Pontianak Dengarkan lagu
Nyanyianku hanya untukmu
Ku pinta supaya kamu
Gembira Selalu
Pontianak Jangan meradang
Dengar dendang, Tidurlah sayang
tetapi janganlah ganggu
biarkan kita hidup gembiraPontianak – Ahmad Daud & The Swallows 1965
mimbaruntan.com, Untan – Seduhlah kopi, mainkan playlist senja mu, dan duduk bersamaku. Mari berbincang sembari melihat perahu-perahu yang melintasi Sungai Kapuas. Sungai yang katanya dihuni Puake, makhluk berwujud ular naga yang konon panjangnya membentang dari hulu ke hilir. Oh iya, kamu baru di sini, kan? Biar aku ceritakan padamu tentang betapa romantisnya kota ini. Kita baru saja mulai dari Kapuasnya. Jika menurutmu ini hanya sungai biasa, pikirkanlah berapa banyak perut yang terisi karenanya. Sejak zaman pendudukan Belanda hingga saat ini, Sungai Kapuas telah menghidupi puluhan generasi. Menjadi jalur transportasi dan transaksi.
Bayangkan berapa banyak kisah cinta yang dimulai dan diakhiri di Sungai Kapuas. Bersemi pada kencan sederhana di atas Kapal Bandong. Cukup dengan Rp15.000 sudah bisa mengitari sungai selama 40 menit sambil berbincang santai ditemani musik yang sedikit berisik. Atau pernahkah terpikir, mungkin di dasar sungai ini ada ratusan cincin, gelang, kalung, atau benda apa saja peninggalan mantan. Kapuas menelan semua itu, mengamini kisah yang usai. Bayangkan jika suatu hari Puake di dasar Kapuas terbangun dan menampakkan wujudnya dengan mengenakan seluruh perhiasan yang terbuang.
Baca Juga: Mulyanto, Sosok Pejuang yang Dikriminalisasi
Sekarang mari begeser sedikit ke Seng Hie, mengunjungi Pasar Tengah Pontianak. Surganya pecinta pakaian thrift atau lelong. Bawa satu atau dua orang teman, dijamin tidak terasa barang bawaan semakin berat dan uang di dompet kian menipis. Sisakanlah sedikit untuk menyicipi roti canai dengan kuah kari legendaris di Kedai Pak Ali yang sudah ada sejak tahun 1970. Sempatkan juga untuk melihat-lihat bangunan tua peninggalan Jepang di Pontianak. Silakan ambil foto, abadikan, maka kamu juga akan menjadi sejarah.
Menyebrangi Sungai Kapuas, kamu bisa pilih lewat jembatan tol atau menaiki kapal feri. Aku ingin mengajakmu melihat ikon Kota Pontianak, Tugu Khatulistiwa. Kurasa aku tidak perlu repot-repot menjelaskan kepadamu secara geografis mengapa Pontianak, kota yang dilalui oleh garis khatulistiwa ini, suhunya begitu panas. Budak Pontianak punya istilah panas bedengkang, panas yang bisa menembus setebal apapun sunscreen yang kamu pakai. Hey, mungkin itu cara alam memperingatkan kita. Kota ini sudah terlalu panas, jangan ditambah lagi dengan pembakaran lahan atau aktivitas merusak lainnya.
Baca Juga: Beras dan Lingkaran Setan di dalamnya
Bagaimana? Sudah punya jawaban atas pertanyaan “kenapa Pontianak”? Baik, aku akan membawamu berkeliling lagi. Ikut aku ke Taman Digulis. Kebetulan ini malam Minggu, jadi lebih ramai dari biasanya. Ada banyak gerai jajanan di sepanjang Jalan Muhammad Isja dan Daya Nasional yang bisa kamu coba. Lalu kita bisa duduk dimanapun, mengobrol ngalor ngidul sampai larut malam. Coba lihat disana, ada jasa berfoto di depan Tugu Digulis yang berbentuk bambu runcing. Tukang foto mengarahkan modelnya: sepasang kekasih, keluarga kecil, sekelompok sahabat, hingga individu yang sedang menikmati waktu sendiri. Tiga jepretan cukup untuk menjadi bukti bahwa kamu pernah ke Pontianak.
Mau kemana lagi kita sekarang? Pontianak selalu punya tempat untuk berbagi cerita. Atau mau berputar-putar saja dengan sepeda motor? Night ride di tengah malam yang sedikit basah, kujamin seumur hidup kamu tak akan lupa. Dari area Digulis kita menyusuri Jalan Jendral Ahmad Yani. Belok sana belok sini, jujur saja aku tidak pandai menghafal nama jalan. Di mana kita sekarang, itu tidak penting. Pembicaraan sepanjang perjalanan, itulah yang kita kenang. Pikirkan berapa banyak rahasia yang terungkap, perasaan yang tersampaikan, dan memori yang tercipta di sepanjang Jalan Gajah Mada. Lampion-lampion Imlek yang belum diturunkan, lambangkan keberuntungan. Melipir ke gerobak es sari kacang hijau (sarcang) lalu duduk sebentar untuk menghisap sebatang rokok. Kepulan asap mengantarkan harapan baik ke awang-awang.
Bagaimana? Sudah menemukan jawaban? Jika kamu bertanya padaku tentang “kenapa Pontianak”, maka jawabku justru karena kota ini tidak punya banyak hal yang istimewa seperti kota-kota besar lainnya. Kita lah yang membuatnya jadi romantis. Dari perjalanan ini, aku harap kamu juga bisa meromantisasi kota ini dan menceritakannya lagi pada orang-orang. Agar mereka tidak hanya mengenal Pontianak sebagai tempat yang katanya katanya dulu sarang Kuntilanak.
Penulis: Ibnu Najaib