Pada hari itu, suasana kampung terasa sesak. Kerumunan warga memenuhi rumah mini berwarna kuning sembari menyalami pemilik rumah tersebut. Senyum merekah ditunjukan oleh ibu, ayah dan anak laki-laki yang akan meninggalkan gubuk penuh derita itu. Warga melambai-lambaikan tangan sebagai salam perpisahan kepada keluarga kecil itu ketika hendak memasuki mobil yang akan membawa mereka ke bandara.
Tak butuh waktu yang lama, pesawat pun landing di Bandara Soekarno Hatta. Mereka tampak gelisah menunggu seseorang yang akan menjemput. Tiba-tiba sosok wanita berjalan gontai menuju ke arah mereka yang duduk di tepian ruko. Lesung pipi tertancap di pipi saat wanita itu tersenyum, belum lagi pakaian yang menutup tubuhnya menambah kelembutan dan kecantikannya.
“Maaf ayah, ibu” katanya sebelum mendengar rentetan kata dari orang tuanya itu.
“Dari mana saja sih? “tanya ibunya yang sudah naik pitam.
“Maaf ibu, tadi aku banyak kerjaan di kantor”jelasnya.
“Jangan marah dulu! Pasti kalian capek kan? Marah hanya akan membuang tenaga”lanjutnya saat melihat ibunya hendak melanjutkan amarah yang belum selesai.
Ia langsung membawa orang tuanya dan adiknya masuk ke mobil pribadinya.
“Lel, ini mobilmu? “tanya ibunya heran melihat mobil yang dinaikinya.
“Iya bu, ini hasil kerja Leli. Bagus kan? “ujar Laily.
“Iya bagus-bagus”ujar ibunya yang masih saja memperlihatkan sikap kampungannya. Mulai dari meraba-raba kursi mobil hingga menepuk-nepuk untuk merasakan betapa lembutnya kursi tersebut.
Laily hanya bisa tersenyum melihat kelakuan ibunya. Ayah yang duduk tepat disamping pengemudi hanya bisa duduk diam. Sedangkan adiknya, Lila hanya fokus ke gedung-gedung besar yang dilewati sepanjang jalan.
Mobil memasuki komplek-komplek elit, dimana sebelumnya ayah, ibu dan adiknya belum pernah melihat rumah-rumah semacam itu di kampung. Rumah-rumah bak istana, taman-taman bertaburan bunga, serta kebersihan yang memadai.
Berhentilah mereka di suatu rumah besar bak gedung putih, pohon-pohon yang diukir sedemikian rupa serta kolam-kolam ikan yang menyambut mereka.
“This is we house”kata Laily.
“Apa? “tanya Lila.
“Ini rumah kita”seru Laily lebih lembut.
Mata ibunya terbelalak mendengar kata anak perempuannya itu, ia melangkahkan kaki dan melihat ke sekelilingnya dengan rasa tidak percaya.
“Ayah, Ibu, ini rumah kita” jelas Laily lagi.
“Ayo masuk, aku ingin lihat isi dalamnya”seru Lila yang langsung berlari kearah pintu.
Laily pun membuka pintu rumahnya, sekali lagi mereka tercengang-cengang tak terkecuali ibunya saat melihat isi rumah anaknya itu. Laily mengantarkan orang tuanya ke kamar yang telah ia sediakan, begitu pula dengan adik laki-lakinya itu.
Setelah merasa puas menjelajahi rumah, Laily mengajak keluarganya untuk jalan-jalan keluar. Tanpa kenal lelah, mereka menyetujuinya. Mereka berkeliling di Mall dan berbelanja barang-barang keperluan rumah. Saat memilih-milih barang, Laily mendengar suara pria memanggilnya dari kejauhan dan ia pun segera menghampiri sumber suara.
Pria berpakaian kemeja maroon, rambut klimis, sepatu mengkilat, dan tampan. Itulah anggapan pertama yang dinilai oleh ayahnya. Ayahnya mulai memperhatikan pria dan anaknya itu bercengkrama, tampak cocok menurut pandangannya.
“Siapa itu? “tanya ayah ketika Laily sudah kembali.
