Pagi ini aku bersenandung kecil menikmati hari yang dingin. Di salah satu sudut ruangan kuperdengarkan alunan radio tua peninggalan Ayah. Di balik jendela rapuh juga aku menebarkan pandangan nanar kepada sang semesta. Tentang aku yang tak seberuntung orang kebanyakan dan tentang aku yang tak pernah dianggap baik-baik saja.
….
Jelita, panggilan akrab sang gadis bermata coklat. Kehadirannya di dunia 16 tahun yang lalu dianggap malapetaka bagi semua orang yang mendengar ceritanya. Sang Ibu dianggap gila dan memilih pamit dari dunia dengan cara yang tak biasa, yakni terjun dari ketinggian. Namun sang Ayah berbeda. Ayah Jelita baik-baik saja sampai Jelita berusia 14 tahun. Hingga pada waktunya, kehadiran Ayah Jelita juga direnggut paksa oleh Sang Pencipta karena penyakit yang dideritanya.
Benar, kata ‘malang’ tentu adalah kata yang tepat menggambarkan sosok Jelita. Diusianya yang masih sangat muda, Jelita harus tahan menghadapi segala kenyataan yang menyakitkan. Sang kakak, Rina, sudah tak ambil pusing dengan segala beban yang dihinggapi Jelita. Karena hanya 1 tujuan hidup Rina untuk menguasai harta berlimpah milik sang Ayah. Ini yang menyebabkan Jelita tak lagi merasa miliki seorang kakak. Karena baginya, Rina hanya orang asing. Begitupun Rina yang menganggap Jelita telah tiada.
….
Dua hari munuju ulang tahun Jelita yang ke-17 menjadi ketakutan tersendiri baginya untuk melanjutkan hidup. Karena seingat Jelita, setelah ia berusia 17 tahun akan ada penurunan warisan dari sang Ayah kepada kedua putrinya. Mungkin bagi Rina ini adalah hari yang berbahagia, namun tidak dengan Jelita. Jelita mengerti, ia akan segera diusir dari rumah masa kecilnya oleh sang Kakak. Tentu saja karena Jelita adalah sama dari sang Ibu yang dianggap bukan manusia berakal. Padahal, Jelita paham ia baik-baik saja dan sangat berakal. Hanya saja sifatnya yang membenci keramaian, membuatnya harus bertahan disetiap tuduhan orang-orang yang mengaku berakal.
Baca Juga: Amru
….
Tok…Tok…Tok
“Permisi, Non Jelita. Sarapan sudah siap. Mbak Rina meminta Non segera turun.” Senandung kecil Jelita terhenti tanpa menoleh sedikitpun ke arah suara. Ia tahu akan ada pembicaraan serius antaranya dan Rina pada waktu sarapan kali ini. Karena dapat ia hitung secara pasti setelah sang Ayah tiada, ini adalah kali ketiga ia sarapan bersama Rina.
“Baik Bi, saya segera turun.” Jelita tersenyum beranjak dari kursi tua milik sang Ibu. Tatapan hangat dari Jelita terpancar cerah bersama mentari yang menyinari pagi. Bi Asih selaku pengasuh Jelita, tak lain tersenyum menatap sayang kepada Jelita yang sepanjang hidup telah menyendiri.
Langkah Jelita terasa ringan menuju ruang makan keluarga. Rina rupanya lebih dahulu menyantap sarapan. Kehadiran Jelita yang begitu tanpa beban menghentikan seluruh perhatian Rina kepada makanan. Rina membenci Jelita, sama halnya Rina membenci Ibunya yang hilang kewarasan dan menyebabkan Rina sangat sulit menjalani kehidupan. Rina tak membayangkan jika ia harus terus bersama gadis kecil dan aneh satu ini. Karena bagaimanapun, ia akan menikah dan tentu akan sulit bila seluruh keluarga kekasihnya mengetahui keberadaan Jelita di rumah ini.
“Karena anak kecil Ibu sudah datang, bagaimana jika kita langsung saja pembicaraannya?” Rina menatap tajam kearah Jelita yang baru saja tiba di meja makan.
Jelita yang tampak menatap kosong makanan yang ada dihadapan, hanya diam menunggu Rina melanjutkan.
