mimbaruntan.com, Untan- Setelah menempuh perjalanan 14.000 kilometer menggunakan sepeda motor, videografer Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz yang akrab dipanggil Ucok memulai Ekspedisi Indonesia Biru pada 1 Januari 2015. Mulai dari Kantor WatchDoc, Jawa, Bali, Papua, Sulawesi, Sumatera dan menuju perkampungan di Kalimantan yang sedang berada di puncak tragedi kabut asap. Mereka merekam lewat foto dan video lalu menuliskannya.
Menggunakan sepeda motor bebek, mereka merasakan terik matahari, hujan dan angin untuk mendokumentasikan konsep Indonesia Biru yang dikenalkan oleh Gunter Pauli. Konsep ekonomi biru mendasarkan bagaimana ekosistem alam bekerja yang dilakukan masyarakat adat atau masyarakat Indonesia sebelum mereka berinteraksi dengan modernisme.
Film kesembilan dari seri ekspedisi Indonesia Biru ini pun memaparkan temuan tentang industri perkebunan kelapa sawit yang luasnya kini mencapai 11 juta hektar atau nyaris mencapai luas pulau Jawa. Selain Kalimantan, pemaparan kisah meliputi Sumatera hingga Papua bagian selatan, yang tengah gencar menghadapi masuknya perkebunan komoditas dunia itu.
Mereka memberi nama filmnya dengan judul ASIMETRIS. Film tersebut mengisahkan siapa saja yang sesungguhnya paling diuntungkan, selain 16 juta rakyat Indonesia yang memang ikut menggantungkan hidupnya pada industri kelapa sawit. Tak hanya melihat lebih dekat bagaimana dampak industri perkebunan penghasil devisa terbesar itu bagi masyarakat dan lingkungan, juga menyuguhkan bagaimana pengaruh industri ini dalam pemerintahan, aparat keamanan, hingga kalangan masyarakat.
Anton P Wijaya selaku direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar mengatakan bahwa pemaparan film Asimetris menunjukan kepada kita semua fakta yang terdapat di lapangan mengenai industri kelapa sawit yang ada di Kalbar. “Apa yang di film itu pun menjelaskan itulah dinamika persoalan yang terkait carut marut industri kelapa sawit tidak hanya di Kalbar saja,” ujarnya saat dimintai komentar.
Dalam film ASIMETRIS mempaparkan konflik dampak lingkungan yang terjadi diantarnya air menjadi kuning. “Tapi ada yang penting adalah efek-efek lapangan yang terjadi,” tambahnya.
Di sisi lain, Hermawansyah selaku direktur Swandiri Institute memprediksi bahwa dalam pekembangan ke depan permintaan hasil produk kelapa sawit semakin meningkat. Namun tidak diimbangi dengan jumlah lahan yang ada saat ini. “Kebutuhan tahun 2030 di dunia ini akan membutuhkan suplai 20 – 30 juta ton minyak sawit dan itu membutuhkan 18 Juta hektar ekspansi kelapa sawit,” pungkasnya.
Penulis : Suryansyah
Editor : Umi