Setelah Majapahit runtuh pada 1527, Jawa kacau balau dan bermandi darah. Kekuasaan tak berpusat, tersebar praktis di seluruh kadipaten, kabupaten, bahkan desa. Perang terus-menerus menjadi, untuk memperebutkan penguasa tunggal. Permata-permata kesenian, baik di bidang sastra, musik, dan arsitektur tidak lagi ditemukan. Selama hampir satu abad Jawa dikungkung oleh pemerintahan teror (Schrikbewind) yang berpolakan tujuan menghalalkan cara.
Salah satu bentuk pemerintahan teror itu diungkapkan secara jernih dalam buku ini. Penembahan Senopati, raja Mataram kurun 1575-1607, yang bercita-cita menjadi penguasa tunggal, menundukkan perlawanan gigih penduduk desa Mangir dengan cara kotor dan keji. Wanabaya atau Ki Ageng Mangir, pemimpin desa yang letaknya kurang dari 20 km dari ibukota, dirayu putri kesayangan. Senapati dijebak, dan kemudian dibunuh dalam sebuah pertemuan keluarga.
Baca Juga: Outsiders- Kisah Para Penunggang Motor
Buku ini yang ditulis Pramoedya di Pulau Buru dan sempat hilang beberapa tahun, membuka wawasan kita untuk melihat lebih seksama kelemahan dan ketimpangan sistem pemerintahan silam, serta pengaruhnya pada masa sekarang.
Siapa yang tidak kenal Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan yang akrab dipanggil Pram ini telah banyak menorehkan prestasi berkat kepandaiannya menulis, hingga diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa asing. Hidup pada zaman penjajahan hingga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menambah banyak pengalaman hidup yang diekspresikan melalui tulisan.
Karena sudah menelan pahit manis setiap zaman itulah gaya penulisannya cenderung sarkastis, sarat akan kritikan dan sindiran terhadap pemerintah. Pram sempat diasingkan di Pulau Buru oleh pemerintahan Orde Baru karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Kendati pun nasib yang tidak menguntungkan itu tidak menyurutkan kehausannya untuk melanjutkan kegiatan tulis menulis. Hingga suatu saat lahirlah karyanya yang fenomenal sekaligus kontroversial, yaitu Tetralogi Pulau Buru.
Tetralogi Pulau Buru memang lebih terkenal daripada karya Pram lainnya. Tapi rasanya sayang sekali jika membaca serial tersebut hanya karena banyak diminati pembaca, dan enggan membaca tulisan-tulisan beliau yang lain. Salah satu buku yang tidak kalah hebatnya adalah Drama Mangir. Mayoritas dari karya seorang novelis yang dikenal hingga ke mancanegara ini berbentuk novel ataupun roman. Namun Drama Mangir merupakan buku naskah drama yang berlatarbelakang pada masa kerajaan di Nusantara, yang menjadi keistimewaan dan pembeda dari buku-buku lainnya.
Baca Juga: Resensi Buku: Kami (Bukan) Sarjana Kertas
Dari buku teks sejarah kerajaan maupun novel-novelnya seringkali kita jumpai berisikan soal raja yang sempat memangku pemerintahan, pendirinya, hingga keruntuhan kerajaan tersebut. Bersandang istimewa dari buku sejarah lainnya, Drama Mangir menceritakan soal perlawanan desa ‘perdikan’ bernama Mangir, melawan kerajaan Mataram yang bermain kotor dan keji. Bisa dikatakan hina, Panembahan Senapati selaku raja yang memimpin kerajaan pada masa itu rela menelan nuraninya habis-habisan demi Mataram yang ia elu-elukan. Sang putri favorit dijadikannya telik Mataram untuk merayu Ki Ageng Mangir Muda, Wanabaya. Putri Pambayun menyamar sebagai penari yang hidup di tengah masyarakat Mangir. Semua rencana Senapati untuk memperdaya Wanabaya berjalan dengan lancar. Hingga Pambayun diperistri Wanabaya, tiada lagi niat ingin menjadi telik musuh, melainkan tumbuh menjadi sepasang merpati yang saling mencinta berharap selamanya selalu bersatu.
Wanabaya masuk ke dalam jebakan kotor Mataram. Sungguh bukanlah cara ksatria, Penembahan Senapati menipu Ki Ageng Mangir yang berstatus menantu sekaligus musuh itu agar masuk ke dalam perangkapnya yang berkedok sembah-bakti pada sebuah pertemuan keluarga. Ki Ageng Pemanahan pendiri Mataram tedahulu hanya bisa duduk termangu melihat Pambayun, cucu kesayangannya dibinasakan jiwanya oleh ayah kandungnya sendiri demi menjadi penguasa tunggal. Apalah daya di usia senjanya Ki Ageng Pemanahan tidak dapat melawan dengan mengadu pedang, cuma hatinya saja yang menentang. Itu pun sudah cukup daripada membenarkan perbuatan keji sang Raja Mataram yang pongah ini.
Dari pemaparan yang disebutkan, menunjukkan betapa hubungan antara tokoh yang mewakili dunia politik lama dengan tokoh yang mewakil dunia politik baru tidak pernah berlangsung harmonis. Ini menunjukkan kepada kita suatu “kegagalan” masyarakat Jawa tradisional dalam membawa pesan leluhur untuk membina generasi pengganti yang tangguh, yang mempunyai visi ke depan dalam menimbang-nimbang resiko; seberapa besar dan seberapa pantas unsur budaya dan gaya hidup yang harus dikorbankan untuk melangkah maju. Pesan inilah yang dipaparkan secara tidak langsung melalui penghidupan kembali drama Mangir tersebut.
Dalam buku ini, Pram berhasil menguak sanepa (kias) dari pujangga-pujangga terdahulu. Kerasnya feodalisme Jawa pada zaman itu telah menghasilkan kehati-hatian para pujangganya, suatu kehati-hatian yang keras berlebih-lebihan untuk tidak menggunakan kata kelemahan watak. Sanepa-sanepa yang dilahirkan oleh para pujangga Jawa dalam persyaratan demikian mencapai nilai yang sedemikian tinggi (atau rendah, tergantung dari tempat memandang) dan jarang bisa didapatkan dalam sastra bangsa-bangsa manusia mana pun. Berhadapan dengan sanepa adalah berhadapan dengan teka-teki dua muka: historis dan daya imanjinasi pujangga. Setiap tafsiran atau uraian atasnya bisa keliru. Biar begitu tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh daripada melalui tafsir. Penerimaan mentah-mentah oleh pembaca atau pendengar-penonton atau wayang atau terbitan gaya sebelum perang dunia II bukan hanya tidak dapat dibenarkan, juga sudah tidak dapat ditenggang lagi, terlalu mendongeng dan bersifat tidak mendidik.
Dalam lakon yang dituliskan ini, semua tokoh dilucuti dari pakaian dongeng dan ditampilkan sebagai manusia biasa, dijauhkan dari tanggapan-tanggapan mistik dan fetis, dengan impian, usaha, kegagalan, dan suksesnya.
Penulis : Putri Permatasari