mimbaruntan.com, Untan – Rancangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran menuai kritik karena dinilai memuat pasal-pasal yang dapat mengekang kebebasan pers. Pada bulan Mei lalu, jurnalis, mahasiswa dan masyarakat sipil di Indonesia serentak mengadakan aksi penolakan RUU Penyiaran, tak terkecuali di Kalimantan Barat (Kalbar) yang mengadakan aksi pada Senin, (27/5). Alhasil, pembahasan RUU Penyiaran ditunda sementara menimbang ancaman terhadap kebebasan pers dan akan dimulai kembali dengan melibatkan pihak media.
Di Kalbar, pengawalan terhadap pembatalan RUU Penyiaran diwujudkan dalam agenda “Diskusi Publik: Mengawal Pembatalan RUU Penyiaran” yang diadakan di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalbar pada Jumat, (21/6). Diskusi ini membahas dan mengkritisi pasal-pasal dalam RUU Penyiaran yang membatasi konten dan melarang penyiaran jurnalisme investigasi serta mengambil alih kewenangan Dewan Pers melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Pasal-Pasal Pemberangus Kebebasan Pers
Adapun beberapa pasal yang dikritisi dalam diskusi adalah sebagai berikut:
- Pada pasal 8A Ayat (1) Huruf q disebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran. Pasal ini bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, berkaitan dengan fungsi dari Dewan Pers. KPI disinyalir akan mengambil alih kewenangan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa jurnalistik dan juga berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik.
- Pasal 15 Ayat (2) huruf C UU Pers menyebutkan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Artinya, tidak ada wewenang bagi lembaga lain untuk menetapkan dan mengawasi KEJ.
- Kemudian pada pasal 50B Ayat (2) Huruf c disebutkan bahwa selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai penayangan ekslusif jurnalistik investigasi. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
- Dalam pasal 50B Ayat (2) Nomor k, selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Upaya pemberangusan kebebasan pers juga tertuang dalam RUU Polri. Dalam pasal 14 Ayat (1) Huruf o disebutkan bahwa Polri bertugas melakukan penyadapan dalam lingkup tugas Kepolisian sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai penyadapan. Selain itu, pasal 16 Ayat (1) Huruf q menyatakan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
Baca Juga: Rumah itu Terang
Menurut Yuni Ardi, selaku Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), masuknya KPI ke ranah pers akan membuat jurnalis menjadi sangat rentan akan represi.
“Ketika kami menayangkan suatu berita harus melalui KPI dulu, padahal kami sudah berpatokan kepada kode etik maupun UU Pers. KPI mau masuk ke ranah itu, sehingga kami minta revisi pasal tersebut karena itu sangat rentan,” ungkapnya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak, Rendra Oxtora, turut berpendapat bahwa jika RUU Penyiaran direalisasikan, maka jurnalis tidak dapat lagi mengungkap suatu kekeliruan lewat investigasi.
“Kita berusaha agar itu bisa dicabut. Karena jika RUU ini direalisasikan maka kedepannya pers tidak bisa lagi melakukan investigasi, yang mana sejauh ini investigasi itu adalah nafas dari jurnalis untuk mengungkap suatu kekeliruan,” jelasnya.
Tak hanya itu, menurut Rendra, Pasal yang disebutkan dalam RUU Polri dapat mengancam pergerakan pers hingga ke ranah sosial media. Ia menilai bahwa pemerintah seperti mencari celah untuk menghambat kebebasan pers.
”RUU Polri dan TNI juga ternyata bisa mengancam kebebasan pers karena disitu ada beberapa pasal yang menyebutkan bahwa polisi bisa melakukan penyadapan bahkan bisa melakukan takedown terhadap situs maupun media sosial yang disinyalir memuat konten yang tidak sesuai. Itu berbahaya juga sebenarnya, makanya pemerintah ini saya lihat mencari celah untuk menghambat kebebasan pers dan kebebasan berekspresi masyarakat. Setelah RUU Penyiaran kita tolak mentah-mentah, ternyata ada juga dimuat di RUU Polri dan TNI.” terangnya.
Ananda, anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong Kampus Politeknik Negeri Pontianak (Polnep), berpendapat bahwa pasal-pasal dalam RUU Penyiaran mengandung pembatasan yang dapat mengurangi transparansi dan merenggut kesempatan mahasiswa untuk bersuara di lingkungan akademis.
“Pembatasan ini mengurangi transparansi dan akuntabilitas di lingkungan akademis dan masyarakat luas serta menghilangkan kesempatan berharga bagi mahasiswa untuk memperoleh hak untuk bersuara,” ungkapnya.
Baca Juga: Suara Pers Mahasiswa
Waspada Pola Yang Sama
Strauss dan Howe dalam bukunya The Fourth Turning tidak hanya membahas klasifikasi empat generasi (Boomers, Gen X, Millenials, dan Gen Z), tapi juga menjelaskan teori generasi dimana terdapat sebuah pola 80 hingga 100 tahun, dimana setiap setiap generasi dikaitkan dengan krisis yang berdampak pada tatanan sosial. Sejarah mencatat bahwa pemberangusan terhadap kebebasan pers pernah terjadi di Jerman pada masa kepemimpinan Adolf Hitler sebagai kanselir di tahun 1933. Di tahun pertamanya memimpin, Hitler melahirkan Undang-Undang Editor (Schriftleitergesetz) yang memiliki pola yang mirip dengan RUU Penyiaran di Indonesia saat ini.
