mimbaruntan.com, Untan – Sejak lima tahun terakhir, Universitas Tanjungpura (Untan) telah menyandang status Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) setelah menerima mandat berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 830/KMK.05/2017. Menjadi PTN BLU artinya Untan mendapatkan keleluasaan dalam pengelolaan Penerimaan Negara Non Pajak (PNBP) baik yang berasal dari mahasiswa, masyarakat, pengelolaan aset serta sumber lain tanpa harus disetorkan ke kas negara. Untan memiliki hak otonomi dalam memberikan pelayanan berupa penyediaan barang maupun jasa untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan tujuan PTN BLU pada awalnya. Namun, hal tersebut tentu tak cukup bagi Universitas Tanjungpura, sebab ada satu level lagi yang kemudian harus ditapaki, yaitu status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Sebuah status yang melepaskan segala bentuk kekangan dari pemerintah pusat terhadap pengambilan keputusan bagi Untan.
Dilansir dari untan.ac.id, Kemendikbud Ristek RI mendorong Untan bertransformasi menjadi PTN-BH pada tahun 2024 mendatang. Selain itu, Untan juga telah melakukan kunjungan ke berbagai universitas yang telah lama menjadi PTN-BH, salah satunya Universitas Negeri Padang (UNP) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai upaya menjalin kerja sama dan mempelajari hal-hal terkait persiapan menuju PTN-BH. Perubahan ini kemudian jelas didukung melalui visi misi Garuda Wiko yang kembali terpilih menjadi Rektor Untan pada masa kepemimpinan 2023-2027.
“Visi yang saya tawarkan tentu tidak terlepas dari visi Kemendikbud Ristekdikti, kemudian turun ke visi Untan dan untuk melaksanakan kedua visi ini maka saya menawarkan visi memperkuat ekosistem inovasi dan kolaborasi, mewujudkan Untan yang berdaya saing menuju World Class University,” ungkap Garuda Wiko pada kegiatan penyampaian visi, misi dan program kerja bakal calon Rektor Untan, Januari 2023 lalu.
Pada misinya yang ketiga, Garuda menyebutkan bahwa akan meningkatkan tata kelola dalam peningkatan kualitas organisasi dan Sumber Daya Manusia (SDM) sarana dan prasarana, teknologi, dan keuangan yang mendukung implementasi Pengelolaan Keuangan (PK) BLU menuju PTN-BH.
“Kita akan bergeser kembali dari bentuk Satuan Kerja (Satker) ke BLU, kemudian akan menjadi PTN-BH. Dalam analitik PTN-BH, Untan sudah mencapai skor 306 sampai pada hari ini. Untuk menuju PTN-BH, ada tiga penilaian yang harus dipenuhi, yaitu penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi yang bermutu 30%, penyelenggaraan organisasi berdasarkan prinsip tata kelola yang baik 40% dan kelayakan finansial sebesar 40%,” papar Garuda.
Selain visi misi Rektor yang akan membawa Untan menuju PTN-BH, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Nadiem Anwar Makarim juga mendorong seluruh perguruan tinggi menjadi PTN-BH agar dapat mandiri dalam menetapkan kebijakan dan mengelola keuangannya. Perubahan ini selaras dengan kebijakan Kampus Merdeka yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum. Dukungan tersebut pula ditambah dengan adanya revisi pasal-pasal pada Permendikbud Nomor 88 Tahun 2014 yang menjadi kriteria persyaratan universitas kandidat PTN-BH kini beralih pada Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020. Perubahan ketentuan ini bertujuan memperbesar peluang bagi PTN menjadi PTN-BH.
Kemudahan yang diberikan antara lain, mengurangi jumlah syarat minimal program studi terakreditasi unggul yang semula sebesar 80% pada Permendikbud Nomor 88 Tahun 2014 kini berubah menjadi 60% pada Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020. Pada peraturan sebelumnya, Kemendikbud mensyaratkan perguruan tinggi meraih peringkat pertama atau berprestasi dalam kompetisi nasional atau internasional, berprestasi dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan Pemerintah maupun pemerintah daerah dan berprestasi dalam kegiatan-kegiatan di Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI). Namun, pada Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020, PTN hanya perlu ‘berpartisipasi’ dalam perlombaan nasional/internasional, kegiatan pemerintah maupun kegiatan di DUDI tanpa harus menorehkan prestasi. Yang paling penting, kini PTN dapat mengajukan secara mandiri perubahan status menjadi PTN-BH kepada menteri.
