Ketika Kaisar Nero duduk meratapi kota Roma, yang masih terpanggang nyala membara karena perbuatannya. Kabut menusuk napas para manula, anak-anak yang hangus menjadi abu, para wanita terhimpit reruntuhan bangunan. Hiruk pikuk mewarnai kekacauan pada sudut kota.
Terang di matanya berbinar, dimana tiap-tiap kolom, tiap-tiap kuil, tiap-tiap kemegahan yang diwariskan turun temurun menjadi rata dengan tanah beserta rakyatnya yang jatuh tersungkur, sakit, mati dan yang tidak terkubur.
“Kita akan membakar kota Roma agar bisa mendirikan yang lebih megah, tetapi buatkan peristiwa ini seolah kita diserang,” ujar Kaisar kepada Sang Jendral.
Jenderal yang dituju pun hanya mengangguk sambil memegang sangkur dengan gemetar karena yang dihadapinya adalah rakyatnya yang sedap tertidur terlelap.
Baca Juga: Kepala Biro LKBN Antara Kalbar: Persma jadi Benih Regenerasi Jurnalis Indonesia
Pada hening suara, pada nelangsa udara, diam sunyi para pelayan yang tak berkutik dan menterinya menjadi gila tak terhindar. Banyak yang memohon dan berteriak untuk sedia meminta bantuan siapapun ditengah keadaan yang begitu mencekam.
“Kota ini hancur, bangsa lain mungkin akan siap menyerang kota ini dan kita menderita karena pemerintah kita sendiri,” ucap salah seorang kakek tua yang duduk di sela-sela api yang berkobar.
Lautan api yang tak karuan mengenangi kota itu, banyak yang mengira tragedi itu akan membuat hari kiamat ataupun peringatan bahwa Tuhan sedang menghukum negeri ini karena sudah tua dan sudah masanya.
“Alangkah indah rasanya,” ungkap Nero hanya berdiri dengan meremuk batu tanpa sadar sudah menumpuk.
Lalu kiamat meniadakan fana dan semesta telah bobrok dalam karat. Sungguh rakyat kecil banyak menyesal dan merintih karena loyalitas kepadanya yang suka koar mensejahterakan dan janji tanpa jaminan. Tak ada tempat untuk para rakyat yang terdesak karena kota terbakar, demi pembangunan mewah nan berkesan untuk simbol kekuatan Sang Raja.
“Kaisar ku, apakah anda tidak tega melihat rakyat di sana merintih memohon untuk segera memerintahkan pasukanmu memadamkan api yang begitu besar ini bagaikan naga dari Utara yang siap menyerang kita,” tanya sang Menteri yang bertugas selaku logistik perang memohon kepada Kaisar yang begitu khusyuk memainkan biola untuk mengakhiri pertunjukan yang begitu pedih ini.
Baca Juga: Skema Penguasa: Setir Konstitusi, Jejaki Demokrasi
“Tidak peduli berapa banyak rakyat mati di satu malam ini yang penting posisi ku tidak akan pernah turun, jikalau aku turun, maka masih ada lagi yang akan menjalankan tugas yang sama dengan aku, hahaha dasar bodoh aku ini kaisar bukan penjual batu karang,” ujar dengan mukanya yang penuh ambisi, tutur sang Menteri sama sekali tak diindahkan olehnya.
Peristiwa inipun membuat dirinya berharap tentang kejadian di tengah malam ini adalah bukan negerinya yang penuh ambisi hidup menumpahkan darah dan hak asasi ditinggal. Kalau begini akibatnya, ya sudah kiamat saja dan hidup musnah sekalian dengan kondisi yang begitu mengerikan tanpa harus menderita, tetapi ironisnya kota Roma masih terus dikasihani oleh Tuhan dan Rakyat. Aku tidak bisa berkata-kata lagi karena perbuatannya yang bodoh ini membuatku gila tanpa arah, Oh Tuhan ampunilah hamba ini.
Penulis: Judirho