mimbaruntan.com, Untan – Eufemisme, majas penghalus bahasa yang kerap kali digunakan oleh jurnalis yang tak lebih dari sekedar pengabur makna. Pemberitaan yang seharusnya menjadi lidah sambung pembaca malah menjadi pisau bermata dua; realitas bahasa atau penyubur masalah.
Bahasa menjadi salah satu bagian penting dalam tampilan sebuah tulisan. Berbagai macam gaya bahasa digunakan penulis untuk menunjang keberagaman kalimat dalam karyanya. Tentu saja, berbagai majas digunakan, salah satunya adalah eufemisme. Majas perbandingan yang satu ini mengandung pernyataan kasar yang dibungkus dengan kata yang lebih halus. Eufemisme dianggap sebagai penyaring bagi kata-kata yang masih dianggap tabu dan kurang sopan didengar orang lain.
Dewasa ini, penggunaan eufemisme dalam dunia jurnalistik sangatt erat kaitannya. Berbagai macam tajuk berita diperindah dengan menggunkan majas ini, terlebih kepada berita kriminalitas. Seringkali, kita menemukan kata ‘oknum’ sebagai kata ganti pelaku yang berasal dari kalangan aparat negara. Atau barangkali kita mendengar kata ‘rudapaksa’, ‘menggagahi’, ‘digilir’ atau bahkan ‘disetubuhi’ sebagai suatu bentuk penghalusan bahasa dari perbuatan pemerkosaan.
Baca juga: Semerbak Aroma Roti dari Dapur Rumah Belas Kasih
Dian Lestari, Jurnalis Sejuk Kalimantan Barat, menjelaskan bahwa penghalusan dari kata ‘pemerkosaan’ tidak perlu dilakukan, karena dapat mengaburkan tindak pidana. Dikarenakan terdapat pasal yang dikenakan terhadap tindak pidana pemerkosaan.
“Jurnalis perlu tahu bahasa hukumnya pemerkosaan. Diksi berita mesti didasari oleh pemahaman akar katanya dari sisi hukum dan bahasa. Jurnalis juga harus tahu apa dampak jangka pendek dan jangka panjang apabila kata pemerkosaan diperhalus jadi pencabulan atau lainnya,” ungkap Dian saat diwawancarai secara daring Pada Senin, (17/1).
Mengenai dampak penyalahgunaan eufemisme pada kata pemerkosaan, Dian mengatakan bahwa masyarakat menjadi tidak peduli terhadap tindak keji pelaku pemerkosaan. Masih banyak masyarakat yang justru menyudutkan dan menyalahkan korban akibat tidak subjektifnya berita di media massa.
Keberpihakan penulis dalam pemberitaan mempengaruhi cara pandang pembaca dalam mengonsumsi suatu informasi. Sebagai pihak yang menghimpun, mengolah dan menulis berita, seorang jurnalis bertanggungjawab dalam memaparkan berita yang sesuai dengan realitas sosial.
“Apabila media tidak memperjuangkan hak korban, artinya masyarakat nggak bisa berharap bahwa kebebasan pers dijalankan dengan sebaik-baiknya. Fungsi media tak lagi sesuai dengan amanat rakyat,” ujarnya.
Baca juga: Ahmadiyah Ungkap Kebenaran Lewat Ruang Jurnalistik
Sementara itu, Febby Kartikasari, Jurnalis Sejuk Kalimantan Barat, berpendapat bahwa seringkali korban pemerkosaan digambarkan sebagai mahluk yang lemah dan tidak memiliki kuasa atas dirinya. Hal ini akan berdampak pada psikis korban dan stigma masyarakat.
“Ketika jurnalis menggunakan ‘bunga’ sebagai kata ganti korban, hal tersebut bukan berarti menunjukkan tanaman hias. Melainkan sebuah metafora sebagai gadis yang cantik. Parahnya, kalimat demikian akan membangun diskriminasi terhadap perempuan,” jelas Febby pada Senin (17/1).
Menurutnya, penyalahgunaan eufemisme ini masih sering dilakukan oleh segelintir jurnalis. Ia merasa bahwa penghalusan kalimat justru akan memojokkan korban dan menguntungkan pelaku atas nama kesopanan. Seharusnya, tidak perlu adanya kalimat yang diperhalus pada kejahatan pemerkosaan.
Penulis : Dedek
Editor : Yoga