu 40 tahun.Ia dibuat termangu oleh jawaban-jawaban dokter Soedarso ketika diwawancarainya. Dokter yang berusia 69 tahun kala itu masih sangat bersemangat ketika berbicara tentang perjuangan.
Bernama lengkap dr. Mas Soedarso atau yang akrab disapa Pak Darso, dikenal sebagai orang yang sederhana. Kesehajaan dan kesederhanaanya terinspirasi dari sosok proklamator Bung Hatta dan Prof. Sunaryo seorang pejuang kemerdekaan.Ia berpesan agar jiwa dan semangat yang pernah dilakukan dalam mencapai kemerdekaan harus dipertahankan dalam menjaga nasionalisme murni. Kemudian ditegaskannya bahwa jiwa tersebut jangan sampai dikotori oleh hasrat kepingin lekas kaya, sebab mental semacam ini yang merusak Negara sehingga dimana-mana terjadi korupsi terutama dikalangan atas. “Coba lihat Bung Hatta, Prof Sunaryo apakah mobil di rumahnya berderet? terlebih lagi pak Hatta, padahal dia proklamator,” ucap pak Darso.
Pengabdian dan perjuangan seorang Pak Darso memang sudah tidak diragukan lagi. Tinta sejarah telah ia torehkan, selain pengabdian dan perjuangannnya dibidang kesehatan, dengan semangat yang berkobar tanpa pamrih ia dan teman-temannya juga berperan besar dalam mengusir kaum penjajah dari Bumi Kalimantan Barat. Tidak hanya itu, dibidang sosial dan pendidikan pun ia mempunyai peran penting pada masa perjuangan kala itu.
Soedarso lahir pada tanggal 29 Nopember 1906 di Pacitan, Jawa Timur. Anak keenam dari sebelas bersaudara ini sejak kecil sudah dididik agar pandai-pandai membawa diri dan tahu menggunakan waktu oleh ayahnya. Atmosoebroto atau yang sering dipanggil Pak Atmo, merupakan ayah yang mempunyai keinginan agar anak-anaknya maju dalam pendidikan.Hal itu dibuktikan dengan pendidikan yang ditempuh Soedarso.Bermula dari sekolah yang dikelola Belanda yaitu Europesche Legere School (ELS) di Maduin yang sekarang setingkat dengan sekolah dasar. Hingga tingkat pergurua tinggi yaitu di School Tot Opleding Van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta. Soedarso yang mempunyai hobi membaca dan buku bacaannya antara lain buku ilmu pengetahuan umum, sejarah dan kedokteran yang sesuai dengan bidangnya. Mengumpulkan perangko dari berbagai Negara juga menjadi kegemarannya. Selain itu ia juga dikenal sosok yang religius, hal itu di dukung oleh lingkungan keluarga dan ajaran sang ayah yang termasuk keluarga beragama. (Dokter Soedarso Riwayat Hidup Pengabdian dan Perjuangan, Hal 12 ).
Semasa menjadi mahasiswa ia aktif beorganisasi, itu ditunjukan dengan masuk sebagai anggota pemuda pelajar nasional yang disebut Jong Java. Meski terkenal sibuk, namun hal itu tidak menjadi penghambat dalam menyelesaikan studinya. Pada usia 26 tahun tepatnya 28 Juli 1932 ia berhasil menyelesaikan sekolahnya dari Stovia Batavia(Jakarta) dan ia resmi mendapat gelar dokternya. Atas gelar dokter yang di sandang itu mengawali tugasnya di Semarang, Pulau Selayar, Surabaya hingga akhirnya pada Februari 1938 ia memulai pengabdiannya di Borneo Barat (Kalimantan Barat) tepatnya di daerah yang masih sangat pedalaman waktu itu di Sanggau.
Kisah hidup Soedarso memasuki babak baru. Ia memutuskan untuk mempersunting perempuan yang bernama Soetitah untuk menemani hidupnya. Dari hasil perkawinannya itu, mereka dikarunia tujuh orang anak, terdiri dari tiga orang putra dan empat orang putri yaitu Agus Sutiarso, Agus Setiadi, Andarwini, Sriyati Supranggono, Agus Setiawan dan Sri Astuti Suparmanto.Suka dan duka mereka hadapi dalam berumah tangga.Soetitah menjadi sosok yang kuat, tegar dan penting dalam membantu keberadaan dokter Soedarso.
Walaupun Soedarso ditugaskan ke daerah pedalaman Kalimantan Barat yang keadaanya masih sepi dan masih dalam suasana panjajahan, sang istri Soetitah setia mendampingi. Kemudian ketika Soedarso yang juga pernah di bui, dalam keadaan seperti itu pun Soetitah tetap mengurus semuanya. Tampak di situ bagaimana ibu Soetitah merupakan seorang wanita yang sangat mencintai keluarganya dan bertanggung jawab.
Ibu Soetitah Soedarso terkenal dengan jiwa sosialnya yang tinggi.Beliau juga pernah mendapat kehormatan Satya Lencana Kebaktian Sosial dari Pemerintah Republik Indonesia yaitu penghargaan yang diberikan kepada orang yang telah berjasa dalam bidang kemanusiaan dan kesejahteraan sosial pada tanggal 22 Desember 1962.
Untuk mengetahui lebih mendalam kehidupan keluarga dokter Soedarso,Mimbar Untan berkesempatan berbincang langsung dengan putra kelima dari dokter Soedarso dan Soetitah yaitu Agus Setiawan. Agus mengatakan ibunya merupakan sosok yang sangat berjiwa sosial, hobinya bersama masyarakat.Kemana-mana mengajak masyarakat untuk melakukan hal yang berguna. “Saya tahu persis bagaimana ibu saya, sebelum ada PKK, ibu saya udah masuk duluan dengan kegiatannya dan memakai dana pribadi,” kata Agus Setiawan saat ditemui di kediamannya, Jalan Parit Haji Husein II, Pontianak (14/01).
Bapak yang sedang menikmati masa-masa pensiunnya ini kembali menceritakan bagaimana sosok sang ibu waktu masih hidup dulu. Ia mengatakan kalau mau melihat kenang-kenangannya itu ada satu di daerah Jungkat. Tempatnya untuk berkegiatan masyarakat, seperti Balai Desa.Tempat itu diresmikan langsung oleh wakil presiden RI kala itu Bung Hatta pada tahun 1958.Lokasi terjauh yang dijangkau Ibu Soetitah yaitu di Manismata, Ketapang.“Ibu saya meninggal itu tahun 1961, jadi apa yang sudah ibu buat itu akan dilanjutkan oleh mereka sekarang tanpa mereka tau ibu saya itu siapa,” ungkapnya.
Pernikahan Soedarso dengan Soetitahyang dikenal harmonis dan penuh perjuangan, namun pada tahun 1961Soetitah menderita sakit hingga kemudiania meninggal dunia dan meninggalkan keluarga tercinta selama-lamanya. Setahun berselang kepergian Ibu Soetitah pada tahun 1962, Soedarso menyadariakan kesibukan dan tidak ada yang mengurusi anak-anaknya. Akhirnya ia memutuskanmenikah dengan Ibu Hartati dan kemudian dikaruniai seorang anak perempuan.
Penulis : Marna Ideal