mimbaruntan.com, Untan – Matahari mulai condong ke barat ketika sebuah perahu berhenti di Danau Lindung Selogan, Desa Ujung Said, Rabu (24/1/2018). Kondisi danau teduh, tak ada riak yang berarti. Hanya tunggul-tunggul pohon sisa kebakaran hutan yang berdiri tegak. Tunggul pohon kawi (Shorea belangeran) misalnya, selaksa prasasti yang selalu mengingatkan bahaya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Di antara tunggul-tunggul pohon yang hangus ini justru tumbuh banyak kayu taun (Carallia bracteaca) sebagai salah satu tanaman pakan lebah(Apis dorsata). Pada pohon inilah biasanya para periau (petani madu) memasang tikung atau dahan buatan dari sebilah kayu yang sudah mati sebagai tempat lebahbersarang.
Arifin (38), salah satu petani madu mengakui bahwa kayu taun ini tumbuh dengan sendirinya. “Orang bilang, mati satu tumbuh seribu,” katanya menjelaskan riwayat singkat kayu taun itu.
Saat ini madu menjadi salah satu komoditas unggulan di Desa Penepian Raya dan Ujung Said, Kecamatan Jongkong, Kapuas Hulu. Desa yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas ini merupakan salah satu sub-sentra madu hutan Kapuas Hulu. Para petani madu berhimpun dalam Asosiasi Periau Mitra Penepian (APMP).
Asosiasi ini juga merangkul tujuh kelompok periau dari dua desa dengan total 132 anggota, belum termasuk anggota yang bergabung pada tahun 2016 dan 2017. Tujuh kelompok periau itu ialah Periau Sungai Penepian, Danau Tang, Tanah Adan, Silat, Semubung, Miman dan Udang. “Anggota periau setiap tahunnya mengalami peningkatan, minat mereka lebih tinggi dari tahun-tahun yang lalu,” kata Arifin yang juga Ketua APMP.
Produksi madu di sub-sentra ini dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada 2016 hasil panen mencapai sembilan ton lebih. Selanjutnya, pada 2017 meningkat menjadi 12 ton lebih. Harganya mencapaiRp140 ribu perkilogram.
Manfaat menjadi petani madu turut dirasakan Husin (44). Menurutnya, selain menjadi nelayan, bekerja sebagai periaumampu membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup. “Alhamdulillah, dari dua pekerjaan ini, bisa meningkatkan kesejahteraan keluarga. Ya bisa dibilang mencukupi,” ungkap pria yang juga sebagai bendahara nelayan ini.
Ancaman Karhutla
Cukup lama perahu kami berhenti di zona lindung yang dekat dengan Danau Semubung. “Disana itu juga terbakar.” Dari atas perahuArifin menunjuk ke arah bentang kawasan yang pernah terjadi kebakaran. Nun disana, tampak pohon-pohon yang belum begitu menjulang berjejer dengan rapat. Kawasantersebut merupakan zona rehabilitasi bekas terbakar.
Karhutla pernah melanda sebagian wilayah danau pada 2012.Arifin menjelaskan, karhutla terjadi lantaran adanya faktor kesengajaan oleh warga kampung tetangga. “Mereka dari desa tetangga sering turun kesini meracuni ikan di Danau Selogan. Mereka menebar racun. Ketika ditegur, warga itu melawan dengan cara membakar hutan,” jelasnya.
Pria yang telah menjadi petani madu sejak 1992 ini mengenang, setelah kasus kebakaran itu, para pelaku dari desa tetangga diberikan peringatan oleh pemerintah kabupaten. Bentuk ancamannya adalah ADDtidak dikeluarkan jika ada desa yang bermasalah.
Selain itu, wilayah kerja APMP juga pernah menerima kiriman asap akibatKarhutla. “Tahun 2013 kita gagal panen. Waktu itu bukan kebakaran disini, tapi asapnya nyebar kesini,” jelasnya.
Hingga saat ini karhutla dirasa masih menjadi ancaman bagi periau.Alasannya, kebakaran dapat memusnahkan tanaman pakan lebah danasap yang ditimbulkan dari kebakaran menyebabkan lebah menghindar dari sarangnya.Kondisi terburuk adalah gagal panen.Namun setiap tahunnya, ancaman karhutla semakin menurun.
Berdasarkan peta sebaran bekas kebakaran hutan, ada empat sub-sentra madu Kapuas Hulu yang terdapat area bekas terbakar sepanjang 2013-2014. Empat sub-sentra tersebut merupakan wilayah kerja dari Kelompok Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS), Asosiasi Periau Bunut Singkar (APBS), Asosiasi Periau Muara Belitung (APMB) dan APMP. Untuk wilayah kerja APMP sendiri, luasan kebakaran pada 2013 mencapai 105 hektar. Sedangkan pada 2014 tidak ada luasan daerah yang terbakar atau sama dengan nol hektar.
