“ribet amat sih? Gak cantik juga”, lantang pria pembuat onar itu. Dengan wajah sedikit manis dan pandangan yang sadis, tak membuat gadis di depannya ini mundur ke belakang.
“apaan? Suka banget ngurusin hidup orang? Udah benar lu ya”, pekik gadis di hadapan pria tersebut. Keributan semakin sengit, tak membuat seisi kelas bersedia melerai adu mulut tersebut.
Ah, pria pembuat onar itu. Selalu saja membuat masalah kemudian datang memintaku untuk membantu. Sudah kali ke berapa aku harus menyetujui permohonan untuk menyelesaikan kasus-kasus pribadinya. Dan untuk kali ini, bertambah lagi 1 kasus yang akan memberatkan hari-hariku.
Harus ku selesaikan bukan?
“kenapa sih?”, lagi-lagi pahlawan kesiangan datang melerai adu mulut yang kesekian kalinya. Di jam kosong seperti sekarang, tentu ada saja cerita rumit di salah satu kelas dengan kapasitas murid nakal terbanyak di sekolah ini. Tidak sedikit dan yang paling sering terjadi adalah perkelahian.
“nih resek, hidup aku suka banget di comment”, pembelaan gadis pemberani itu seraya menunjuk wajah pria pembuat onar tersebut.
“eh gak tau diri! Sadar dong. Muka monyet gitu. Sok banget!”, baiklah ini keterlaluan. Tak berselang lama ku lihat air mata gadis itu sudah siap untuk turun. Sedangkan pria itu, tetap setia pada pendiriannya. Niat untuk kembali melerai ku urungkan, pria pembuat onar itu tak akan paham dimana letak kesalahan dan pasti ini akan terulang di kasus-kasus Ia berikutnya. Aku lelah dan memilih pergi dengan sebuah buku romansa di genggaman. Selanjutnya, aku memutuskan untuk tak hirau dengan pertengkaran itu lalu menyusuri taman sekolahku secepat mungkin. Melihat adu mulut antara dua belah pihak yang sama keras hatinya, tentu membuat emosiku sampai pada puncak. Dan ini hanya satu, karena pria pembuat onar itu.
…
Di bawah pohon rindang taman sekolahku, tepat saat jam pelajaran kosong, hanya 1 kegiatan yang aku sering lakukan. Duduk, diam, dan membaca. Setidaknya dengan ini, pikiran yang sebelumnya berantakan dan emosi yang tadinya memuncak, perlahan membaik dengan keberadaanku di tempat yang jarang didatangi teman-teman satu sekolahku.
…
Ingatanku kembali pada pria pembuat onar itu. Panggilannya Ferdi. Ia kusebut sahabat karena kedekatan kami memang lebih dari batasan. Ojek antar jemput, teman chat dikala kesepian, juga teman cerita patah hati menjadi alasan utama kenapa aku menganggapnya sahabat hingga di detik ini. Tapi dengan sebutan sahabat, tidak berarti aku dan dia belum pernah adu mulut seperti yang ia lakukan di kelas pagi tadi. Terlihat cuek, bagi Ferdi bukan hambatan untuk tidak menjadi usil. Bahkan, aku yang sebutannya teman baik, sudah terlampau sering dijadikan bahan ejekan di kelas dan hal itu seringkali menjadi penyebab utama perkelahian kecilku dengan Ferdi selama berhari-hari.
Anehnya, perkelahian itu tak pernah sampai pada puncaknya. Selalu membaik dengan sendirinya tanpa harus ada kata maaf yang terucap.
Berbicara soal Ferdi, ini sudah waktunya ia menghampiriku di sini. Bukan hal yang baru bagi Ferdi, datang membawa masalah ketika aku menyendiri di bawah pohon tua ini. Tak perlu juga waktu lama setelah ia mendapat sebuah masalah baru, pasti ia akan secepat mungkin kemari. Ah ya, baru saja ku bicarakan.
Langkah gontai pria berkulit gelap ini berhasil mengalihkan pandanganku. Dengan wajah murung dan mata yang sayup, aku tahu ini sudah saatnya :
“maaf”
“maaf untuk?” , aku pura-pura saja lupa perihal tadi. Mendengar ia berkata ‘maaf’ adalah hobiku yang sangat berkesan untuk sekarang.
“maaf soal di kelas tadi. Aku kelepasan”
“harus gitu minta maaf sama aku? Maaf itu dengan Indah. Bukan dengan aku. Gimana sih”, Ferdi yang aneh. Bukan padaku seharusnya ia meminta maaf.
“hati orang itu beda-beda Fer. Gak semua terima kamu bentak seperti itu. Lain kali mikir. Ayo minta maaf sama Indah ”, aku melanjutkan dan berharap kali ini Ferdi akan mengerti untuk yang kesekian kalinya.
“aku gak ngerti cara bujuk dan minta maaf Lin”, baiklah ini adalah cara yang paling ampuh bagi Ferdi untuk meluluhkanku, yakni dengan cara memelaskan wajah.
