mimbaruntan.com, Untan – Pemilihan umum (pemilu) 2024 sudah di depan mata. Suasana pesta politik kian terasa. 14 Februari 2024 akan menjadi puncak pesta politik masyarakat Indonesia ditandai dengan pemilihan umum serentak. Meski begitu masyarakat mesti waspada terhadap potensi terjadinya konflik menjelang pemilu 2024. Terutama berkaitan dengan salah satu isu strategis yaitu politik SARA atau politik identitas.
Berangkat dari hal tersebut, Gusdurian Khatulistiwa menyelenggarakan forum diskusi berbasis Focus Group Discussion bertemakan “Menganalisa Potensi Terjadinya Konflik Menjelang Pemilu 2024 di Kalimantan Barat” pada, (1/12). Acara tersebut turut dihadiri berbagai pihak dan tokoh-tokoh penting, seperti Wakil Walikota Pontianak, pengamat politik, Perkumpulan Merah Putih (PMP), Satu Dalam Perbedaan (SADAP), dan lain sebagainya.
Mursyid Hidayat selaku Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Kalimantan Barat (Bawaslu Kalbar), sekaligus pemantik pada acara tersebut membenarkan bahwa terdapat potensi terjadinya konflik menjelang pemilu 2024. Ia memaparkan secara lebih spesifik Kalbar menduduki urutan ke-6 dari 38 provinsi di Indonesia.
“Ada lima isu strategis yang diriset oleh bawaslu, diantaranya itu politik SARA. Di Kalbar sendiri itu rank ke-enam dengan poin tujuh koma empat. DKI Jakarta itu rank satu, kemudian Maluku Utara, ketiga itu Yogyakarta, kemudian Papua Barat, kelima itu Jawa Barat lalu ke-enam Kalimantan Barat. Kalau tingkat kabupaten itu yang rawan di Landak,” papar Mursyid.
Baca Juga: YNKI Soroti Rantai Pasok Global Akibat Konflik Palestina-Israel
Mursyid menambahkan perlu adanya usaha kolektif untuk mengantisipasi potensi terjadinya konflik menjelang kontestasi pemilu serentak.
“Negara kita dibangun dengan gotong royong, mempertahankannya pun perlu usaha gotong royong. Perlu usaha kolektif untuk mengantisipasi hal ini. Bawaslu sendiri melakukan usaha antisipasi kampanye di media sosial dengan membentuk pokja (kelompok kerja) dengan berbagai pihak misalnya kominfo,” lanjut Mursyid.
Viza Juliansyah, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura (FISIP Untan), dan seorang pengamat politik yang saat itu turut menjadi pemateri seminar juga memberikan pandangannya. Ia melihat bahwa potensi terjadinya konflik menjelang pemilu di Kalbar memang harus diwaspadai namun jangan sampai membuat masyarakat terlalu takut atau panik.
“Kalimantan Barat memang memiliki sejarah konflik panjang yang terjadi berulang. Tetapi berulang kali pula kita berhasil menanggulangi hal itu dan mewujudkan pilkada atau pemilu yang damai. Artinya kita berhati-hati tapi sebenarnya jangan juga yang terlalu takut kaya gimana. Karena ternyata kita terbukti sejauh ini mampu mengendalikan emosi masing-masing, masa masing-masing,” ujar Viza.
Baca Juga: Melukis Harapan, Pengamen Cilik dan Panggilan Pendidikan
Selain itu, Dian Lestari, salah seorang jurnalis yang terhimpun dalam Serikat Jurnalis Keberagaman (Sejuk), sekaligus pemateri pada acara tersebut turut memberikan pandangannya. Menurutnya Masyarakat seringkali disetir dengan narasi-narasi yang mengatakan bahwa orang lain — orang yang berbeda dengan dirinya baik dari segi latar belakang, kelompok, ataupun pilihan politik secara kontekstual — merupakan ancaman.
“Mesti disadari kita tuh banyak sekali disetir dengan narasi-narasi bahwa orang lain itu adalah ancaman. Padahal berbeda itu biasa. Dan orang lain ataupun sesuatu yang baru itu mestinya bukan ancaman. Literasi itu merupakan suatu hal yang sangat penting agar kita tidak mudah dimobilisasi,” ungkap Dian.
Siti Munawaroh selaku sekretaris nasional Gusdurian dalam sambutannya berharap acara ini dapat menjadi upaya untuk mengantisipasi, serta mencegah berbagai kecurangan dalam politik.
“Harapannya forum ini bagaimana kita bisa mengantisipasi, bagaimana kita mencegah terjadinya hal-hal kecurangan dalam pemilu dan untuk terus dijaga demi kemaslahatan bersama,” tutur Siti.
Penulis: Abil
Editor: Rachmad