Selayang Pandang PTN-BH
PTN Badan Hukum adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah yang berstatus sebagai subyek hukum yang otonom menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Pasal 1 poin 3. Hal ini didukung oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyebutkan bahwa terdapat dua pola pengelolaan keuangan oleh PTN, yaitu Badan Layanan Umum (BLU) dan Berbadan Hukum (BH) dengan bunyi, “Pengelolaan Otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan bermutu.”
Dengan berbagai hak istimewa yang akan didapatkan, komitmen Untan menuju PTN-BH rupanya tak main-main. Tim Task Force Percepatan PTN-BH sendiri telah terbentuk dan mulai bekerja sesuai tupoksinya. Berjumlah belasan orang yang diketuai oleh Dadan Kusnandar, dosen senior Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Untan. Tim ini terbentuk dengan tujuan mengumpulkan berkas-berkas persyaratan PTN-BH dan mengunggahnya ke laman Analitik PTN-BH, kemudian merampungkan penyusunan proposal pengajuan PTN-BH.
Menurut Dadan, saat ini Untan berada dalam jajaran universitas kandidat yang akan menuju PTN-BH dengan jumlah skor sebesar 305.73 dari skor minimal 360 di laman Analitik PTN-BH Kemendikbud.
“Kita mengumpulkan data dan menyesuaikan format dari Dikti. Saat ini kita sudah mendapat poin 305.73, kalau kita sudah dapat 360 poin kita bisa ajukan proposal dan mempresentasikan ke Kementerian Keuangan dan Ristekdikti berkali-kali sampai oke, kemudian diserahkan ke Rektor,” papar Dadan mengenai mekanisme pengajuan proposal PTN-BH.
Persyaratan yang harus dipenuhi perguruan tinggi menuju PTN-BH tertera dalam Permendikbud nomor 4 tahun 2020 Pasal 2 angka 1, mencakup tingkat dan derajat kemampuan dari PTN untuk menyelenggarakan Tridharma Perguruan Tinggi yang bermutu; mengelola organisasi PTN berdasarkan prinsip tata kelola yang baik; memenuhi standar minimum kelayakan finansial; menjalankan tanggung jawab sosial; dan berperan dalam pembangunan perekonomian.
Pada syarat pertama, Penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi yang bermutu memiliki lima indikator penilaian. Salah satunya adalah indikator ‘paling sedikit 60% (enam puluh persen) Program Studi dengan peringkat akreditasi unggul. Dilansir dari laman https://sinta.kemdikbud.go.id/ptnbhanalytics/, dari 99 program studi (prodi) aktif mulai dari jenjang D3, S1, S2 hingga S3, baru terdapat 16 prodi yang mendapat predikat Unggul atau A. Terhitung baru 15,84% prodi yang telah berstatus Unggul maupun A di Untan. Dadan mengungkapkan bahwa syarat tersebut tentu tidak dapat dipenuhi oleh Untan dalam waktu setahun terakhir, mengingat dorongan Kemendikbud menargetkan Untan menjadi PTN-BH di tahun 2024.
“Kendala utama adalah syarat akreditasi prodi A atau unggul sebanyak 60%. Tapi gimana pemerintah mau menetapkan 2024 semua (universitas) jadi PTN-BH kalau syarat tidak dikendorkan. Tidak menutup kemungkinan syarat akan diturunkan (lagi), kalau ga mampu, dibina sama PTN yang sudah PTN-BH,” ungkap Dadan.
Baca Juga: Gembar-Gembor Untan Menuju Green Campus
Ketimpangan Abadi Kampus Tiga
Reporter Mimbar Untan mencoba melihat ulang kondisi Kampus 3 FKIP Untan empat tahun terakhir. Pada tahun 2019 Mimbar Untan pernah menerbitkan tulisan mengenai kondisi Kampus 3 Ilmu Keolahragaan FKIP Untan yang minim fasilitas seperti ketiadaan wifi untuk menunjang proses belajar-mengajar, kondisi kantin yang timpang dengan kampus utama, atap yang bocor, ruang kelas yang sudah tua, dan keterbatasan jumlah proyektor. Skala prioritas menjadi alasan terjadinya ketimpangan fasilitas. Kampus utama yang terdiri dari 25 jumlah prodi lebih diprioritaskan daripada kampus 3 dengan 2 prodi.
