“Pagi!”, pekik Lala merusak keheningan kamar. Aku yang sedang menikmati pagiku dengan tenang, pasti akan terganggu dengan kehadiran wanita yang satu ini. Di umur yang sedang berjalan 23 tahun, tak membuat wanita yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar ini bersedia bersikap dewasa dan menjaga sikapnya dengan lingkungan sekitar. Hal ini yang tentunya membuatku ‘betah’ menjadikannya pasangan hidup selama 4 tahun terakhir. Ia beda dengan segala kesempurnaannya.
Nabila Oktaviani, lengkap gadis ceria penuh misteri. Aku tahu kehadiran gadis sepagi ini, merayakan hari jadi kami yang ke 4 kalinya. Dengan sebuket mawar putih ia melangkah dengan tegap laksana prajurit mau perang. Ah, Lala. Wanita yang satu ini, dengan keadaan tubuhku yang hanya bisa terbaring seperti ini saja, tingkahnya masih mampu ceria tanpa sedikitpun terlihat luka di hadapanku.
“Happy Anniversary ke- 4 sayang! Ayo bangun. Sudah ku bawakan gado-gado kesukaanmu. Kubuat sendiri loh. Ayo bangun.” Guncang Lala membangunku perlahan. Aku yang sudah sedaritadi bangun, pura-pura saja melanjutkan tidurku yang langka. Sakitku yang makin hari makin menyiksa membuat tidurku samakin tak menentu waktunya. Berdiam diri di kamar ICCU selama 2 tahun seperti ini membuatku benar-benar lupa rasanya menjadi manusia normal lainnya. Tidur dan makan adalah rutinitas harianku. Beruntungnya, ditambah dengan kunjungan Lala membuat hari-hariku menjadi jauh dari kata memuakkan meskipun harus berjarak dengan rutinitas manusia kebanyakan.
Aku tetap pada menutup mata. Lala pasti kesal sudah ku diamkan setengah jam lamanya. Gerak-geriknya agak ku tangkap sedikit lewat intipan. Ia sudah tampak lelah mondar-mandir dengan sedikit berteriak di kamar rawat pribadiku. Ingin rasanya tertawa dengan segala tingkah lucunya, tapi ku usahakan tetap tenang dan menikmatinya dengan tawa tertahan.
Seperti sudah sampai pada batas, Lala memutuskan beranjak dari sofa menuju kamar mandi. Pikirku pasti ia ingin buang air kecil. Aku melanjutkan sandiwaraku yang cukup panjang. Lelah juga sebenarnya, tapi melihatnya sedikit panik itu adalah hiburan terbaikku, selain melihatnya merajuk dengan memasang wajah ciri khas seorang Lala. Baru saja ku tertawa dan membuka mata sekilas mengingat raut wajah itu, suara teriakan Lala membuatku terkejut setengah mati.
“Sayang!”
“Ya. Lalaaaa? Kenapa? Kamu kenapa? Laaa.” Aku panik, ku tarik tiang infusku secepat mungkin. Langkahku terseok-seok. Namun, mendengar teriakan Lala membuatku tak sanggup tetap berdiam di ranjang. Ia butuh pertolongan.
…
Sesampaiku di depan pintu kamar mandi, aku berdoa agar yang kulihat berikutnya adalah Lala yang sehat sejahtera. “Opo kowe krungu, jerit e atikuuu.” Suara kunci pintu kamar mandi terbuka. Kurang asam. Lala mengerjaiku sepagi ini. “Eh, sayaaang. Loh kelamaan ya. Kamu kebelet?” Nada mengejek Lala berhasil membuatku tertangkap basah sedang panik berusaha menemuinya dan ini yang kusuka. Lala selalu memperlakukanku seperti orang sehat lainnya. Memintaku berlari, memukulku pelan, serta mengajakku makan jajanan di luar yang dibawanya ke kamar.
“Kenapa teriak?” Kesalku.
“Loh, aku nyanyi loh sayang. Mengharap engkau kembali~.” Baik, kali ini aku yang merajuk, peristiwa barusan jelaskeusilan Lala.
Aku kembali menuju tempat tidur, ingin teriak rasanya. Niat ingin bersandiwara penuh menjadi sia-sia. Hanya sekali teriakan Lala, rencanaku gagal total. Dengan gerak cepat, ia menyeimbangi langkahku agar bisa membantu. Benar, berjalan dengan tongkat infus seperti ini cukup sulit. Terlebih dengan langkahku yang berat sambil membawa beban menambah kelambatanku dalam berjalan.