“yaudah sih, ngomong aja ‘maaf aku salah’. Sisanya kalau dia masih marah, seperti biasa, aku yang turun tangan. Udah ah cepat aja minta maafnya. Ganggu aja”
“serius? Wah baiknya hehe. Siap laksanakan Lindaku! Ferdimu yang tampan ini akan segera menuju kelas dan meminta maaf pada Indah. Bye! Jangan keasikan di sini, aku tunggu di kelas”, jawabnya kali ini penuh semangat. Dengan sigap, ia berpura-pura menjadi tentara dengan amanat besar di pundak. Kemudian, Ia memutuskan untuk berbalik badan, meninggalkanku sendiri di tempat yang sepi ini.
Ah, pria itu. Melihat ia patuh dan lucu seperti ini membuatku tak berhenti tersenyum di sepanjang kembalinya ia ke kelas. Ia bukan hanya selalu bisa membuat hariku tersiksa. Lebih dari itu, hariku selalu saja lebih bahagia karenanya.
…
Sudah cukup merasa bosan 1 jam berada di taman, aku bergegas kembali ke kelas. Ini waktunya aku menghampiri Indah untuk menanyakan permintaan maaf Ferdi. Sesampaiku di kelas, tak kulihat keberadaan pria pembuat onar itu. Kesempatan yang bagus untuk menghampiri Indah.
“Indah, gimana? Ferdi ada minta maaf?”, seperti biasa. Hal ini harus kutanyakan pada lawan-lawan Ferdi untuk memastikan ucapan maaf itu bukan hanya omong kosong belaka.
Mendengar ucapanku yang barusan, Indah tampak menatapku lekat. Ia sepertinya berpikir aku begitu mencurigakan.
“iya sudah dan seperti biasa, kata maafnya sangat tidak menjamin ketenangan hidupku di kemudian bukan?”, tawa Indah. Musuh Ferdi yang satu ini sudah paham betul kebiasaan Ferdi dalam adu mulut. Bertengkar dan maaf secara berulang. Itu saja.
“hanya kamu Lin yang bisa paham kalau Ferdi udah marahgitu. Yang bisa tenangin dia. Yang bisa ambil alih perhatian dia yang usil itu. Hahaha, tatapan kalian juga beda. Seperti ada sesuatu yang gak bisa dijelasin. Ada rasa suka gak sih diantara kalian? Dibilang teman, tapi saling mengendalikan. Dibilang pacaran, tapi gak ada status”, tanpa jeda, ucapan Indah kali ini berhasil membuatku berhenti berkedip. Antara terkejut, tak mengerti, atau semacamnya. Kata ‘suka’ itu sungguh menyulitkan jalan pikiranku.
“hah? Apaan? Sok tau ih. Udah ah, kemana ya Ferdi?”, ucapku. Tanda meminta agar pembicaraan yang menyulitkan itu tidak diteruskan.
“hmm, coba lihat ke kantin. Tadi aku lihat dia sama Erika”
“Erika?”, oh iya. Wanita cantik idaman satu sekolahku. Tapi kenapa Ferdi bersamanya?
…
Langkahku berat. Aku rasa menuju kantin tak seharusnya seberat ini. Yang aku pikirkan sekarang hanya segera tiba ke kantin. Hanya itu. Tapi hatiku berkata lain, seperti ada yang memintaku untuk berhenti. Baiklah, lupakan tentang berhenti. Semua terlambat. Kakiku sudah tiba di teras kantin. Menebarkan pandangan ke seisi kantin mencari keberadaan Ferdi yang menurut Indah sedang bersama Erika, idola sekolahku.
Dapat, dia sedang di pojok kantin. Baiklah, di detik berikutnya menyakitkan. Ferdiku yang tampan kini sedang memeluk Erika erat. Kuulangi, temanku yang satu ini sedang berpelukan dengan gadis lain selain Ibunya di depan mataku. Apa ini? Ah,Tuhan kuatkan.
Kenapa sesulit ini sekarang aku bernapas? Seperti sesak tapi mungkinkah? Temanku itu sedang bahagia, kenapa aku serapuh ini sekarang? Perasaan apa ini? Ada sisi tak terima melihat pria itu dipeluk gadis selain aku, Tuhan. Pantaskah kusebut ini ‘cemburu’ antara dua orang sahabat yang masih baik-baik saja pagi tadi?
Air mata tak tertahankan dan pedihku sampai pada akhirnya. Aku cemburu. Aku benar-benar cemburu. Melihatnya sekarang banyak menyadarkanku. Peduliku, marahku, khawatirku itu bukan tanda aku sahabatnya saat ini. Ternyata lebih dari itu, aku lebih suka kata ‘sayang’ menandakan semua perasaanku di kala itu. Ah, Ferdiku. Tangisku pecah. Baru saja pagi tadi ku tersenyum karenamu yang patuh dan lucu. Kini senyumku berubah kecut. Senyumku tak lagi menjadi tandaku bahagia bersamamu. Senyumku kini palsu.
Baiklah, berikutnya aku harus beranjak pergi. Ini kekalahanku. Aku kalah menjaga hati sebagai sahabat. Aku pergi, Ferdi. Jaga diri. Cintaku datang terlambat untuk ku sadari sendiribukan?
Penulis: Rahma Ning Tyas