Berdasarkan peta sebaran titik api dan potensi kebakaran hutan mencakup lima sub-sentra madu hutan. Sub-sentra tersebut diantaranya APDS, APBS, APMB, APMP dan Asosiasi Periau Nanga Lauk (APNL). Kelima asosiasi ini merupakan penerima manfaat proyek Kemakmuran Hijau, Millenial Challenge Account Indonesia (MCA-I) melalui Konsorsium Dian Tama.Di wilayah kerja APMP yang menaungi kelompok periau Desa Penepian Raya dan Ujung Said, terdapat 30 titik api.
Kesadaran Masyarakat
Desa Penepian Raya mekar dari Desa Ujung Said pada tahun 2012. Meski berbeda dalam hal administratif namun soal menjaga, merawat dan mengelola sumber daya alam demi kemaslahatan bersama tetap dilakukan secara beriringan. Sungai Kapuas yang mengalir abadi menjadi tumpuan kehidupan masyarakat yang bermukim di sempadan sungai ini.
Kami tim jurnalis yang difasilitasi MCA-I melalui Konsorsium Dian Tama berkesempatan berada di desa ini selama tiga hari. Disana kami sempat mengubah agenda yang sebelumnya telah direncanakan. Beberapa kali hujan mengguyur daerah ini. Sungai Kapuas meluap. Airnya mengisi setiap lorong sungai, danau, dan merendam hutan rawa gambut.
Pasang surut Sungai Kapuas memberi ritme bagi kehidupan masyarakat. Musim kemarau, merupakan kesempatan para nelayan panen ikan. Namun datangnya musim kemarau juga memberi ancaman bagi periau. Bagaimana tidak,karhutla rawan terjadi serta kiriman asap dari wilayah lain. Di wilayah kerja APMP terdapat 30 hotspot. Lahan pada kawasan ini pun merupakan rawa gambut yang rentan terbakar saat kemarau.
“Di musim kemarau kami melakukan patrolirutin. Kalau ada kebakaran hutan yang tidak disengaja, kami langsung tangani dan menyebar imbauan. Istilahnya ada juga kayak pengumuman, membakar hutan sembarangan akan ditangkap dan dihukum adat,” kata Husin yang juga Ketua Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas).
Hal senada dikatakan Arifin, Ketua APMP. Pada musim kemarau, saat rawan kebakaran, patroli yang dilakukan masyarakat atau periaulebih intens dan meningkat. Soal alat pemadam kebakaran,pihaknya sudah memiliki mesin pemadam bantuan dari dinas kehutanan.MCA-I juga memberi bantuan berupa mesin pemadam kebakaran dan alat komunikasi. Alat ini berupa Handy Talky (HT) yang dapat digunakan saat berpatroli.
“Di tempat kita tidak ada yang buka lahan dengan dibakar. Tidak ada yang membakar hutan dengan sembarangan. Warga sangat sayang dengan hutannya. Karena di hutanlah tempat untuk memasang tikung.”
Aturan menjaga lingkungan juga tertuang dalam Peraturan Hukum Adat Petani Lebah Desa Penepian Raya dan Ujung Said 2007-2014.Bagi orang umum atau periau dilarang menebang dan membakar kayu di wilayah periau.
Selain itu, dengan adanya penetapan hutan desa oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2014 dan izin hak kelola dari gubernur Kalbar semakin memperkukuh danau lindung yang tidak mengering saat kemarau ini dan memperkuat pemerintah desa beserta masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan.
Sama halnya dengan APMP, sub-sentra APBS Kecamatan Bunut Hilir juga membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga hutan. Rizal, Community Organizer (CO) APBS mengatakan, potensi kebakaran di wilayah kerja terbilang tinggi. Pasalnya, di kawasan tersebut merupakan lahan gambut.“Kita perlu pelatihan khusus dalam hal penjagaan. Kita berdomisili jauh, sinyal juga susah,” katanya.
Selama ini, kata Rizal, pihak APBS didampingi project Konsorsium Dian Tama telah melakukan beberapa upaya dalam bentuk patroli oleh kelompok-kelompok. “Namun, itu lebih ke arah bagaimana kelompok sebagai garis terdepan bisa menangani kebakaran,” katanya, Jumat (26/1).
Selain itu, periau juga melakukan pengayaan pakan lebah. Hal ini dilakukan untuk memperkaya jenis bunga. Penanaman ini dilaksanakan di kawasan yang pernah terbakar dan wilayah yang kekurangan pakan lebah.
Terkait pencegahan karhutla, Thomas Irawan Sihombing selaku Project Manager Konsorsium Dian Tama angkat bicara. Menurutnya masyarakatlah yang lebih memahami kondisi di daerahnya masing-masing. Mereka juga yang punya inisiatif dan berperan dalam mengatasi kebakaran.
“Mereka berkepentingan dengan itu. Kalau ada asap tidak ada madu. Jadi mereka jaga supaya jangan ada asap. Kita tidak ada menyuruh ini dan itu. Tidak ada sama sekali. Kalau mereka bilang kami susah, maka dibantulah peralatan, pompa, dan sebagainya. Tapi inisiatif tetap dari warga,” jelasnya.
Penulis: A.Rahman
Editor : Umi Tartilawati