“Nah sayangku yang kebetulan sudah bangun dan segar. Ini sudah waktunya menyantap gado-gadoku yang lezat.” Gerak-geriknya membuka rantang makanan sangat memukau. Tatapanku tak berhenti di lengkungan bibir itu. Kulanjutkan menatap bola mata coklat Lala yang semakin lama semakin membuat senyumku mengembang maksimal. Ia asik menyiapkanku sarapan hingga lupa wajahnya sedang kunikmati keindahannya lekat-lekat. Sadar ia ditatap lama, “Kamu rindu aku sayang? Bentar ya, makan dulu. Baru boleh ngeliatin gitu.” Ah kurang asam. Lala ku ini keterlaluan perihal percaya diri, keterlaluan. Kalau sudah begini, rasanya ingin ku cubit pipinya yang gembul itu.
“Ayo buka mulut,” Baik, ini adalah penyiksaan. Lala adalah wanita terjahat menurutku, kalau sudah memaksaku untuk makan. ia akan memperlakukan seperti bayi yang butuh asupan, bukan kekasih sakit yang butuh perhatian.
“Makan! Buka mulut! Cepat! Aku bangun pagi-pagi buat ini, bukan cuman buat pajangan. Lihat coba badan kamu. Kurus dan item. Jelek!” Hiks, Ia cepat menangkap wajahku. Memaksa mulutku terbuka agar bisa ia suapi makanan. Hampir saja aku menangis disiksa oleh pacarku yang manis berhati sadis ini.
Kutelan cepat makananku, lezat juga rasanya. 30 menit waktuku habis untuk makan gado-gado buatan Lala disela-sela candaan kami yang begitu menghibur hariku yang terlalu lama suntuk di batas tebalnya kamar rumah sakit ini. “Kenapa bawa bunga? Itu menyedihkan.” Ucapku membuka keheningan setelah selesai menyantap sarapan.
“Itu romantis. Bunga mawar itu romantis sayang. Aku suka.”
“Seharusnya aku yang beri bunga itu ke kamu kalau itu yang kamu suka. Ini lucu.”
“Gak masalah. Aku senang melakukannya.”
“Aku gak senang. Setidaknya kamu minta lalu aku akan menyuruh Bima ke toko bunga biar bisa dikirim langsung ke rumahmu. Itu lebih romantis.” Aku menghembuskan nafas kasar. Ini menggores hatiku. Lala selalu membeli bunga kesukaannya sendiri terhitung setelah aku didiagnosa leukimia 2 tahun yang lalu. Dengan membeli sebuket bunga itu, ia selalu mengatakan bahwa itu hal terindah. Sedangkan aku, aku hanya sanggup meraung-raung di dalam hati. Merasakan wanitaku harus mengorbankan banyak waktu dan perasaan hanya agar bisa bersamaku sampai di detik ini. Bahkan dalam perihal membahagiakan diri, ia bersedia melakukannya sendiri tanpa pernah meminta bantuan
Ia hanya menjawabku dengan senyumnya yang menenangkan. Seorang Lala pasti tahu arah pembicaraanku berikutnya. “Kenapa sih enggak cari yang lain? Yang bisa bawa kamu naik gunung lagi, nonton bioskop, makan di pinggir jalan, dan banyak hal yang kamu suka. Aku benci kamu yang bertahan.” Aku tahu kalimatku menyakitkan. Tapi aku juga tahu bahwa Lala pasti rindu caraku memperlakukannya dahulu. Lala pasti rindu aku yang sehat dan tampan. Ia pasti berharap aku sembuh suatu saat nanti. Aku terpukul.
Entahlah, kesembuhanku adalah tanda tanya yang belum terjawabkan saat ini. 2 tahun bukan waktu yang sebentar untuk proses penyembuhan. Aku saja bingung menjelaskan. Pertama kali ku terima kabar perihal sakit ini, aku sedang bersama Lala dan Bunda. Dan kalian tahu apa yang terjadi berikutnya? Mereka bedua pingsan bersamaan! Bagaimana bisa aku yang sakit disini harus membawa mereka juga ke ruangan untuk dibuat sadar. Sungguh hal yang konyol untuk seseorang yang sakit leukimia membopong wanita-wanitanya yang pingsan.
Tapi disinilah aku sekarang, ketika Bundaku harus pulang ke rumah, jadilah Lala yang menggantikan Bunda kemudian. Mereka selalu bekerja sama dalam merawatku, hingga pernah suatu ketika Lala membawa proyektor dan speaker hanya agar aku bisa menonton fillm Star Wars, kesukaanku bersama Bunda dan Ayah juga. Aku suka ia yang penuh kejutan. Aku ingin bersamanya hingga tua. Namun sulit ku cerna. Ia tak sepantasnya bersamaku yang penyakitan. Ia berhak mendapatkan pria yang jauh lebih membahagiakan bukan?