“Dia Manager di perusahaan yah”kata Laily.
“Kok kalian dekat sekali? “tanya ayahnya yang masih tak percaya.
“Ayah, Lel kan sebagai publik relation atau humas. Jadi wajarlah jikalau Lel bisa dekat dengannya”jelas Laily.
“Siapa namanya? “tanya ibunya yang juga penasaran.
“Namanya Adha”
Ayah dan ibunya hanya mengangguk-ngangguk. Mereka pun melanjutkan berbelanja, dan setelah puas mereka pun pulang.
Hari kedua dimana orang tua dan adiknya tinggal bersamanya, pagi-pagi sekali ibunya bangun dan menyiapkan sarapan. Semua bergegas kedapur tanpa terkecuali Laily yang sangat mengenal aroma masakan itu.
“Wah, enak nih”goda Laily.
“Iya Lel, ibu udah lama gak bikin sop buntut. Pas ada bahannya, ibu masak deh”
“Sudah berapa lama bu? ” tanya Lila.
“Sejak kita hidup susah”sindir ibunya sembari melirik ke arah ayahnya.
“Ibu…. “seru Laily.
Ayahnya hanya bisa tersenyum seraya menahan gejolak emosinya setiap kali istrinya itu menyindirnya. Bagaimana tidak sejak ayahnya itu mengidap penyakit diabetes, terpaksa ayahnya harus berhenti dari rutinitasnya sebagai kuli panggul.
“Oh ya, hari ini Leli akan pulang awal”kata Laily mencoba memecah keheningan akibat ucapan ibunya itu.
“Bagus sekali nak, ada yang perlu ayah bicarakan”
“Apa itu yah? “
Ayahnya hanya tersenyum seraya meneguk kopi susu yang telah disiapkan di atas bar dapur.
Awan pun menelan matahari, azan berkumandang pertanda segala aktifitas berakhir sudah. Laily tiba dirumahnya dan segera membersihkan diri. Setelah itu ia menghampiri keluarganya yang telah menunggunya di meja makan.
“Umurmu tahun ini berapa nak? “tanya ayahnya disela-sela makan.
“Leli? “tanya Laily.
“Iya Leli, masa Lila”ujar ayahnya.
Lila hanya melirik kesal. Selama ini perhatian ayahnya hanya tertuju kepada kakaknya. Itu dikarenakan kakaknya berpendidikan tinggi dan menjadi tulang punggung keluarga. Sedangkan ia, hanya tamatan SMA dan tak bekerja sama sekali.
“Umur Leli tahun ini 25 yah, kenapa? “
“Sudah dewasa ya”
Alis Laily mengernyit. Pertanda apakah ini, pikirnya.
“Ayah berterima kasih sekali, karena kamu sudah membantu ayah menafkahi keluarga. Ayah sangat bersyukur sekali. Tapi apakah kami tidak terlalu egois menghalangi kebahagiaanmu? “
“Egois apa ayah? Leli bahagia kok”seru Laily yang mulai tidak enak dengan suasana seperti ini.
“Ayah ingin Leli cari kebahagiaan yang sesungguhnya. Letak kebahagiaan seorang wanita ada pada seorang pria”ujar ayahnya.
“Tidak semua seperti itu”seru ibunya.
“Ibu! “sergah Laily saat melihat ibunya melotot ke ayahnya. Ibunya pun bungkam.
“Ayah, Leli mengerti maksud dari pembicaraan ini. Jujur ayah, Leli tak menginginkan siapapun. Leli sudah sangat bahagia dengan adanya kalian”
“Tapi Leli, apa gunanya jika ayahmu ini selalu sholat, berdzikir. Tapi tidak bisa melakukan tanggung jawab yang terakhir”
“Apa maksud ayah yang terakhir? “
“Begini nak, selain ayah saat ini sering sakit dan rantai dosa akan terputus jika ayah telah melepaskanmu kepada seorang pria yang akan menjadi suami mu”
“Jadi maksud ayah, Leli pembuat dosa untuk ayah?”