Empat tahun telah berlalu, reporter Mimbar Untan kembali mengunjungi kampus 3 untuk melihat perubahan yang terjadi terhadap fasilitas selama kurang lebih empat tahun. Masih dengan permasalahan yang relatif sama, kurangnya fasilitas yang disediakan di kampus 3 terus menjadi sebuah permasalahan yang tak kunjung teratasi. Salah satunya ialah keluhan terkait jaringan Wifi yang lambat sehingga mengganggu mobilitas persebaran informasi, ditambah dengan faktor jarak yang jauh antara Kampus 3 dengan Kampus Utama. Vicki sebagai salah satu mahasiswa di Kampus 3 juga merasakan sulitnya mobilitas informasi akibat jarak yang jauh dengan kampus utama.
“Jika dibandingkan dengan kampus 1, kami biasanya sering belakangan dapat informasinya, misalnya pemirama,” keluh Vicki.
Hal serupa turut disampaikan oleh Kepala Jurusan (Kajur) Ilmu Olahraga, Mimi Haetami saat ditemui di ruangannya di Kampus 3 FKIP Untan.
“Wifi ada, tapi kurang bagus, kita perlu menaikkan bandwith, kita sudah ajukan berkali-kali tapi ga ada titik terang. Bahkan, kadang surat untuk rapat yang seharusnya dilaksanakan hari ini tapi suratnya baru diterima besok,” ujar Mimi.
Mimi juga mengeluhkan fasilitas penunjang praktik mata kuliah yang tidak ada yang turut menjadi hambatan. Beberapa mata kuliah seperti softball, hockey, dan golf merupakan contohnya. Menurutnya, upaya untuk mengajukan pengadaan terhadap pihak fakultas sudah dilakukan.
“Banyak fasilitas mata kuliah seperti softball, hockey, golf itu tidak ada, bahkan yg softball kita ajukan pemukul tapi tidak sesuai standar, sekali pukul langsung penyok. Mata kuliahnya ada, fasilitasnya juga ada tapi tidak bisa digunakan karena tidak memenuhi standar,” ucap Mimi.
Inovasi pun dilakukan untuk mengakali kurangnya fasilitas penunjang pembelajaran. Beberapa kali mahasiswa dan tenaga pendidik membuat sendiri alat yang diperlukan untuk menunjang praktik olahraga.
“Untuk mengatasi kekurangan itu, kita melakukan inovasi, membuat peralatannya sendiri dari kayu,” tukas Mimi.
Alat-alat penunjang praktik yang tidak sesuai standar profesional atau bahkan tidak ada dapat berdampak pada prestasi mahasiswa. Selain untuk meningkatkan prestasi mahasiswa, Mimi meneruskan bahwa fasilitas yang memenuhi standar diperlukan untuk menghindari resiko terjadinya cedera selama praktek di lapangan.
“Pembelajaran itu jika tidak standar maka kemungkinan terjadi cedera kemudian hal hal itu akan membahayakan mahasiswa dan segala macam itu tinggi,” keluh Mimi.
Berbagai hambatan dan minimnya fasilitas penunjang pembelajaran tentu akan mempengaruhi proses belajar mengajar. Maka dari itu, Mimi menegaskan bahwa pemerataan dan perbaikan fasilitas tentu harus dilakukan, khususnya bagi Untan yang akan menuju PTN-BH di tahun 2024. Berbeda dengan BLU yang masih memiliki kewajiban pelaporan keuangan pada negara, PTN-BH memiliki hak otonom penuh dalam mengelola anggaran.
“Sekarang mahasiswa lebih memilih kampus lain karena fasilitasnya lebih lengkap walaupun ada beberapa yang tidak berfungsi. Nah, kita juga harus melengkapi sarana prasarananya, apalagi kita mau berubah status menjadi PTN-BH,” tegas Mimi.
Kondisi minimnya fasilitas di kampus 3 tentu tidak bisa dicari jalan keluarnya hanya dari salah satu pihak. Perlu keterlibatan berbagai aktor agar kondisi minimnya fasilitas di kampus 3 dapat teratasi, termasuk dari fakultas itu sendiri. Apabila pihak jurusan telah melakukan segenap upaya untuk mengatasi minimnya fasilitas dengan berusaha mengajukan pengadaan barang, serta membuat peralatan praktik sendiri seperti di atas, pihak fakultas juga telah melakukan berbagai upaya dan usaha.
