Percampuran darah Sunda dan Minang telah melahirkan seorang anak di Anyar Kidul, Banten pada 28 Februari 1911. Keturunan aristokrat Banten ini lahir dalam keluarga yang religius. Namanya adalah Syafruddin Prawiranegara. Banyak perintis dan pejuang kemerdekaan lahir dari kaum priyayi. Namun siapa yang menyangka nantinya dia akan hidup di antara dua kutub berseberangan. Pejuang dan pemberontak.
Sebagai anak dari Asisten Wedana, ia memperoleh pendidikan yang baik. Sampai waktu kuliah, ia mengambil jurusan sosial ekonomi. Kuliahnya di Rechtshogeschool (RHS) selesai tahun 1936.
Syafruddin Prawiranegara memahami dan mengamati soal-soal kemasyarakatan, termasuk kegiatan pergerakan nasional melalui surat kabar, majalah dan buku saat kuliah di RHS. Ia termasuk golongan kooperatif dan menganggap perjuangan kemerdekaan Indonesia harus ditempuh melalui kerjasama dengan pihak Hindia Belanda.
Ajip Rosidi dalam Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah Swt (2011) mencatat, lambat laun Syafruddin sadar bahwa Belanda enggan memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Perlu pergerakan untuk mencapai tujuan itu. Temannya di Paguyuban Pasundan seperti Otto Iskandar Dinata dan Ukar Bratakususma adalah tempat berdiskusi tentang pergerakan. Juga di kelompok bawah tanah, ia berteman dengan Sutan Syahrir. Begitulah Syafruddin dimasa mudanya.
Saat masa revolusi, paham yang cocok untuk pedoman menurut Syafruddin ialah sosialis-religius. Seperti tertulis dalam buku Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 (2000) karya Deliar Noer, dasar sosialisme itu disandarkan pada kewajiban manusia terhadap Tuhan. Saat ada gerakan nasionalisme usaha-usaha milik asing di Indonesia di awal kemerdekaan, bagi sosialis-religiusnya Syafruddin, nasionalisasi alat produksi bukan tujuan akhir, melainkan suatu alat atau cara mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.
Peran Syafruddin Prawiranegara pasca kemerdekaan dimulai saat ia menjadi Menteri Keuangan masa Kabinet Sjahrir III tahun 1946. Di masa itulah lahir Oeang Republik Indonesia (ORI) yang secra resmi keluar pada 30 Oktober 1946. ORI mencerminkan eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara. Pada kabinet Hatta tahun 1948, ia kembali dipercaya menjadi Menteri Kemakmuran.
Menjaga Eksistensi Republik Indonesia
Penyerangan lapangan terbang Maguwo Yogyakarta yang sekarang menjadi Bandara Internasional Adisucipto, pada 19 Desember 1948 menandai dimulainya Agresi Militer II. Agresi itu berhasil menahan Soekarno, Hatta, Sjahrir dan pemimpin lain yang saat itu berada di Yogyakarta.
Pertik Matanasi dalam artikelnya di Tirto.id (19 Desember 2017) menuliskan, sebelum ditawan, Sukarno mengadakan rapat di Istana, Yogyakarta. Sukarno berencana untuk memindahkan sementara pemerintahan Sumatera.
Wakil Presiden Hatta, Menteri Johannes Leimena, Laksmana Soerjadi Soerjadarma, dan beberapa pejabat lain yang hadir menyetujui, karena Yogyakarta sebagai ibukota negara waktu itu sudah dikuasai militer Belanda. Menteri Kemakmuran, Syafruddin Prawiranegara yang saat itu sedang bertugas di Sumatera dinilai sebagai orang yang bisa dipercaya dalam memimpin pemerintahan darurat ini.
Namun ada rencana kedua kalau-kalau pemerintahan darurat di Sumatera ini tidak bisa dilaksanakan. Menteri Luar Negeri Indonesia masa itu, A.A. Maramis yang sedang di New Delhi dikirimi telegram dari Yogyakarta untuk mendirikan perwakilan pemerintahan Indonesia di India.