“Bukan begitu nak maksud ayah”
“Apakah ayah takut tidak masuk surga karena belum melakukan tanggung jawab ayah?. Tanggung jawab seperti apa ayah?. Iya kalau pria tersebut baik, mungkin akan menjadi pahala bagi ayah. Lalu bagaimana kalau pria itu tidak baik? “
Ayahnya hanya membisu sambil mengetuk-ngetukan sendok di piringnya.
“Ayah, Leli tak ingin menikah. Leli tak tau mengapa begini. Tapi tolong mengertilah. Leli sudah menutup aurat leli. Setidaknya itu bisa menutupi dosa yang akan terciprat ke ayah kan? “Ujar Laily Lebih lembut.
Ayah serta yang lainnya diam membisu sampai pada akhirnya Laily pergi dari hadapan mereka.
Laily berdiri di balkon kamarnya, matanya menjalar ke alam sekitar, menahan buliran air keluar dari matanya. Seketika tangannya menutupi wajah cantiknya menyembunyikan air yang tak sanggup lagi ia bendung. Ia merasa menyesal telah berkata demikian kepada ayahnya, mengingat ayahnya yang hanya diam membisu seperti anak-anak yang baru saja di marahi oleh gurunya.
Laily pun bergegas mencari ayahnya untuk meminta maaf. Terlihat ayahnya berdiri ditepian kolam ikan sambil melemparkan pakannya.
“Ayah”panggil Laily lembut dari belakang ayahnya.
Ayahnya hanya mendeham pertanda mendengar panggilan anaknya.
“Ayah, Leli minta maaf. Seharusnya Leli tidak berkata begitu. Ayah benar, menutup aurat bukan hanya satu-satunya syarat untuk masuk surga. Bahkan untuk dosa-dosa kecil saja, Leli tidak menyadarinya. Dosa-dosa kecil apabila ditumpuk akan menjadi banyak kan yah?”ujar Laily mencoba meluluhkan hati ayahnya.
Ayahnya berbalik dan tersenyum kepada Laily.
“Jangan merayu ayah. Ayah tidak marah kok. Leli sekarang sudah dewasa, leli tau mana yang baik mana yang tidak”
“Ayah, Leli ingin menikah”seru Laily yang membuat mata ayahnya melotot tak percaya.
“Tapi ayah yang carikan pria itu. Karena, jikalau ayah yang pilih pasti itu yang terbaik”lanjut Laily.
Senang di wajah ayahnya tak dapat di sembunyikan, ia langsung memeluk Laily dengan erat.
Hari mengembara jodoh pun dimulai. Tiap kali ayah Laily melihat pria yang menurutnya cocok dengan anaknya, ia pun mulai mendekatinya. Namun semua usaha itu, berakhir dengan penolakan Laily. Ayahnya sempat menyerah mencarikannya pasangan. Seperti apa pria yang di idam-idamkan oleh anaknya itu.
“Ayah sedang apa? “tanya Lila saat melihat ayahnya melihat foto pria-pria di situs-situs mencari pasangan.
“Mencari pasangan untuk kakakmu”Jawab ayahnya tanpa mengalihkan pandangannya dari tabletnya.
“Untuk apa dicarikan ayah, kakak itukan cantik, pintar, kaya pasti banyaklah yang suka dengannya terutama rekan-rekan kerjanya”
Ayahnya langsung duduk tegak saat mendengar kata-kata Lila, ia mengingat seseorang.
“Ya, ayah tau siapa orangnya”kata ayahnya girang.
Keesokan harinya, ayahnya pergi ke kantor tempat anaknya bekerja seraya membawa rantang di tangannya.
“Permisi, apa Lailynya ada? Saya ayahnya”tanyanya pada resepsionis.
“Ibu Laily ada di ruangannya pak, bapak lurus saja dari sini setelah itu belok kanan”
Ayahnya pun dengan sigap melangkahkan kakinya hingga tepatlah kakinya di depan pintu ruangan anaknya.
“Masuk”sahut Laily saat mendengar ketukan.
“Ayah, ayah kenapa kesini? “tanyanya heran.
“Ayah cuma mau ngantar makanmu, pasti belum makan siang kan? “
“Ayah, barusan Lel makan”kata Laily sedih.