Hal ini yang coba dijelaskan oleh Ivan Wagner, Ketua LBH Kalbar. Menurutnya, dengan hukum editor pemerintah Jerman berupaya untuk memberangus kebebasan pers di Jerman pada saat itu.
“Sebelum Hitler memerintah sebagai kanselir, Jerman itu posisinya sebagai negara yang demokratis. Ketika Hitler mulai memerintah, salah satu hal yang dilakukannya adalah membentuk hukum yang mengekang kebebasan pers,” jelasnya.
Ivan juga menceritakan bahwa pada saat itu terdapat Menteri Pencerahan Publik dan Propaganda Reich yang akan menentukan majalah mana yang dianggap politis dalam pengertian hukum, padahal sebelumnya Jerman sudah memiliki lembaga sendiri yang mengatur KEJ. Menurutnya, hal ini mirip dengan pengambil alihan kewenangan Dewan Pers ke KPI yang diatur dalam RUU Penyiaran.
“Sebelumnya di tahun 1930 pemerintah jerman punya lembaga sendiri untuk mengatur kode etik jurnalisme, kemudian dipindahkan menjadi di bawah Menteri Pencerahan dan Propaganda. Kewenangannya diganti dari sebelumnya itu independen dipindahkan ke komisi yang berada di bawah lembaga eksekutif. Kalau dalam konteks Indonesia ya seperti KPI. Dalam undang-undang ini juga dia memuat supaya para jurnalis itu harus melewati censorship terlebih dahulu dalam setiap jenis publikasinya,” terangnya.
Mengaitkan antara teori Strauss dan Howe, sejarah pengekangan kebebasan pers di Jerman, dan RUU Penyiaran saat ini, Ivan mengingatkan agar tetap waspada dengan bangkitnya pemerintahan otoriter.
“Kalau mengikuti teori keberulangan generasi ini, jangan-jangan bener ini akan berulang 100 tahun sekali. Tapi tentu saja itu cukup bagi kita untuk diingatkan supaya tetap waspada. Kita perlu waspada dengan kebangkitan pemerintahan otoriter.” ungkapnya.
Tak Cukup Hanya Sampai Diskusi
Hamdan Darsani, Sekretaris Jenderal AJI Pontianak menyebutkan bahwa pada rezim Soekarno kebebasan pers juga sempat tidak disetujui dan pola tersebut dikhawatirkan akan terjadi kembali di masa kini dalam bentuk yang berbeda. Maka dari itu diperlukan aksi sebagai keberlanjutan dari kesadaran akan dampak RUU Penyiaran. Menurutnya, negara melalui RUU Penyiaran bisa saja melakukan cipta kondisi lewat institusi-institusinya.
“Yang paling penting itu ya, proses penyadarannya sudah. Jadi kita digugah dulu kesadarannya, setelah itu aksi apa yang akan kita lakukan. Secara institusi negara punya kekuatan untuk melakukan cipta kondisi lewat institusi-institusinya seperti perguruan tinggi. Diciptakan kondisi mahasiswanya supaya jangan terlalu kritis,” ungkapnya.
Gerakan penolakan RUU Penyiaran tidak cukup hanya sampai diskusi, seperti yang diungkapkan oleh Dian Lestari, seorang jurnalis dan aktivis yang menjadi peserta dalam diskusi. Ia menyebut bahwa salah satu bentuk pengawalan adalah dengan aktif dalam berbagi informasi.
“Gerakan kita ga cukup cuma diskusi, kita perlu kawal terus. Perlu diingatkan bahwa ga bisa cuma duduk-duduk diskusi dan selesai. Kita lupa bahwa setelah pulang ke rumah, ini karena judulnya adalah mengawal, artinya kita pertimbangkan untuk mengikuti. Satu diantaranya adalah makin mengaktifkan saling berbagi informasi,” jelasnya.
Dian mengajak peserta yang hadir untuk ikut mengkampanyekan penolakan terhadap RUU Penyiaran. Menurutnya, kesadaran diperlukan untuk melakukan perlawanan dan bentuknya adalah dengan mengajak orang di sekitar untuk peduli akan ancaman RUU Penyiaran agar dapat menyikapinya bersama.
“LBH mungkin lebih banyak informasi tentang hukum nya, tapi temen-temen yang lain seperti pers mahasiswa, AJI dan IJTI itu punya peran untuk kampanye supaya semakin banyak orang tau bahwa ini sesuatu yang harus kita lawan. Untuk bisa melawan itu perlu kesadaran. Bentuk kesadaran itu minimal adalah kita mengajak orang di sekitar kita untuk peduli bahwa ini adalah suatu ancaman yang mesti kita sikapi bersama,” pungkasnya.
Penulis: Ibnu Najaib
Editor: Hilda Putri Ghaisani
https://nasional.tempo.co/read/1868171/dewan-pers-tegas-tolak-ruu-penyiaran-ini-7-poin-catatannya
https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/timeline-event/holocaust/1933-1938/editors-law
https://alphahistory.com/nazigermany/editorial-law-nazi-censorship-1933/