mimbaruntan.com, Untan – Sejak 1961, setiap tanggal 6 April selalu diperingati dengan Hari Nelayan Nasional. Tradisi turun temurun ini disimbolkan dengan pelarungan sesajen yang juga diiringi dengan tarian, sebagai bentuk rasa syukur atas kesejahteraan yang diberikan sembari harap agar hasil tangkapan nelayan semakin meningkat.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sekitar 62% luas wilayah Indonesia adalah laut dan perairan. Dengan bentang seperti ini sungguh masuk akal kalau kesejahteraan nelayan dapat terjamin, mengingat potensi alam sumber daya laut Indonesia yang sangat kaya. Nyatanya, di negeri ini nelayan menjadi salah satu profesi paling miskin. Pada tahun 2019 jumlah nelayan miskin mencapai 14,58 juta jiwa dimana angka ini menyumbang 25% dari kemiskinan nasional.
Baca Juga: Hari Peduli Autisme Sedunia: Dekap Anak Bersama Terapi Musik
Pola kerja nelayan yang homogen yaitu bergantung hanya pada satu sumber penghasilan ditambah ancaman perubahan iklim, menjadi persoalan yang membuat terpuruknya nelayan. Dengan keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka dituntut bersaing dengan kekuatan canggih armada nelayan asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal.
Film dokumenter “Surat Cinta Dari Pantura” produksi watchdog ini memaparkan fakta tersebut. Dalam durasi satu jam tiga menit empat puluh detik, film ini menyajikan realita yang harus ditelan masyarakat demi berjalannya Proyek Strategis Negara (PSN) yang melintasi Jalur Pantai Utara atau Pantura. Salah satunya cerita dari nelayan udang rebon, Mistra.
Baca Juga: Konsep Feminisasi Alam, Salah Kaprah?
Setiap harinya, Mistra dapat menangkap 50 – 60 kg udang rebon yang selanjutnya diolah untuk dijadikan terasi. Namun, sejak berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu I yang berbatasan langsung dengan pesisir pantai utara pulau Jawa, tangkapan Mistra merosot menjadi 15 – 20 kg per hari. Mengantongi penghargaan Proper Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2019, ternyata bukan jaminan PLTU ini bersih dari tindakan pencemaran lingkungan.
Temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa barat yaitu berupa limbah batu bara yang keluar dari PLTU Indramayu I ini, mencemari ekosistem laut dan sumber air para nelayan. Dari pemantauan kualitas air laut, ditemukan empat logam berat yang memiliki kadar racun yang tinggi. Seperti kadmium, timbal, tembaga dan seng dengan kadar yang jauh di atas baku mutu air laut yang ditetapkan dalam keputusan KLH.
Mistra adalah satu dari sekian banyaknya nelayan di Indonesia dengan potret yang kelam, kebijakan pembangunan yang selama ini tidak memperhatikan sektor kelautan dan perikanan akan selalu mengiris harapan masa depan mereka. Walhasil, nelayan akan selalu menjadi komunitas terpinggirkan yang akan terus berputar dalam lingkaran kemiskinan. Maka sejatinya perayaan Hari Nelayan Nasional kini tak lagi soal wujud rasa syukur, Hari Nelayan Nasional menjadi momentum untuk mengingatkan kita atas hilangnya kesejahteraan yang telah direnggut dari nelayan.
Penulis: Alifiyah Ajeng Nurardita
sumber :
- Miskin Di Laut Yang Kaya: Nelayan Indonesia Dan Kemiskinan – Dr. Zakariya Anwar, M.Si dan Wahyuni, S.Sos., M.Si
- https://youtu.be/c2eHGiPqNNg?si=V7f1wMkf8cdgtvHn
- https://environment-indonesia.com/articles/pltu-indramayu-ini-kandungan-logam-pencemar-laut-yang-ditemukan/
- https://www.unpad.ac.id/2020/09/menjadi-profesi-termiskin-di-indonesia-benarkah-nelayan-tidak-bisa-bahagia-dengan-profesinya/
- https://web.pln.co.id/cms/media/siaran-pers/2020/01/mengenal-pltu-indramayu-pembangkit-di-sisi-timur-jawa-barat/
- https://indonesiabaik.id/infografis/infografis-indonesia-kaya-potensi-kelautan-dan-perikanan