Ini sudah pernah ku pinta baik-baik. Tapi ia selalu membela diri dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Ah Lala, bersamaku itu tak pasti, Sayang.
“ Cari aja yang lain, La. Cari yang gondrong. Kan sukanya yang gitu. Aku aja udah dapat yang baru. Yang wajahnya tirus, enggak gembul.” Lanjutku untuk memancing perdebatan.
Ia menatapku lekat. Aku tahu, dia tahu perihal ucapku yang barusan hanya omong kosong. Dengan santai, ia menghampiriku di ranjang dan duduk di sisi. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Semakin dekat, semakit ku tahan nafasku. Sungguh, ini membuatku tak sanggup menahan degup. Peristiwa ini berlangsung cepat untuk menarik wajahku menjauh. Detik itu, aku pikir ia akan membaurkan sepasang bibir. Sayangnya, wajah Lala terhenti di hadapan. Nafasku yang sudah tak teratur pasti sudah terdengar dan terasa oleh Lala.
Ia tertawa lalu tangannya menyusup ke tas kecil pemberianku 3 tahun yang lalu. Ia seperti sedang meraih sesuatu.
“Mundur,” Kukibaskan tanganku agar ia segera menjauh. Aku tak mau jantungku copot hanya karena wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku. 4 tahun tentu tak membuatku berhenti sulit bernafas dan jantung berdegup kencang disaat Lala sedekat itu.
Ia segera memundurkan wajah lalu memutuskan untuk kembali mencari sesuatu yang belum didapatkannya di dalam tas. Ia tampak panik sekilas kemudian tersenyum menang ketika sesuatu itu dirasa ada di dalam genggaman namun urung dikeluarkan.
“Ayo duduk,Angga! Ada sesuatu.” Lala membantuku bangkit dan menutup mataku dengan sehelai kain hitam dari dalam tasnya.
“Aku tak terima jika sesuatu itu adalah boneka minions. Boneka-boneka yang katamu hadiah akan kubuang, bila kali ini tetap minions.” Ucapku kesal. Aku tak suka minions. Tapi selalu saja Lala berikan untukku di setiap tahunnya.
Seperti kesal dengan ucapanku, Lala mengikat kepalaku sedikit keras dan berhasil membuatku kesakitan. Tapi tetap tak membuatnya merasa bersalah. Dasar.
“Baiklah. Akan ku mulai. Siapkan jantungmu. Aku tak bertanggung jawab jika kamu jantungan setelah ini.” Mudah bagi Lala mengatakan hal semacam itu pada prianya yang tampan dan menggemaskan ini. Heran.
“La, aku belum siap punya anak. Jangan terburu-buru gitu. Aku malu.”
Plakk. Baiklah, aku tahu lenganku sedang memerah saat ini. Ia sedang tidak bercanda.
…
“Baik, kepada kekasihku selama 4 tahun. Suka duka kita lalui bersama. Termasuk disaat aku jatuh dan bisa bersinar seperti sekarang, semua tak lepas karenamu hehe. Maaf bila kekanakanku sudah banyak menguras sabarmu. Maaf juga jika pernah suatu ketika aku menyakitimu lewat ucap maupun tingkah. Itu semua pada dasarnya aku teramat sayang. Melihatmu sampai saat ini adalah anugerah. Itu artinya Tuhan masih ingin kita bersama. Tuhan ingin kita bahagia bukan hanya sebagai sepasang kekasih yang selamanya hanya berstatus kekasih. Tuhan tentunya menginginkan kita lebih dari ini bukan?”
Aku mencermati kalimat Lala perlahan. Inginku buka tali penutup mata, namun ditahan Lala secepat mungkin. Ia lalu menggenggam tanganku erat. Ia berkeringat dingin saat ini.
5 menit saling menggenggam, ia tarik penutup kepalaku perlahan. Yang kulihat saat itu adalah sepasang cincin berlian di hadapanku. Ini membuatku membisu seketika.
“Jadi, dengan semua yang kita jalani selama 4 tahun. Kepada Angga Fitra Ramadhan. Bersediakah engkau, jalani sisa-sisa hariku di dunia sebagai seorang suami juga Ayah bagi anak-anakku kemudian?”