Salah satu upaya yang diambil pihak fakultas untuk mencukupi fasilitas yang ada di kampus 3 FKIP Untan ialah dengan memberikan porsi anggaran keuangan yang lebih. Agus Syahrani selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FKIP Untan menyampaikan bahwa Prodi yang berada di kampus 3 diberikan “uang jajan” lebih daripada prodi yang berada di kampus utama. Namun, untuk menjaga tingkat kualitas peralatan yang disediakan berimbas pada jumlah pengadaannya yang menjadi sedikit.
“Kami dari fakultas mengupayakan kualitas nya akan tetap sama, jadikan di fakultas ini ada penganggaran yang disebut kode mata anggaran keuangan. Nah masalahnya itu muncul, misalnya FKIP punya anak banyak, jadi prodi ini (PKO dan Penjas) diberikan uang jajan yang lebih, tetapi masalahnya dengan dana yang diberikan kepada 2 prodi itu, untuk menjaga kualitas, jadi kuantitas nya sedikit,” ucap Agus.
Upaya lain yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi kampus 3 FKIP sekarang ialah dengan melakukan pembangunan baru. Keinginan mahasiswa kampus 3 FKIP Untan untuk bersatu dengan lingkungan kampus utama pun kini bukanlah sebuah keinginan belaka. Menurut keterangan Agus, telah diadakan pertemuan dengan Wakil rektor 4, tim teknis, tim master plan, petinggi FKIP, dan Kajur Ilmu Olahraga kampus 3 dan menghasilkan rencana pembangunan bangunan baru empat lantai di belakang kampus utama.
“Diputuskan bahwa pembangunannya dilakukan di gedung belakang pasca FKIP, gedung yang ada kubahnya. Nah itu mulai akan ada perbaikan rancangan. anggaran yang ada itu untuk dua lantai tetapi dirancang untuk empat lantai. Karena dirancang empat lantai berarti pondasi harus untuk empat lantai walaupun dibangun bertahap da lantai dulu,” ujar Agus.
Agus menambahkan bahwa pembangunan akan dilaksanakan akhir tahun 2023 dan direncanakan akan selesai untuk dua lantai pada tahun 2025.
“Mulai pembangunan nya itu awal tahun ini (2023) dari pemberkasan, setelah itu akhir tahun ini (2023) mulai pondasi, ditargetkan tahun 2025 itu harus sudah selesai. nanti di tahun 2025 itu seluruh jurusan penjas akan pindah kesini,” cakap Agus.
Selama kurun waktu dua tahun pembangunan, Agus menyampaikan kepada masyarakat Kampus 3 FKIP untuk sabar dengan kondisi yang masih akan sama sembari menunggu pembangunan gedung baru.
“Jadi yang mau saya sampaikan kepada mereka adalah sabar dengan kondisi yang sama sampai pembangunan selesai,” tukas Agus.
Pendidikan Untuk yang Mampu-Mampu Saja
Ketimpangan fasilitas yang dialami oleh mahasiswa seharusnya sejalan dengan penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namun, dewasa ini berbagai kabar mengenai penambahan golongan UKT terjadi di berbagai universitas di Indonesia, tak terkecuali Universitas Tanjungpura. Diawali dengan pengajuan permohonan usulan perubahan tarif UKT Nomor 3805/UN22/KU.00.00/2023 pada tanggal 13 Maret 2023 pada Mendikbud. April 2023, Untan kemudian mendapatkan persetujuan tarif UKT oleh Plt. Direktur Jenderal dengan nomor surat 0261E.E1/PR.07.04/2023 pada 11 April 2023. Tepatnya pada Rabu, 26 April 2023, Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas Tanjungpura nomor 2028/UN22/KU.00.00/2023 tentang Penetapan Besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) Bagi Mahasiswa Baru Universitas Tanjungpura diterbitkan sebagai tanda bahwa Untan mulai memberlakukan UKT hingga ke golongan ke VIII.
Penambahan golongan UKT hingga ke VIII yang telah dilakukan oleh Untan menuai banyak tanggapan, khususnya pada mahasiswa baru tahun 2023 yang pertama kali membayar biaya perkuliahan. Tegar Syahputra, mahasiswa Ilmu Hukum angkatan 2021 merasakan adanya langkah terburu-buru dari Untan dalam memberlakukan penambahan golongan UKT di saat Untan bahkan belum berganti status menjadi PTN-BH. Menurutnya, pemberlakuan UKT yang tinggi akan memberatkan sebagian mahasiswa yang terkena UKT tinggi. Meski hanya sebagian kecil, UKT tinggi yang didapat mahasiswa akan menghambat perkuliahan yang seharusnya berjalan sebagaimana mestinya.