Mestika Zed (2010) dalam makalahnya, PDRI Sebagai Sumber Pembelajaran TT Hari Belanegara: Refleksi dan Tindakan, Syafruddiddin Prawiranegara, dengan sigap menanggapi krisis lewat itu lewat rapat darurat sore hari tanggal 19 Desember 1948. Beberapa jam setelah sidang kabinet di Yogya. Rapat darurat di Bukittinggi itu menelurkan gagasan lahirnya PDRI.
Saat dalam perjalanan mengungsi, meninggalkan Kota Bukittinggi tanggal 21 Desember, Syafruddin dan rombongan singgah semalam di Halaban, sebuah nagari di lereng Gunung Sago, sekitar 13 km dari Kota Payakumbuh. Tanggal 22 Desember, saat hari masih subuh, Kabinet PDRI disusun. Hari itulah yang ditandai sebagai hari berdirinya PDRI. Dengan begitu, vakum kepemimpinan Republik, segera dapat diisi, dan eksistensi Republik secara berangsur-angsur dapat dipulihkan kembali. Sayfruddin Prawiranegara menjadi pemimpin PDRI merangkap Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan.
Audrey R. Kahin (2005) dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, PDRI merupakan simbol nasional dan faktor pemersatu. Khusunya bagi pasukan yang sedang bergerilya di wilayah-wilayah Indonesia. Pemerintahan Syafruddin diakui oleh Jenderal Sudirman yang saat itu membawahi tentara di seluruh Indonesia. PDRI menurut Jenderal Besar itu adalah pengganti yang sah pemerintahan Soekarno – Hatta.
PDRI memainkan peranan penting untuk menjaga eksistensi Republik Indonesia dan memastikan bahwa perlawanan terhadap Belanda tetap di bawah pemerintahan yang sah dan diakui oleh kaum republik. Setelah memimpin PDRI selam 209 hari, tanggal 13 Juli 1949 Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat kepada Soekarno.
Beberapa tahun setelah Indonesia benar-benar merdeka dan Belanda hengkang, terjadi gejolak di berbagai daerah. Gejolak ini ada karena ketidakpuasan daerah yang menilai pemerintahan pusat terlalu sentralistik dalam urusan birokrasi dan ekonomi. Hingga lahirlah Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) tahun 1957 di Sulawesi dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958 di Sumatera.
Syafruddin Prawiranegara menjadi Perdana Menteri PRRI. Dari PDRI tahun 1948, Syafruddin Prawiranegara dicap sebagai pahalawan yang menjaga eksistensi Indonesia,. Sepuluh tahun kemudian cap itu berganti menjadi pemberontak. Nasib baik pentolan PRRI diberikan ampunan.
Masa Senja
Iswara N. Raditya dalam artikelnya di Tirto.id (15 Februari 2018) menuliskan bahwa setelah itu Syafruddin Prawiranegara meninggalkan jalur politik dan lebih memilih berdakwah. Setelah Soekarno tumbang dan berganti Orde Baru, ia menjadi ketua Korps Mubalig Indonesia (KMI).
Syafruddin Prawiranegara aktif mengamati dan mengkritik kebijakan kebijakan dimasa pemerintahan Soeharto. Pada 15 Februari 1989 di Jakarta, berakhir perjalanan hidup Syafruddin Prawiranegara. Sosok yang dianggap berdiri di dua kutub sekaligus semasa hidupnya, pejuang dan pahlawan.
Pejuang dan pemberontak hanya tentang penialian siapa yang berkuasa dan siapa yang menulis sejarah. Namun bagi penulis, Syafruddin Prawiranegara tetap seorang pejuang. Juga dimata negara, stigma pemberontak tak terlalu berpengaruh pada kenangan perjuangannya. Pada 7 November 2011, melalui Keppres No. 113/TK/2011, Syafruddin Prawiranegara diberi gelar pahlawan nasional.
Penulis: Aris Munandar