“Perempuan nggak usah sekolah tinggi-tinggi, pada akhirnya hanya untuk dapur, sumur dan kasur”
Pernyataan atau ungkapan yang menurut saya kuno ini sering sekali kita temui di kehidupan sehari-hari baik itu di media sosial, di lingkungan sekolah, maupun di lingkungan rumah.
Secara tidak langsung, ungkapan tersebut menyudutkan perempuan dan menganggap bahwa Laki-lakilah yang pantas mendapatkan peran tertentu di dalam masyarakat.
Sebenarnya apa sih seksisme?
Dikutip dari situs European Institute for Gender Equality, seksisme berkaitan dengan kepercayaan fundamental tentang hal alamiah dari perempuan dan laki-laki, serta bagaimana mereka berperan dalam masyarakat. Anggapan seksis diwujudkan melalui stereotip gender di mana satu gender dipandang lebih unggul dibanding gender lainnya. Akibat pandangan seksis, terjadi diskriminasi dalam berbagai ranah kehidupan.
Walaupun seksisme bisa terjadi pada laki-laki, namun kaum perempuan lebih sering dan lebih rentan menjadi korban seksisme. Misalnya anggapan laki-laki harus memberi nafkah, sementara perempuan selayaknya mengorbankan karirnya demi keluarga.
Berbicara tentang seksisme dari sudut pandang perempuan, menurut saya seksisme ini penting untuk dibicarakan karena jika kita nggak peduli atau bahkan akhirnya kita normalisasi ide atau konsep seksisme itu akan bertransformasi menjadi aksi dengan bermacam-macam skala.
Orang-orang yang memiliki mindset seksis biasanya melihat perempuan itu sebagai orang yang tidak kompeten, manusia kelas dua, dan hanya bisa berperan dalam peran domestik saja. Laki-laki yang seksis melihat diri mereka superior dan akan memperlakukan perempuan dengan cara yang terkesan menggurui dan seringkali perempuan sendiri tidak merasa ada yang salah dengan sikap condescending atau merendehkan, mereka menganggap bahwa itu merupakan bentuk perlindungan dan kepedulian bahkan ada juga perempuan yang menginternalisasikan seksisme tersebut dengan dia berpikir bahwa dia sebagai perempuan posisinya memang dibawah pria karena hal-hal ini adalah hal yang lumrah terjadi ditengah-tengah masyarakat kita.
Laki-laki yang seksis dan perempuan yang menginternalisasikan seksisme ini, secara tidak sadar mereka sama-sama melestarikan seksisme untuk terus ada di lingkungan.
Setiap kali saya menceritakan pengalaman hidup tentang inequality sebagai perempuan yang saya dapatkan, kebanyakan laki-laki menganggap saya terlalu mempermasalahkan hal yang nggak harus di permasalahkan bahkan ada yang bilang ini semua hanya ada di pikiran saya saja.
Seksisme yang sering dialami perempuan di dalam kehidupan sehari-hari antara lain seperti, menstruasi yang sering dianggap menjijikkan dan memalukan, sampai-sampai perempuannya pun suka malu untuk menyebut kata “pembalut”, perempuan berkarier di judge menelantarkan anak dan suaminya, sedangkan laki-laki berkarir dianggapnya husband gold, perempuan yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga dikira nganggur aja dirumah, perempuan yang pakai baju kelonggaran dianggap tidak “desirable”, kalo pake baju yang terbuka dianggap perempuan nakal, victim blaming (menyalahkan korban) pada kasus pelecehan & kekerasan seksual, dianggap ribet, rempong, terlalu banyak komlpain, dan tentunya disuruh santai kalo kita coba berbicara seksisme karena mereka bilang “apa lagi sih yang mau diprotesin zaman sekarang perempuan udah setara kok!”
Seksisme dapat memengaruhi setiap aspek kehidupan seseorang, termasuk hubungan mereka dengan orang lain, kesehatan mental dan fisik, harapan hidup, serta pendapatan. Membongkar institusi, hukum, dan praktik seksis penting untuk pemberdayaan semua orang tanpa memandang jenis kelamin atau gender mereka. Kalau kita menyepelekan seksisme yang terlihat biasa atau normal ini, secara tidak sadar kita akan menerima atau endorsing idea of system itu sendiri dan secara gak langsung kita akan makin melanggengkan gender inequality.
Penulis : Ayu
Editor : Daniel