“Misalnya yang terdampak UKT tinggi hanya seribu dari tiga puluh ribu mahasiswa, sisanya nggak akan merasakan kesusahan yang sama. Ketika menjadi PTN-BH, seharusnya bisa menjadi sarana penurunan UKT dengan keleluasaan yang besar dalam mengelola kampus, sehingga dia (Untan) nggak perlu menarik dana mahasiswa terlalu tinggi,” ungkap Tegar.
Sejalan dengan kekhawatiran yang dirasakan Tegar, melansir data dari laman Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Untan menyebutkan bahwa besaran dana pendidikan mendominasi pendapatan BLU per tahun 2022. Jasa layanan pendidikan menyumbang sebesar Rp. 275 Miliar dari total Rp. 371 Miliar atau setara dengan 74 persen pendapatan secara keseluruhan. Hal ini bagi Tegar akan menimbulkan kekhawatiran adanya upaya komersialisasi pendidikan demi memenuhi kebutuhan rumah tangga Untan.
“Aku rasa nggak hanya Untan yang akan meng-komersialisasi pendidikan setelah menjadi PTN-BH. Apa urgensinya menjadi PTN-BH kalau belum siap, entah dengan alasan keleluasaan untuk berkreasi dan berkembang atau hanya wujud lepas tangan dari pemerintah pusat terhadap pendidikan?” ujar Tegar
Tegar melanjutkan, negara wajib mengalokasikan dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Namun, baginya dengan adanya pengurangan anggaran pendidikan bagi universitas berstatus PTN-BH tentu akan membuat PTN tersebut harus mencari cara lain demi memenuhi kebutuhannya. UKT yang tinggi akan mempersempit kesempatan orang-orang untuk merasakan bangku perkuliahan.
“Bukannya semua orang berhak dapat pendidikan, tapi ujung-ujungnya pendidikan hanya bisa diakses oleh mereka yang punya uang,” ungkapnya.
Sebagai lembaga yang dituntut untuk mandiri dalam pengelolaan keuangannya, Universitas berstatus PTN-BH tentu akan melakukan berbagai cara dalam memenuhi kebutuhan dapur sendiri tanpa harus selalu bergantung pada kantong mahasiswa. Radian selaku wakil rektor bagian akademik Untan mengatakan bahwa tidak ada kenaikan nilai UKT, melainkan hanya penambahan golongan UKT.
“Nilai UKT golongan 1-5 tidak mengalami kenaikan, melainkan hanya ada penambahan golongan 6-8. Kalau misal yang awalnya UKT golongan 5 sebesar dua juta kemudian kita ubah jadi lima juta, itu artinya menaikkan. Tapi itu tidak kita lakukan,” jelas Radian.
Menurutnya, penambahan golongan UKT yang terjadi karena bukanlah dampak dari PTN-BH, melainkan akibat nilai UKT Untan yang masih berada di bawah nilai Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dari pemerintah dan masyarakat sehingga harus adanya penyesuaian.
“UKT kita berada di bawah BKT, sehingga kita menambah karena ingin adanya UKT Berkeadilan. Yaitu bagi mahasiswa yang mampu membayar lebih, sehingga terjadi subsidi silang bagi mereka yang kurang mampu,” tutup Radian.
Dari Teaching University hingga Reformasi Birokrasi Kampus
Dengan otonomi yang dimiliki oleh PTN-BH, tentu ada beberapa kemudahan yang akan dirasakan Untan, misalnya keleluasaan pada pengelolaan aset. Zulkarnaen, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Untan berpendapat bahwa Untan merupakan salah satu universitas yang memiliki banyak aset dan berada di posisi strategis, yaitu pusat kota jasa dan perdagangan. Namun, menjadi PTN-BH menjadi tantangan baru bagi manajemen Untan untuk mampu mengelola asetnya secara mandiri.
“Selama ini banyak lahan ‘tidur’ di Untan, ada kawasan yang diarahkan untuk sektor bisnis, tapi ada juga yang belum diberdayakan. Pengelolaan aset berpotensi besar supaya Untan tidak terlalu menggantungkan diri dari dana pendidikan,” jelas Zulkarnaen.