“Ya sudah kalau begitu, ayah bawa pulang saja”ujar ayahnya tanpa memperlihatkan wajah sedihnya akibat makanannya di tolak oleh Laily
“Tunggu ayah, sini biar Lel makan” Laily pun mengambil rantang dari tangan ayahnya dan meletakkannya di mejanya.
“Ayah punya tujuan lain kan? “tanya Laily.
Ayahnya hanya tertawa cekikikan karena Laily mengetahui niatnya.
“Oh ada tamu, maaf mungkin kita bicara nanti saja”ujar pria yang baru saja masuk tiba-tiba.
“Tidak pak, perkenalkan dia Ayahku. Ayah, dia manajerku”kata Laily mencoba memperkenalkan keduanya. Keduanya pun berjabat tangan sambil memperkenalkan dirinya masing-masing.
“Nak Adha pasti belum makan kan? “tanya ayahnya.
“Bagaimana bapak bisa tau”kata Adha.
“Ya taulah. Ini bapak bawakan makanan untukmu”seru ayahnya yang kemudian mengambil rantang di meja kerja Laily.
Laily hanya terpelongo melihat kelakuan ayahnya. Ternyata ini rencananya, pikir Laily. Adha pun menerima dengan senang hati dan kemudian membawa rantang itu ke ruangannya.
“Katanya untuk Lel, kok di kasih ke Pak Adha? “
“Kan Leli tadi bilangnya sudah makan. Kalau sudah makan, maka kasihanilah orang yang belum makan hitung-hitung cari pahala”ujar ayahnya berkelit.
Laily hanya memicingkan matanya dan kemudian duduk di kursinya.
Jam menunjukkan angka 8, itu saatnya Laily harus pulang dari kantor setelah seharian full bekerja. Ia mengendarai mobilnya dengan santai seraya mendengarkan musik favoritnya. Tanpa disengaja, ia melihat adiknya berboncengan dengan seorang pria yang bisa dikatakan seumuran dengannya. Pria yang memboncengi adiknya itu mengantar Lila tepat di depan rumahnya. Lila tampak tertawa lepas saat pria itu menepuk-nepuk bahunya.
“O My God”seru Laily panik.
Laily pun mengurungkan niatnya untuk kembali ke rumah, ia lebih tertarik mengikuti pria tersebut.
“O My God, O My God. Oh ya, selama ini aku tak pernah melihat Lila jalan-jalan dengan wanita. Tidak, tidak, pria itu harus ku beri pelajaran. Berani-beraninya merusak masa depan adikku” gerutunya sambil mempercepat pergerakan mobilnya.
Disaat ada kesempatan, Laily langsung menghadang pria tersebut. Dengan sok beraninya, ia keluar dari mobil dan menghampiri pria bermotor besar itu. Pria itu dengan kesalnya melepaskan helmnya dan turun dari motornya. Melihat ekspresi kesal pria berkulit putih itu, Laily langsung mengurungkan niatnya dan mulai melangkah mundur.
“Jangan berani dekat-dekat”seru Laily.
“Ada apa dengan mobil anda? “tanyanya.
“Apa? Sa.. Sa.. Saya kesini mau bicara dengan anda”kata Laily gugup saat pria itu semakin mendekat.
“Bicara apa? Dan anda siapa? “
“Saya Kakak dari adik yang baru anda antar”terang Laily.
“Ohh…… Laily ya kan? Maafkan saya, perkenalkan saya Satya”ujarnya seraya mengulurkan tangannya.
Laily tidak serta merta mengulurkan tangannya dan Satya pun menarik tangannya dengan perasaan tidak enak.
“Ada hubungan apa anda dengan adik saya? “tanya Laily masih dengan nada ketus.
“Tak baik rasanya jika kita bicara ditempat seperti ini, ada baiknya kita bicara ditempat lain saja.
Laily menyetujuinya. Mereka pun berangkat menuju cafe terdekat dengan kendaraan masing-masing.
Laily hanya tersenyum mendengar penjelasan Satya. Ia binggung harus bagaimana, bisa-bisanya ia menuduh seseorang tanpa bukti. Pada akhirnya niat orang yang dituduhnya itu baik.