Hatiku bergetar. Apa aku sedang dilamar oleh seorang Lala? Lama ku terkejut, membuat pipiku deras dengan air mata. Lelaki macam apa aku ini, membuat seorang wanita melamar? Aku terisak.
Sekarang ada Bunda dan Ayah yang menyaksikan. Entah kapan mereka masuk, yang pasti aku terpukul saat ini. Bukankah telah rusak harga diri Lala yang memilih melamar seorang pria seperti sekarang ini? Apalagi seorang Angga, yang hanya bisa terbaring. Itu tak akan membuat Lala akan bahagia di hari tuanya. Aku bukannya beban?
“Bersamaku, kita bersama lawan penyakitmu itu. Aku akan mendampingimu, tanpa perlu kamu takut akan memberatkan hari-hariku. Memilikimu sah dan membantumu sembuh adalah cita-citaku berikutnya setelah menjadi guru. Jadi berkenanlah sayang untuk menjalani hari sebagai sepasang suami istri.”
Aku sulit untuk tidak terisak. Kupandang lekat Lala tanpa jawaban sedikitpun. Detak jantungku sudah sulit kutahan. Perasaanku terlanjur campur aduk sekarang
“Aku tidak terima penolakan. Ayo, bawakan jari manismu. Ku pasangkan cincin pemberian Ayah dan Bunda.” Ditariknya lenganku, namun segera ku tepis kasar tangan mungilnya.
“Kamu pikir ini lucu? Melamar aku yang hanya mampu berbaring ini? Kamu pikir akan semudah itu menjalani rumah tangga bersama seorang pengecut seperti aku? Yang dengan brengseknya membiarkan wanita sesempurna kamu melamar? Hah!” Aku membentak dengan keras. Aku berhasil membuat Ayah dan Bunda juga Lala terkejut setengah mati.
Air muka Lala berubah. Aku tahu ia sedang menahan perih setelah kubentak. Ayah bersiap maju untuk menampar wajahku yang tak tahu malu ini. Ayah pikir, pasti aku tidak beres, menolak lamaran Lala yang bodohnya bersedia melamarku duluan.
Ku sambung kalimatku segera, aku tak mau Ayah lebih dulu menamparku di depan Bunda dan Lala,
“Lalu sekarang, kamu memaksa memberikan jari manisku untuk kamu pasang cincin itu terlebih dulu? Dimana letak aku sebagai lelaki sekarang? Ini berlebihan, La. Berlebihan kalau kamu pikir aku hanya lelaki yang menerima apa saja yang kamu perlakukan… Aku ingin juga memulai sesuatu. Jika melamar telah kamu lakukan. Sekarang ijinkan aku yang menyematkan cincin itu dahulu. Ijinkan aku memulai sesuatu yang seharusnya lelaki lakukan sekarang.”
Seisi ruangan menyepi. Ayah berhenti melangkah dan Lala menyudahi isak setelah kubentak. Lala terdiam sejenak lalu paham seutuhnya. Ia menangis sambil memberikan kotak cincin di genggaman.
“Bawa kesini jari manismu. Dan ayah bunda, Angga minta tolong jadi saksi lamaran ini. Bersama Lala, aku akan menjadi sepasang suami istri seperti kalian. Saling mengayomi dan mengasihi. Yang tak akan meninggalkan sebelum maut memisahkan.” Kusematkan lingkar emas di jari manis sang calon istri. Lala menangis, ia terlihat terharu kali ini ku buatkan. Maaf sayang, maaf harus membentak terlebih dahulu. Aku hanya suka sensasinya. Maafkan aku.
…
Nabila Oktaviani, harus menjadi suami seperti apa aku kelak? Bahagia seperti apa yang ingin kamu dapatkan setelah menjadi istriku kemudian? Berencana menikah dan bulan madu kemana kita setelah ini? Memiliki rumah idaman berbentuk apa yang kamu impikan?
Tak terbatas pertanyaanku padamu saat ini. Berharap dari segala jawaban mampu membuatku tak salah melangkah dan tetap terlihat sempurna di matamu, Sayang. Aku memang tak dapat bergerak dan bekerja seperti 2 tahun silam. Tapi aku bersedia menjadi tempatmu menaruh lelah disaat bekerja maupun masalah dari dulu hingga hari kemudian. Jangan berhenti mencintai. Karena cintamu sudah mendarah daging di hati dan akan sulit aku berjalan bila bukan kamu penuntunku di hari tua nanti. Tetap bersamaku, bantu aku sembuh, kita jalani rumah tangga seutuhnya dan bahagia untuk selamanya.
Penulis: Rahma Ningtyas