Menurut Zulkarnaen, penambahan golongan UKT tentunya harus sejalan dengan peningkatan fasilitas dan layanan yang diberikan oleh universitas kepada mahasiswanya, baik dari pelayanan akademik hingga kualitas belajar dan mengajar. Sebagai teaching university yang akan menuju PTN-BH, Untan perlu memperkuat dan membenahi proses pengajaran di dalam kelas.
“Proses teaching berpengaruh untuk menghasilkan mahasiswa yang berkompetensi tinggi, sehingga hasil dari proses teaching seimbang dengan ilmu yang didapat mahasiswa. Karena PTN-BH harus menaikkan biaya pendidikan, maka harus sepadan dengan pelayanan yang diberikan kepada mahasiswa,” ujar Zulkarnaen.
Zulkarnaen menambahkan bahwa mahasiswa berhak memahami bagaimana proses pelayanan oleh birokrasi kampus. Mulai dari terlaksananya Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan yang sesuai jadwal hingga reformasi organisasi untuk terus membenahi Untan sebagai teaching university.
“Anggaplah sebagai pelanggan, mahasiswa perlu dilayani secara baik di kelas maupun administrasinya. Saya setuju kita masuk dalam posisi PTN-BH, cukup diperkuat sesama karakter organisasi Untan ini, agar ada timbal balik antara pemasukan dan pelayanan, ” ungkap Zulkarnaen saat diwawancarai pada Kamis, (6/7/2023).
Menjadi PTN-BH artinya Untan harus siap pula memiliki fleksibilitas terhadap prodi yang sesuai dengan permintaan pasar. Baginya, dengan adanya penambahan prodi dapat menambah keragaman keterampilan. Peningkatan golongan UKT tentu harus meningkatkan kualitas lulusan Untan ke depannya. Untan bertanggungjawab melahirkan lulusan berkualitas demi menumbuhkan kepercayaan pasar setelah biaya pendidikan yang semakin tinggi.
“Mahasiswa sekarang banyak yang lulus tepat waktu dan IPK-nya tinggi, tapi mereka tidak diterima pasar karena tidak dipercaya. Apa gunanya? yang lebih berguna bahwa nilai ini menarik pasar. Indikator outcome (dampak) harus lebih maju daripada indikator output (kuantitas). Untan harus kesana guna menumbuhkan kepercayaan pasar sehingga dia (mahasiswa) mau membayar mahal,” tegas Zulkarnaen.
Baca Juga: Tanggapi Kebijakan Kampus Merdeka, Ketua BEM Untan: Untan Belum Siap
Siapkah Untan bergelar PTN-BH?
Keinginan Untan untuk bertransformasi menjadi PTN-BH bukanlah wacana belaka. Berbagai manuver telah diambil untuk mempersiapkan Untan menuju PTN-BH. Langkah-langkah seperti pembentukan Tim Percepatan PTN-BH, serta visi misi yang disampaikan oleh Garuda Wiko saat masa pemilihan rektor Untan periode 2023 -2027 merupakan contohnya.
Namun demikian, banyak yang meragukan kesiapan Untan untuk menjadi PTN-BH. Hal tersebut dikarenakan masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan Untan apalagi untuk bertransformasi menjadi PTN-BH. Sulitnya merealisasikan keinginan untuk menjadi PTN-BH disampaikan sendiri oleh Dadan selaku ketua Tim Percepatan PTN-BH Untan.
“Untuk sekarang kita masih mengumpulkan data, sebenarnya berat untuk masuk ke PTN-BH, itu berat sebenarnya,” pungkas Dadan.
Kesulitan tersebut muncul karena terdapat beberapa persyaratan yang belum bisa dipenuhi oleh Untan agar bisa menjadi PTN-BH, salah satunya seperti jumlah program studi terakreditasi unggul yang paling sedikit berjumlah 60% dari total seluruh prodi se-Untan. Belum lagi komponen-komponen lainnya seperti rasio dosen-mahasiswa, kualifikasi dosen, sampai keuangan, kemudian penilaian perguruan tinggi, pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan penunjangnya.
“Banyak komponennya, dimulai dari rasio dosen mahasiswa, kualifikasi dosen, sampai keuangan, jadi banyak poinnya. Ada penilaian perguruan tinggi, pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan penunjangnya. Yang susah untuk kita penuhi adalah bahwa di situ syaratnya 60% prodi harus terakreditasi unggul. Jadi kita punya 96 prodi ya hampir 100 lah berarti 60 Prodi harus terakreditasi unggul, itu yang beratnya,” ujar Dadan.