“Maafkan aku. Seharusnya aku tak menuduhmu”
“It’s Ok. Boleh ku panggil dengan Laily? “
“Leli. Orang terdekatku memanggilku Leli”kata Laily.
Mereka pun tertawa bersama-sama sambil menceritakan pengalaman-pengalaman di balik rutinitas mereka masing-masing. Hingga malam pun kian larut, dan perbincangan hangat mereka harus terhenti.
Keesokan paginya, Laily memergoki ayahnya memasukkan makanan yang telah ibunya siapkan ke dalam rantang. Sontak ayahnya kaget dan langsung salah tingkah saat ditatap oleh Laily.
“Untuk siapa ayah?”
“Ya, ya untuk Leli lah. Untuk siapa lagi”
“Leli cuti hari ini. Jadi kembalikan nasi beserta lauk pauknya ketempat semula ayah”ujar Laily lembut seraya tersenyum.
“Kok cuti? nanti jikalau manajermu membutuhkanmu bagaimana?”tanya ayahnya.
“Tidak akan”seru Laily yang kemudian meninggalkan ayahnya begitu saja.
Laily berlenggang ke arah kamar adiknya, terlihat adiknya masih terbungkus oleh selimut. Laily berusaha membangunkannya. Walaupun Lila sulit sekali untuk beranjak namun pada akhirnya ia menyerah.
“Jalan yuk! “Ajak Laily.
Lila mengkerutkan keningnya, tak percaya sepagi itu kakaknya mengajak ia jalan-jalan.
“Mau ngak? “tawar Laily lagi.
“Kemana dulu? “
“Cepat mandi! Nanti kau akan tau sendiri”
Lila pun beranjak mandi dan berbenah diri. Sedangkan Laily menunggunya diruang keluarga. Beberapa menit kemudian, pria yang baru beranjak dewasa itu pun keluar.
“Ayo! “ajak Lila.
“Mau kemana? “tanya ibunya yang juga duduk bersama Laily.
“Kami mau jalan-jalan ibu”
“Berdua saja? “tanya ibu lagi.
“Iya ibu. Kita berangkat dulu ya bu”
Mereka pun pergi meninggalkan ibunya. Mobil pun melaju. Keadaan dalam mobil tampak canggung. Bagaimana tidak sejak Laily kuliah hingga kerja mereka sudah jarang berkomunikasi. Namun, Laily berjanji pada dirinya akan mengembalikan kisah lama itu.
“Dek, kamu ada pacar gak sih? “
Lagi-lagi Lila memasang wajah kaget dan Laily pun mengulang pertanyaannya.
“Gak ada”sahut Lila pada akhirnya.
“Kok gak ada? “
“Siapa yang mau”
Laily hanya terdiam, binggung harus berkata apa lagi. Sehingga hanya terdengar bunyi alunan musik yang menjadi teman keheningan mereka. Tak berapa lama, mereka pun tiba di tempat yang ingin mereka tuju, Ancol.
“Ini tempat apa kak? “
“Pernah nonton TV kan? Inilah yang dinamakan Ancol”
Untuk kesekian kalinya, Lila memasang wajah kaget, tak percaya.
“Udah ah, jangan pasang wajah idiot”
“Sembarangan ngatain orang idiot. Cuma berdua aja main-mainnya?”
“Tentu saja tidak. Kita tunggu satu orang lagi”ujar Laily.
“Siapa? “
Laily hanya tersenyum seraya di elusnya pucuk kepala Lila. Mereka pun menunggu kedatangan tamu misterius itu. Seketika..
“Kak Satya! “panggil Lila dari kejauhan.
Satya pun berjalan ke arah mereka.
“Kak perkenalkan ini kakak Lila namanya Laily, tapi biasa dipanggil Leli”ujar Lila memperkenalkan kakaknya kepada Satya.
Satya dan Laily pun saling memperkenalkan diri, berlakon seperti orang yang baru berkenalan.
“Kak, orang yang kakak tunggu jadi ngak? “tanya Lila kepada Laily.
“Kayaknya gak jadi deh”kata Laily seraya melirik Satya.