“Besok adalah hari penurunan warisan dari Ayah dan seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Begitu warisan telah diberikan, maka begitu pula kau harus segera pergi dari rumah ini.”
Bi Asih yang membantu Jelita menyiapkan sarapan begitu terkejut dengan apa yang telah dikatakan Rina. Tapi, Jelita hanya termenung tanpa memperdulikan. Kehadiran Jelita disini hanya untuk mendengarkan dan tidak untuk memberi pernyataan.
“Untuk itu, kau sudah harus bersiap. Esok malam kau sudah harus bergegas. Hidup di rumah bersama orang mati sepertimu tentu juga tak sehat bagiku, kan?” Tawa Rina berderai. Namun, sekali lagi Jelita tak berkutik dan dengan baiknya Jelita menyantap sarapan tanpa memperdulikan seluruh ucapan Rina.
Rina yang mengerti sudah dengan segala sandiwara Jelita, hanya tersenyum menang memastikan bahwa esok tak ada lagi Jelita yang mengganggu.
….
Seusai sarapan yang menjengkelkan bersama Rina. Jelita memutuskan untuk mengurung diri. Ucapan Rina mengenai Jelita yang diibaratkan orang mati, tidak salah. Dapat Jelita pastikan begitulah anggapan semua orang yang menatap, tidak terkecuali sang kakak. Terlebih, ketika semua orang tersebut menyamakan Jelita dengan sang Ibu yang telah tiada dan dianggap gila di sepanjang hidupnya.
Namun, Tuhan berkata lain. Jelita tidaklah gila seperti ucap orang kebanyakan. Jelita hanya merasa asing begitu ia terbangun dari tidurnya. Kebingungan menjadi kebiasaan dan tangis juga melekat begitu Jelita tengah dilanda kerinduan. Malam bagi Jelita adalah caranya memaknai kehidupan. Merasa asing juga sepi tak pernah ia keluhkan. Bahkan ketika anak seusianya sedang dimabuk asmara, Jelita tetap diam melawan perbedaan.
“Kemasi barangmu dan segera tinggalkan rumah.” Pekik Rina menyadarkan lamunan Jelita dari luar kamar. Jelita sungguh tak ingin beranjak, namun ia tiada kuasa untuk memberontak. Iya, sudah saatnya pikir Jelita untuk pergi dari sini. Jelita tahu bahwa tak selamanya ia akan berlindung dan tak pasti pula ia akan terus menahan.
Baca Juga: Sebuah Resiko 2
….
2 jam setelahnya…
(Benar, Jelita bersiap meninggalkan rumah)
….
“Akhirnya, aku bisa sebahagia ini.” Ucap terakhir Jelita meratapi semesta.
Brukkk…
(Jelita memilih pamit undur diri. Bi Asih yang sedaritadi memanggil, tak jua membuat Jelita segera sadarkan diri)
Jelita tak menyangka bahwa di rumah inilah ia harus berserah diri, menemui Ayah dan Ibu yang lebih dahulu berpulang menghadap sang Pencipta. Jelita juga sama terkejutnya ketika yang ia lakukan adalah terjun dari ketinggian dengan alasan tak kuat menelan pahitnya kenyataan. Sama halnya dengan yang Ibu lakukan, Jelita melangkah tak karuan menuju balkon utama, lalu melompat kegirangan menghadap kematian.
Ia mengira ia berbeda. Ia berpikir bahwa ia baik-baik saja. Tapi, tampaknya Tuhan telah menunjukkan arti kekuasaan. Apa yang Jelita pikirkan, rupanya bertentangan dengan segala ketetapan. Kesendirian nyatanya tak dapat dapat membawanya hidup dalam kedamaian. Seperti ada yang memaksa untuk berhenti, Jelita pun memilih untuk segera mengakhiri. Padahal, ia telah bersiap diri mengubah takdir, namun kewarasannya tetap tak mempengaruhi suasana hati. Sehingga pada akhirnya, Jelita memilih jalan yang tak biasa, yakni menambah keyakinan orang kebanyakan tentang ia yang juga hilang kewarasan.
Penulis: Rahma Ning Tyas