Senada dengan pernyataan Dadan, merujuk pada “Laporan Tahunan Rektor Universitas Tanjungpura Tahun 2022” jumlah program studi Universitas Tanjungpura yang telah mengantongi predikat unggul pada tahun 2021 saat ini berjumlah 14 prodi dari total 98 prodi yang terdiri dari: Ilmu Hukum, Ekonomi Pembangunan, Manajemen, Ilmu Tanah, Teknik Sipil, Sosiologi, Ilmu Administrasi Publik, Ilmu Sosiatri, Pendidikan Kimia, Pendidikan Bahasa Inggris, Kimia, Biologi, Magister Sosiologi dan Magister Pendidikan Bahasa Inggris. Apabila dipersentasekan maka jumlah prodi Untan dengan akreditasi unggul ialah sebanyak 14%. Masih terdapat selisih 44% agar salah satu syarat menjadi PTN-BH dapat terpenuhi. Tak hanya sampai di situ, terdapat komponen lain yang juga harus mendapat perhatian, yaitu kualitas tenaga pengajar.
“Yang agak berat adalah SDM, sekarang ini kita profesor baru 3% se-Untan. Padahal idealnya 30%, jauh banget,” ucap Dadan.
Dadan juga menambahkan bahwa untuk saat ini pendapatan terbesar Untan bersumber dari mahasiswa. Tak tanggung-tanggung, angka tersebut mencapai 74%.
“Apalagi 74% pendanaan universitas itu dari mahasiswa, kalau dikurangi makin berkurang juga dana yang bisa digunakan universitas,” ujar Dadan saat menyinggung permasalahan pendanaan yang dihadapi Untan sebagai PTN BLU.
Dilihat dari banyaknya pekerjaan rumah di atas, tampaknya keinginan Untan untuk menjadi PTN-BH bukanlah pekerjaan yang mudah. Bagaimana tidak, senada yang disampaikan Dadan, secara finansial saja pendapatan Untan masih didominasi oleh sektor pendidikan yang berasal dari kantong mahasiswa.
Berdasarkan data yang diperoleh dari PPID Untan, sebagian besar Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) Untan Tahun Anggaran 2022 bersumber dari Pendapatan Jasa Pelayanan Pendidikan – Pendapatan UKT, Matrikulasi, Sumbangan Buku, Wisuda, KKN, Ujian Masuk, Tes Kesehatan, Tes Toefl, Tes Kode Etik, Pendapatan SPI, Pendapatan Kartu Anggota Perpustakaan Mahasiswa Luar Untan, Pendapatan Terjemahan, Pendapatan Pembuatan Sertifikat, Penggunaan Lab, Pendapatan Rumah Sakit Untan, Pendapatan Poliklinik UNTAN – dengan angka sebesar 275 miliar rupiah dari total 371 miliar rupiah yang apabila dipersentasekan maka didapat angka 74%.
Angka tersebut seharusnya menjadi guncangan bagi Untan, pasalnya menjadi PTN-BH berarti Untan memiliki hak otonom untuk melakukan pengelolaan termasuk tata kelola keuangan agar lebih mandiri. Sehingga, tak sepatutnya menjadikan sektor pendidikan sebagai pemasukan utama yang dapat merujuk pada komersialisasi pendidikan.
Di samping berbagai permasalahan di atas, Dadan menyampaikan optimismenya bahwa Untan bisa saja menjadi PTN-BH. Namun, hal tersebut merupakan hal yang sulit, untuk menyebut persiapannya mencapai 50% saja belum bisa. Satu-satunya yang membuat ia optimis adalah karena disinyalir akan ada keringanan yang diberikan oleh pusat untuk menjadi PTN-BH.
“Sebenarnya sih memungkinkan, walaupun sulit. Apalagi kalau kita kaku terhadap persyaratan dari kementerian, itu sulit. Kalau dipersenkan masih jauh, 50% juga belum sampai. Optimisnya tadi karena ada keringanan,” pungkas Dadan.
Penulis: Dedek Putri Mufarroha dan Muhammad Ashabil Kahfi
Editor: Anggela Juniati
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Edisi XXVI. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/TabloidMimbarUntanXXVI