“Ya udah, kita bertiga saja yang main kedalam. Kak Satya sendirian? “
“Ya, kakak sendiri”kata Satya.
“Apalagi sekarang, ayo kita masuk”ujar Lila bersemangat seraya menarik tangan Laily dan Satya.
Laily kembali melihat tawa lepas adiknya itu setelah sekian lama, ternyata hal kecil pun bisa membuatnya bahagia. Lila tampak senang bermain-main di sekitaran Ancol. Tak mau rugi, Lila mencoba segala permainan yang ada disana. Hingga matahari pun tepat di atas kepala, mereka pun berfikir untuk makan siang sejenak.
“Kak, nanti kita main kesini lagi ya”seru Lila girang.
“Iya, nanti kita ajak ayah dan ibu”
Seketika wajah Lila murung mendengar ucapan kakaknya itu. Mata Laily berdelik ke arah Satya, dan Satya langsung mengerti maksud Laily.
“Ada apa Lila? “tanya Satya.
Lila tak menjawab. Satya menanyakan kembali hal yang serupa.
“Ayah dan Ibu hanya sayang kakak”seru Lila. Laily sontak kaget mendengar penyataan adiknya itu.
“Mengapa kau berfikir begitu? “tanya Satya lagi.
“Maaf sebelumnya kak. Bukannya aku tak sayang kakak, aku sangat sayang kakak. Aku ingin sekali seperti kakak. Tapi ingat waktu kakak kuliah, semua kebutuhan kakak dengan segera dipenuhi oleh ayah dan ibu. Sedangkan aku harus menunggu satu tahun untuk lanjut SMA. Disitu Lila mulai merasa iri dengan kakak”
Seketika Lila menangis, Laily langsung memeluk adiknya itu dengan erat. Lila kembali merengkuh kakaknya itu.
“Lepaskan semuanya, jangan dipendam lagi”seru Laily yang juga mulai menangis namun masih dapat ditahan.
“Ayah, Ibu selalu memprioritaskan kakak. Mulai dari barang-barang hingga kasih sayangnya. Aku selalu di cap sebagai anak yang tak berguna”lanjut Lila.
Laily melepaskan pelukannya.
“Lila tau tidak, mengapa mereka begitu?”
Lila menggelengkan kepalanya.
“Mereka ingin Lila lebih sukses dari pada kakak. Mereka saat itu belum mampu membiayai kita berdua, sehingga mereka menaikkan derajat kakak dulu. Apabila kakak sudah bekerja, itu artinya Lila juga bisa lebih sukses dari kakak. Kakak akan membiayai sekolahmu hingga kuliahmu. Terkadang kita sebagai anak juga harus mengerti orang tua”
Lila mengangguk paham, ia mengusap pipinya yang basah.
“Sudah gede kan, laki-laki lagi. Jangan nangis”Goda Laily.
Tawa pun mengiringi mereka.
“Kak, Lila ingin kuliah”
Betapa bahagianya Laily dengan pernyataan Lila, ia langsung menyetujui keinginan adiknya itu.
“Aku ingin menjadi psikiater seperti kak Satya. Membantu orang dalam kesusahan”
“Tidak-tidak. Jikalau ingin menjadi psikiater, maka jadilah diri sendiri”ucap Satya.
Lila mengangguk setuju. Setelah menyantap makan siang, mereka pun melanjutkan permainan.
“Terima kasih”kata Laily kepada Satya.
“Bukan aku, tapi kamu. Aku hanya pemeran figuran disini, dan pemeran utamanya adalah kamu. Tanpa pemeran utama cerita ini tidak akan hidup”terang Satya.
Seketika Lila mendorong Laily dan Satya ke Kolam renang. Karena refleks, Laily panik seperti hendak tenggelam. Satya langsung menangkapnya dan mereka pun saling tukar pandangan.
“Ciee” sorakan Lila mengalihkan pandangan mereka.
“Lila!”pekik Laily.
Lila dan Satya hanya tertawa melihat Laily bergumam.
Langit kian menjingga, tiba saatnya untuk pulang. Mereka pun harus berpisah.
“Bukannya kakak bisa berenang ya? “tanya Lila saat kakaknya sedang bersenandung dengan lagu yang ia putar dimobilnya.
