Berangkat dari fokus tim reporter Tabloid Mimbar Untan edisi 18 mengenai pemerataan pembangunan di Untan. Lebih spesifik, memperhatikan aliran dana negara yang dialokasikan demi terciptanya efisiensi PTN dalam menghasilkan bibit unggul generasi bangsa serta realisasi penggunaan anggaran tersebut oleh pejabat akademik.
Informasi yang didapat saat ini, penggunaan dana untuk meningkatkan optimalitas sarana dan prasarana Universitas serta tiap-tiap Fakultasnya dihasilkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB). APBN dari pemerintah pusat. PNPB dari Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), hibah serta kerjasama dana lainnya. SPP dihasilkan dari UKT (Uang Kuliah Tunggal) mahasiswa, sejauh ini, Untan sendiri memiliki 5 golongan UKT untuk mahasiswa, dimana tiap UKT memiliki perbedaan beban biaya kuliah.
Jika dicermati, UKT menjadi program yang realistis ketika melihat perbedaan kuantitas pendapatan gaji orangtua mahasiswa yang menjadi gap, sehingga hal tersebut bukan menjadi kendala ketika mahasiswa diharuskan untuk berkontribusi dana demi terwujudnya pembangunan kampus. Namun ada cacat yang sangat urgent. Berapa jelasnya sumbangsih dana mahasiswa melalui penggolongan UKT yang diberikan kepada otoritas kampus? Tidak perlu jauh mendalami bagaimana mekanisme atau cara kerja UKT. Biarpun dalam beberapa kasus masih ada penggolongan UKT yang tidak tepat sasaran, misalnya mereka yang punya kekuatan finansial mempuni tapi bisa tergolong di UKT terendah.
Tim reporter tabloid Mimbar Untan edisi kali ini pun menelusuri. Sejatinya keseluruhan SPP mahasiswa akan diserahkan ke Universitas. Ketika dana tersebut akan digunakan, Universitas hanya bisa mengajukan karena keputusan dipegang kementrian. Selanjutnya penggunaan dana yang telah dicairkan oleh pusat tersebut tercantum di DIPA (Daftar Isian Perencanaan Anggaran). BAPSI pun sempat menegaskan bahwa usulan perihal pembangunan untuk kebutuhan fakultas adalah kewenangan fakultas itu sendiri, sehingga fakultas dinilai mandiri untuk memilah kebutuhan rumah tangganya tersebut.
Permasalahan yang sangat krusial disini adalah keterbukaan informasi mengenai berapa tepatnya jumlah dana yang terhimpun serta berapa yang digunakan oleh otoritas kampus untuk pembangunan itu sendiri, khususnya keterbukaan informasi untuk para mahasiswa. Dalih oleh para pihak otoritas tersebut yang sering ditemukan, mahasiswa tidak etis untuk mengetahui mengenai hal tersebut apalagi campur tangan. Bagaimana alasan tersebut bisa menjadi kebiasaan yang ditolerir oleh publik? Pada akhirnya, tim reporter Tabloid Mimbar Untan pun tak mendapatkan berapa jelas uang yang terhimpun birokrat serta jumlah uang yang digunakan.
Berlandas dari UU No 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik mencantumkan bahwa publik berhak mengetahui informasi-informasi yang mempengaruhi kebijakan publik. Bukankah mahasiswa termasuk publik?. Lalu, Untan adalah perguruan tinggi negeri yang mendapat biaya dari APBN, didalamnya termasuk uang rakyat. Padahal, transparansi dana adalah salah satu elemen yang membuktikan suatu lembaga melakukan penyelewengan atau tidak. Seharusnya, mahasiswa bisa dengan mudah meminta pihak rektorat data pengeluaran dan pemasukan dana Untan.
Kejadian serupa menjadi dilema tersendiri bagi para mahasiswa kritis di berbagai Universitas di Indonesia. Contohnya, kejadian yang terjadi di UNHAS, UNPAD dan UGM. Di UNHAS, Al Amien, selaku Presiden Mahasiswa kala itu, mengatakan UNHAS tak sekalipun mempublikasi laporan keuangannya didepan mahasiswa publikasi hanya terkait kegiatan akademik saja. Bahkan ketika mahasiswa dengan sengaja meminta data anggaran, UNHAS masih enggan memberikannya (sumber : Portal KBR 10 Mei 2013)
UNPAD, pada diskusi antara Rektor dan mahasiswa pada tanggal 12 Desember 2012, masih pembahasan yang sama mengenai transparansi pemasukan dan pengeluaran dana kampus, rektor berdalih transparansi dana menjadi kewenangan Kementrian Keuangan, BPK dan Kementrian Pendidikan. Ini berarti keterbukaan informasi ke publik di Indonesia masih terhalang oleh budaya birokrasi yang tertutup.
Sedangkan di UGM, beberapa minggu lalu heboh didunia maya. Mahasiswa menggelar aksi besar-besaran. Salah satu tuntutan mereka adalah perihal UKT yang berlaku sejak 2013 masih cacat dalam pelaksanaan, sehingga mereka menolak kenaikan UKT 2016. Pihak rektorat, melalui media menyatakan aksi tersebut hanya sebuah simulasi perkuliahan.
Penulis : Wirza Rachman