Sifat manusiawi tak pernah puas memang bisa berdampak baik untuk melebarkan suksesi usaha, pekerjaan, sampai karir politik. Apalagi jika ada kesempatan. Tetapi bagaimana jika cerita itu datang dari Kepala Sekolah yang ingin menjadi Kepala Desa?
Di SMP Negeri 59 (daerahnya sengaja disamarkan) murid-murid belajar dengan riuh rendah bahagia. Senyum hiasi wajah mereka, meskipun belajar dalam suasana panas dan bau-bau bercampur aduk dari puluhan manusia dalam satu kelas. Bau keringat, kentut, minyak wangi, minyak telon, minyak kayu putih dan berbagai elemen bau lain menyatu menjadi Avatar. Eh bukan deng.
Gurunya mengajar dengan keringat di ketek membasahi Pakaian Dinas Harian-nya (PHD). Wajahnya berusaha tersenyum, seperti seorang wanita yang menyembunyikan kesedihan sehabis retak asmara semalam. Cuma bedanya, mata si guru tidak bengkak. Ya maklum Bosque, di sekolah sana sudah pakai AC, di situ boro-boro. Kipas angin saja tidak terbeli. Hanya mengandalkan Angin Cepoi-Cepoi yang masuk dari jendela dan ventilasi. Di tambah lagi masih menggunakan kapur tulis yang membuat si guru was-was terkena TBC. Tolong jangan bandingkan lagi sama sekolah lain yang sudah menggunakan proyektor.
Lebaynya, proses belajar mengajar serasa tersangka di neraka, Panas Bung. Untung murid masih bahagia dengan proses dikejar-mengejar, dilempar-melempari, dijahili-menjahili. Seru banget pokonya cuk. Berbeda dengan ruang Kepsek yang ber-AC. Di pintunya tertulis “Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk” seakan mengatakan bahwa ruangan itu hanya untuk dirinya dan orang-orang penting. Kira-kira begitu nam.
Di masa akhir periode keduanya menjadi kepala sekolah yang tinggal daua tahun, atas dorongan teman-temannya yang bebas masuk ke ruang AC, ia mulai melakukan manuver. Boleh juga dibilang banting setir. Menjadi Kepala Desa. Ya menurutnya menjadi Kades lebih terhormat daripada turun menjadi guru biasa atau wali kelas setelah jadi Kepala Sekolah.
Konon si Kepsek mulai mencari dukungan “orang-orang kuat” di desa itu. Bermodal statusnya yang merupakan putra asli desa itu, berprestasi, ditambah berpendidikan luar pula menjadi penarik minat pemilih.
Namun ia lupa banyak guru sampai staf tata usaha yang di blacklist karena sering menanyakan hal-hal yang berani saat rapat. Mulai dari bertanya kemana uang BOS sampai kapan mereka diberi kipas angin. Oh my ghost, si Kepsek lupa kalau mereka bisa menjadi golongan oposisi yang siap menjadi penjegal jalannya menjadi orang nomor 1 di desa.
Guru dan staf TU yang sering ghibah saat Kepsek sedang ada tugas di luar kota. Mereka bernazar kalau kepsek jadi tersangka menggelapkan bantuan pembelian kipas angin untuk semua ruangan menjadi AC untuk ruangannya sendiri, golongan yang terdzolimi tadi akan patungan untuk selamatan dan memotong kambing.
Pemilihan Kepala Desa memang masih dua tahun. Namun memulai lebih awal dengan tujuan mengilaukan namanya di kancah perpolitikan desa menjadi pilihannya. Soal terkenal jangan tanya. Dari muda sudah terkenal berprestasi dan sekarang pun terkenal menjadi Kepsek pertama yang meminta sumbangan kepada wali murid untuk membangun gedung sekolah. Lah, emangnya kurang uang dari pemerintah, ucap salah satu wali murid.
Namun sampai sekarang hasil sumbangan yang konon sampai ratusan juta rupiah itu (maklum wali murid di sana rata-rata pengusaha sawit) belum terlihat wujud fisiknya. Mereka pun mulai bertanya-tanya tentang realisasi dari dana sumbangan itu. Para wali murid yang dermawan ingin menanyakannya ke pihak sekolah, namun tidak enak hati. Hanya berharap tanya terjawab oleh waktu.
Namun sampai setahun menunggu, tanya tak kunjung memperoleh jawab. Muncul berbagai spekulasi dari orang tua dan wali murid yang dermawan. Ya dermawan sih dermawan, tapi mereka juga harus tahu kemana uang yang telah mereka sumbangkan. Jangan-jangan uangnya masuk kantong Kepala Sekolah, ucap salah satu orang tua murid. Mungkin hilang waktu mau disimpan di Bank, kata orang tua siswa yang lain. Siswa pun tak kalah penasaran hingga tercipta guyonan, perut Kepala Sekolah itu buncit karena makan uang sumbangan.
Namun masalah-masalah yang membelitnya tak mengurangi kepercayaan diri kepala sekolah untuk berlaga di pemilihan kepala desa. Mulailah ia menebar senyum kepada warga desa. Tak hanya itu, ia juga berdongeng tentang program-program politiknya supaya desa itu makmur sejahtera. Ia berjanji akan menggunakan APBDesa dengan efektif dan efisien agar warga dapat menikmati pelayanan yang maksimal di desa. Ia berdongeng kepada siapa pun dan dimana pun, kalau ada yang sudi mendengar. Termasuk jika ia melihat ada guru di dalam ruangan dan tak ada jam pelajaran. Namun guru-guru yang sejak lama tersenyum di balik kebencian memilih meninggalkan dengan alasan mengajar, padahal lebih memilih lari di kantin daripada mendengar ocehan si Kepala Sekolah.
Kepala Sekolah memang sedang rajin-rajinnya menebar janji-janji politik. Namun di sisi lain guru-guru yang sudah hafal betul tabiat kepala sekolah memilih untuk bergerilya untuk menjegalnya. Ini demi kemaslahatan umat sedesa. Cukup kami yang didzolimi, kalian jangan, ucap seorang guru kepada warga.
Akhirnya taktik gerilya yang dilancarkan oleh para guru terendus oleh telinga, terdengar oleh hidung kepala sekolah. Terjadi perang dingin antara majikan dan pembantu. Namun Kepala Sekolah berlaku bijak dengan tidak marah kepada para guru dan malah memberi kipas angina kepada wali kelas yang terlihat baik-baik saja. Kaum-kaum terdzalimi pun mengendurkan serangan gerilyanya karena merasa posisinya terancam. Namun sama sekali tidak menghentikan niat awal untuk menjegal si kepala sekolah. Luruskan niat. Ya maklum namanya dendam sama halnya dengan cinta, harus terbayar lunas.
Hingga masa pendaftaran calon kepala desa, si Kepala Sekolah tak pernah terlihat. Entah sudah sadar bahwa hanya sedikit yang mendukungnya menjadi kepala desa atau karena memang sadar dirinya kurang amanah, tidak ada yang tahu.
Masa jabatan kepala sekolah sebentar lagi dan niat untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa pun tidak jadi. Lalu bagaimana nasib kepala sekolah sekarang? tunggu episode selanjutnya.
Penulis: Ucok Marselo (Bukan Nama Asli)