Laily hanya mengangguk tanpa menghentikan nyanyiannya.
“Lalu kenapa tadi pura-pura tenggelam? Pasti cari perhatian kak Satya ya? “goda Lila.
Mulut Laily langsung terkatup dan langsung melirik tajam ke adiknya itu.
“Jangan bohong”Goda Lila terus.
Laily tak menjawab apapun. Ia membesarkan volume musik agar adiknya itu berhenti meledeknya. Masa iya sih dia mencari perhatian pria yang baru ia kenal, pikirnya.
Tiba di rumah, Lila masih saja menggoda Laily. Laily tak menghiraukan adiknya itu, walaupun Lila terus saja berteriak mengoda Laily.
“Ada apa sih ribut-ribut? “tanya Ayahnya yang muncul tiba-tiba dari kamar.
Baca Juga: Harapan Dalam Impian Bagian 2
“Kakak sedang jatuh cinta! “seru Lila girang.
“Enggak kok yah, percaya sama Leli! “teriak Laily yang sudah berada di lantai dua rumahnya.
“Masa sih? Dengan siapa? “
“Masa bodohlah”kesal Laily yang kemudian pergi ke kamarnya.
“Kakakmu jatuh cinta sama siapa? “tanya ayahnya pelan ke Lila.
“Kak Satya! “
“Satya? Siapa Satya? “
“Hemb, dia seorang psikiater yah”terang Lila kemudian meninggalkan ayahnya begitu saja karena takut ayahnya akan banyak bertanya padanya.
Ayahnya hanya diam dan kemudian duduk di kursi yang tak jauh darinya. Ia berfikir keras, pria seperti apa yang dicintai anaknya itu. Aku harus mencari tau, pikirnya.
Makan malam pun tiba, kali itu suasana sangat berbeda. Lila tampak begitu girang, sedangkan Laily hanya diam.
“Ayah, Ibu. Tahun ini Lila ingin kuliah”
“Benarkah? Bagus dong kalau begitu”kata ayahnya datar.
Senyum sumringah Lila mulai pudar, ia melanjutkan makannya tanpa melanjutkan pembicaraannya lagi.
“Ayah, Laily ingin menikah tahun ini!, kalau bisa sebelum adik kuliah”seru Laily.
“Benarkah? Akhirnya doa ayah terjawab. Ayah akan carikan pasanganmu segera”seru ayahnya girang.
Laily dan Lila langsung bertukar pandangan, ada pandangan sedih di mata Laily dan ada pandangan penuh emosi di mata Lila. Lila langsung menghentakkan tangannya ke meja dan hendak pergi namun Laily menarik tangannya.
“Katakan! Jangan hanya diam! “perintah Laily.
Lila menarik nafasnya sejenak untuk meredam emosinya.
“Ayah, ibu. Aku tidak tau apa kesalahan terbesar yang pernah ku perbuat. Aku, aku selama ini selalu diam dan menuruti keinginan kalian. Sebagai anak bungsu, aku tak merasakan seperti anak bungsu yang kebanyakan anak bungsu rasakan. Aku bagaikan anak angkat disini. Maaf ayah, ibu. Aku sudah tak tahan lagi”katanya sambil menangis tersedu-sedu.
Ayahnya hampir hendak mengeluarkan kata-kata penuh emosinya, namun Laily langsung membungkam ayahnya itu.
“Sudah cukup ayah! Kami hanya ingin keadilan disini, kami tak ingin dibanding-bandingkan ayah. Laily dan Lila sangat menghormati ayah dan ibu. Tapi tak bisakah kalian merasakan perasaan kami sekali saja. Laily tau, kalian lebih tua dari kami. Bukan bermaksud untuk mengurui, tapi selama ini tak ada yang namanya keadilan, tak ada yang namanya keharmonisan. Laily melangkah sejauh ini, karena Laily ingin mengubah keadaan ini. Bukan hanya keadaan fisik saja tapi keadaan mental. Bisakah ayah, ibu? “terang Laily yang juga ikut menangis.
Bersambung…
Penulis: Riski Ramadhani