(Resapi, bagaimana Tuhan melukiskan kisah dua manusia dengan persoalan yang persis sama namun akhir yang berbeda)
Panggilan masuk Ardi berulang kali. Menggagalkan konsentrasiku yang sedang memuncak. Tugas yang sisa waktu mengumpulkannya 3 jam terasa berat untuk diselesaikan. Aku mengeluh,
“Ah, Ardi. Baru 1 jam aku tidak mengabari sudah begini.” Eluhku kepada Nadia, teman kampusku yang seringkali kutumpahkan isi hati.
Meski sudah kutahu Nadia akan bersikap sama, memintaku segera pergi dari Ardi, setidaknya Nadia lah yang sosok pendengar yang baik. Ardi seperti bumerang bagi Nadia atas hidupku yang terkekang. Nadia, sahabatku tiga tahun, tak menyukai kekasihku satu tahun.
“Nikmati saja rasanya terkekang.”
Aku meratapi diri yang diabaikan Nadia. Dia mengerti aku ingin terbang bebas, namun rasa kasihanku mengalahkan inginku untuk pergi dari Ardi.
Nadia dengan wajah galaknya masih menatap layar laptop, tak menoleh sedikitpun. Kutahu ia ingin sekali menyumpahi Ardi yang telah mengalihkan. Sebab panggilan tak kunjung berhenti, aku terpaksa menjawab panggilan Ardi.
Halo Ardi? Kenapa?
Satu jam sudah kamu tak kabar. Dimana dan bersama siapa?
Di Goblin Cafe dan aku sama Nadia
Senyumku kecut menatap layar telepon genggam setelah membaca pesan kekhawatiran Ardi, ia pasti sedang menunggu.
Pulang aku jemput ya?
Jemput? Jangan dong, udah janji sama Nadia
Janji kemana?
Ke rumah Nadia
Tidak, disana pasti ada Yoga. Aku jemput sekarang
Ardi memutuskan telepon secara sepihak. Ia tentu keberatan jika aku mengunjungi rumah Nadia. Disana terdapat Yoga, mantan kekasihku yang secara kebetulan saudara laki-laki dari Nadia.
“Nad?” panggilku perlahan agar ia tak salah paham.
“Iya, aku paham. Selalu Ardi yang menjemput. Selalu Ardi yang berhak.”
Pandangan Nadia terus menuju laptop dan tak memperdulikan. Ia sama sekali tak mengajakku bicara setelah itu. Aku kemudian dilanda kebingungan.
“Nad? Jangan marah. Mungkin kamu harus terbiasa. Ini sudah berjalan 1 tahun. Aku sayang Ardi, Nad.”
“Iya! Semua sudah tahu kok. Liana sayang Ardi. Ardi sayang Liana.”
Aku terhenyak, Nadia sudah pada puncaknya. Baru saja aku ingin memeluk Nadia, Ardi menarik lenganku secara tiba-tiba. Ia rupanya telah sampai pada tujuan.
“Tak ada sahabat yang tak terima temannya bahagia!” bentak Ardi memecahkan keheningan cafe. Bukan hanya hening, persahabatanku dengan Nadia pun seakan retak terhempas bentak Ardi. Nadia pasti kecewa.
Aku menampar Ardi tak terima, kulihat Nadia menangis dalam diam. Meskipun tatapnya tak lepas dari layar tugas. Aku tahu, ia telah menangis.
“Tinggalkan aku. Aku pulang sama Nadia.”
Nadia menolak usapan tanganku berikutnya. Ia mengemasi barangnya dengan sigap.
“Tak perlu. Setidaknya pacarmu sudah menyadarkan. Aku bukan sahabat yang baik.” Suara getar Nadia mengejutkan seisi ruangan.
Ardi yang merasa bersalah menghadang jalan Nadia, “Nad, bukan begitu.”
“Semoga kalian tenang.”
Nadia memutuskan pergi dengan wajah menunduk. Seisi cafe mengikuti arah kepergian Nadia. Aku dan Ardi hening untuk sesaat.
….
“Bagus, Nadia juga pergi,” kini aku yang tersedu lemah. Mengusap kesedihan dan mengenang masa indahku bersama Nadia.
“Aku percaya, Li. Tapi ketakutanku mengalahkan segalanya. Aku takut kehilangan.”
“Aku tahu batasanku, Ardi. Kunjunganku ke rumah Nadia tidak untuk bertemu Yoga. Kapan kamu percaya denganku sepenuhnya?” lanjutku terisak. Ardi pasti tetap pada pendiriannya dan menjadikan Yoga sebagai sebuah ancaman.
“Kamu masih ada aku, Li. Aku juga bisa jadi sahabatmu.”
“Begitu? Bisa juga jadi orang tuaku? Semuanya? Apa harus kamu Ardi? Apa di hidupku sudah tak punya pilihan selain kamu? Aku…”
“Li, tolong. Jangan lagi.”
Ardi menatapku panik, ia menghentikan racauku yang sudah tak tertahankan. Ia mestinya tahu kalimatku berikutnya. Aku yang sudah hafal betul kebiasaan Ardi, tak sanggup lagi melanjutkan. Ardi dapat kupastikan memohon maaf atas sikapnya yang selalu dan tetap akan ‘berlebihan’.
Ardi menarikku dalam pelukan. “Biar kali ini aku yang menyelesaikan.” Hangat pelukan dan ucap Ardi kini meluapkan sedikit kesedihan. Setidaknya yang kutahu setelah setahun bersama, Ardi tetap mengingkari dan menjadikanku korban dari segala tingkah laku posesifnya. Ya, aku telah hilang akal untuk melepasnya.
Ardi,
Beritahu aku cara melepasmu tanpa harus menyakitimu terlalu jauh.
“Kita pulang, ya? Kamu harus istirahat, Liana. Masalah Nadia tidak perlu kamu pikirkan. Aku bisa menyelesaikannya. “
………
Liana,
Seringkali kau tanyakan padaku sebab apa aku selalu menghantui.
Memaksamu untuk ikuti segala aturan dan mengikuti langkahku agar kita tak berjauhan.
(Maaf bila kau merasa terganggu)
Ini hanya bentuk dari ‘aku yang selalu takut kehilangan’.
Memilikimu tentu suatu anugrah dan menjadikanku kuat sepanjang hari.
Itu tak kumiliki pada yang sebelumnya dan sepertinya hanya akan ada kau untuk seterusnya.
Liana,
Seringkali juga kau memutuskan hubungan sebab jenuhmu yang sudah keterlaluan.
Atas sikapku yang masih saja berlebihan, kau seringkali jadikan hal tersebut alasan.
Namun, aku takkan mengubah pendirian.
Kau masih ku pertahankan meski sikapmu kini telah mengabaikan keberadaan.
Penulis: Rahma Ning Tyas