mimbaruntan.com, Untan – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) menggelar ”Kumham Goes to Campus 2023” yang berlangsung di Gedung Konferensi Teater 1 Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak pada Kamis, (15/06).
Kumham Goes to Campus 2023 merupakan program yang ditujukan untuk mensosialisasikan Undang-Undang (UU), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Rancangan Undang-Undang (RUU) Paten dan Rancangan Undang-undang (RUU) Desain Industri kepada para mahasiswa, Aparat Penegak Hukum (APH), hingga Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Di Tahun 2023, Kemenkumham RI memiliki salah satu program kerja yaitu Kumham Goes to Campus 2023 di 16 kota di Indonesia, dan Untan terpilih sebagai tuan rumah yang ke-12.
Narasumber yang dihadirkan yakni Edward O.S Hiariej selaku Wakil Menteri Hukum dan HAM, Dr. Yenti Garnasih selaku Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, I Gede Widhiana Suarda selaku Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Retno Kusuma Dewi selaku Analisis Hukum Madya serta Rizki Harit Maulana selaku Pemeriksa Desain Industri Madya
Edward Omar Sharif Hiariej, selaku Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI saat menyampaikan Keynote Speech pada kegiatan tersebut. Dalam penyampaianya, ia memberikan apresiasi kepada UNTAN yang menjadi tuan rumah ke-12 penyelenggaraan Kumham Goes to Campus 2023 dari 16 universitas yang direncanakan. Terkait dengan UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP ia menjelaskan terkait dengan inisiasi awal terbentuknya KUHP sampai dengan diundangkannya UU No.1 Tahun 2023, substansi serta visi dan misi yang terkandung di dalamnya.
Baca Juga: Bantu Penuhi Pasokan, BEM FMIPA Gelar Aksi Donor Darah
Wamenkumham RI menegaskan bahwa KUHP baru dengan KUHP kolonial adalah pengedepanan norma restorative justice, di mana hukuman yang akan diberikan bagi setiap tindak pidana akan bertitik berat pada pemulihan keadilan, bukan semata pada penghukuman. Kemudian ia mengatakan KUHP Nasional terdapat 5 misi,
- Demokratisasi yakni tidak benar yang menyatakan bahwa mengekang untuk berekspresi, berdemokrasi yang diatur dalam KUHP Nasional itu bukan pembatasan tetapi pengaturan bagaimana menggunakan kebebasan itu secara beradab,
- Dekolonialisasi, upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama, yaitu mewujudkan Keadilan Korektif-Rehabilitatif-Restoratif, tujuan dan Pedoman Pemidanaan, dan memuat alternatif Sanksi Pidana,
- Konsolidasi Penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi (terbuka-terbatas),
- Harmonisasi Sebagai bentuk adaptasi & keselarasan dalam merespon perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (Living law),
- Modernisasi: filosofi pembalasan klasik (Dood-strafrecht) yang berorientasi kepada perbuatan semata-mata dengan filosofi integratif (Dood-Doderstrafrecht-Slachtoffer) yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku dan korban kejahatan (pemberatan dan peringanan pidana).
Selanjutnya, pada sesi diskusi pertama oleh Retno Kusuma Dewi, selaku Analisis Hukum Madya, dalam paparannya menyampaikan urgensi perubahan UU No.13 Tahun 2016 ,
“Setidaknya ada tiga landasan atas perubahan UU ini, yaitu landasan filosofis yang berkaitan dengan perlindungan yang adil tidak hanya bagi kepentingan masyarakat namun juga perekonomian global, selanjutnya landasan sosiologis yaitu kebutuhan masyarakat akan peningkatan dan pelayanan di bidang paten, kemudian landasan yuridis berkaitan dengan penyesuaian-penyesuaian atas kebijakan baru, tujuannya perlindungan dan penjaminan prosedur pelaksanaan dapat berjalan sesuai perkembangan zaman serta mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme kerja sama Internasional,”ujarnya.
Baca Juga:Festival Waisak, Aktualisasi Generasi Milenial yang Bermoral
Kemudian dilanjutkan pada sesi kedua oleh Yenti Garnasih, selaku Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, ia mengatakan ada tindak pidana yang sama sekali baru yakni kohabitasi yang merupakan sebuah tindak pidana yang hidup bersama sebagai suami istri di luar status perkawinan. Selain itu Yenti juga menjelaskan bahwa ada tindak pidana baru lainnya yaitu,
“Penyesatan terhadap proses peradilan dalam konteks ini diatur untuk memidana rekayasa kasus berdasarkan rekayasa bukti atau fabricating of evidence, mengganggu dan merintangi proses peradilan yang telah diatur, tidak mematuhi perintah pengadilan, bersikap tidak hormat dan menyerang integritas terhadap aparat penegak hukum, serta tanpa izin pengadilan mempublikasikan proses persidangan secara langsung,”jelasnya.
I Gede Widhiana Suarda, selaku Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember turut melengkapi,
“Pandangan dan pemikiran bahwa hukum sebagai alasan balas dendam harus ditinggalkan, tujuan pemidanaan ini adalah untuk mencegah, rehabilitas, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan, penciptaan rasa aman dan damai serta pedoman untuk tidak menjatuhkan pidana penjara,”ujarnya.
Ia menambahkan lagi bahwa jenis pidana saat ini ada tiga yaitu pidana pokok, yang dimana pidana mati tidak terdapat lagi dalam jenis pidana ini, namun masuk dalam pidana khusus dan yang terakhir pidana tambahan.
Penulis: Bale
Editor: Hilda