Hope merupakan satu di antara banyak film yang berangkat dari kisah nyata. Film tahun 2013 yang mengusung tema kejahatan seksual terhadap anak ini patut diajungi jempol. Lee Joon-ik selaku sutradara memang tidak perlu diragukan lagi melihat dari karya-karya sebelumnya.
Kisah ini dimulai dengan potret keluarga sederhana yang berusaha melakukan perannya masing-masing. Keluarga lengkap yang terdiri atas ayah, ibu, dan seorang putri manis berumur 8 tahun diberi nama Im so-won yang berarti harapan dalam bahasa korea. Sang ayah, Im Dong-hoon bekerja sebagai seorang buruh pabrik sedangkan Kim Mi-hee, sang ibu bekerja dengan mengelola toko kelontong milik keluarga kecil mereka.
Kehidupan mereka layaknya keluarga biasa pada umumnya, Dong-hoon maupun Mi-hee yang akan selalu sibuk untuk mencari penghidupan bagi keluarga dan So-won yang akan mengerti kedua orang tuanya. Namun semuanya seolah berakhir dan hancur sejak hari itu.
Baca juga Capharnaum : Kegilaan di Tanah Lebanon
Hari dimana keparat itu menghancurkan setiap hati dan nadi. Hari dimana so-won harus merasakan kejamnya dunia di umurnya yang masih terbilang sangat belia. So-won yang awalnya selalu lantang mengatai sahabat laki-lakinya, young seek dengan candaan seolah ditelan bumi dan menghilang. Karena sejak kejadian itu so-won benar-benar diambang batas seorang anak berumur 8 tahun dalam menghadapi keadaan.
Walaupun begitu, so-won adalah tipikal anak mandiri dan dewasa untuk anak seusianya. Bahkan hal pertama yang ia tanyakan kepada sang ayah saat siuman dari masa kritis adalah
“ Bagaimana dengan pekerjaan ayah (jika ayah ada di sini)?”
Jangankan Dong-hoon, hati mana yang tidak sesak seketika saat adegan itu muncul. OH ayolah, anak umur 8 tahun mana yang pasca siuman menanyakan kesibukan ayahnya seperti itu. Well, so-won memang anak yang luar biasa.
Adegan lain yang disuguhi pun akan menggambarkan betapa tragis dan malang keadaan korban serta keluarga dari waktu ke waktu. Seperti yang kita ketahui bersama korban kekerasan/pelecehan seksual apalagi terhadap anak pasti akan membekas secara fisik maupun psikis. Di sini jugalah, konflik mulai kembali memanas dari so-won yang mulai menunjukan ketakutan akan laki-laki bahkan terhadap sang ayah, pernyataan pelaku yang hanya kebohongan belaka sampai putusan pengadilan yang dirasa tidak adil.
Namun scene yang paling menusuk adalah saat so-won sedang melakukan terapi. Dimana sang terapis menanyakan banyak hal dan so-won melontarkan kalimat retoris,
“mengapa aku dilahirkan?”
Dari beribu hal yang bisa saja dilontarkan kenapa harus itu, bayangkan saja seorang gadis kecil berumur 8 tahun mengatakan hal semenyakitkan itu.
Baca juga : Mengubah Stigma Terhadap Wanita Melalui Film Kim Ji-Young, Born 1982
Untuk sinematografi film ini juga sudah memuaskan bagi orang awam seperti kami, karena sudah mampu menyampaikan pesan dengan baik tanpa kesan terburu-buru.
Satu hal yang pasti dalam film ini, banyak konflik batin yang akan kita rasakan di setiap menitnya, emosi kita seolah diajak untuk sadar bahwa sekitar kita tidak selalu baik-baik saja. Jadi selamat menonton dan rasakan sendiri sensasinya.
Buat kalian di luar sana yang sedang tidak baik-baik saja, datanglah dan bicara kemana pun kalian merasa aman dan dipercaya. Harapan sekecil apapun sangat berarti dan keberadaan kalian sangat berharga. Stay healthy dan sane.
Karena kelahiran kalian adalah anugerah.
Penulis : Peggy Dania dan Ester Dwilyanas