mimbaruntan.com, Untan – Hidup dalam era digital saat ini tentu membuat kita tak asing dengan berbagai bentuk tulisan, gambar, audio, atau video yang tersedia dalam media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan platform-platform media sosial lainnya. Secara umum, orang-orang menyebutnya konten. Konten yang marak muncul di platform-platform media sosial biasanya berisi informasi, motivasi, opini, promosi, atau apa saja tergantung pada tujuan dan kebutuhan dari pembuat konten, atau yang lebih akrab disebut Content Creator (Kreator Konten).
Creator content sendiri saat ini telah menjadi suatu profesi yang banyak ditekuni dan terbukti menghasilkan keuntungan, baik berupa uang, barang, maupun bentuk keuntungan lain yang bersifat mutual. Waktu kerjanya yang fleksibel dan tidak mengikat membuat creator content dapat ditekuni sebagai suatu pekerjaan sambilan, di samping profesi utama seseorang, maupun sekadar penyaluran hobi. Pembuatan konten juga dapat dilakoni dari mana saja dan oleh siapa saja, tanpa memandang gender, usia, maupun profesi, tak terkecuali mahasiswa. Hal ini paling gamblang terlihat dari pengelolaan akun-akun media sosial organisasi kemahasiswaan yang pada umumnya dituntut untuk terus update, dengan tetap memerhatikan estetika. Semakin aktif dan kreatif pengelolaan suatu akun organisasi mahasiswa, semakin bertambah pesonanya pada lingkup kampus. Tak mengherankan bila mulai banyak pelatihan desain hingga pembentukan klub kreasi konten yang dilakukan baik dalam lingkup Hima, UKM, maupun BEM untuk memfasilitasi anggotanya.
Konsep konten-konten yang dibuat oleh organisasi mahasiswa pada umumnya akan menyesuaikan dengan tujuan pembentukan dan bidang ilmu yang menjadi konsentrasi dari organisasi tersebut. Sebagai contoh, Hima-hima di bawah naungan Fakultas Kedokteran, misalnya, akan cenderung membuat konten yang berhubungan dengan isu kesehatan, sementara UKM Keagamaan akan lebih condong membahas isu-isu seputar agama. Budaya penggunaan konten dalam organisasi mahasiswa juga pada dasarnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan promosi kegiatan maupun tujuan komersil lainnya, seperti penjualan produk dan kemitraan. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa penggunaan konten untuk keperluan organisasi tergolong efisien di era digital seperti sekarang ini.
Baca Juga: Iklan Perempuan: Antara Kesetaraan Gender dan Budaya Patriarki
Namun, seperti pepatah “Tak ada gading yang tak retak,” budaya konten ini pun tentu memiliki celah kecacatan. Maraknya konten di jejaring media sosial membuat banyak content creator yang tak hanya merancang ide kontennya sendiri, namun juga dapat mengadopsi konten-konten milik kreator lain yang sedang menjadi tren. Dibandingkan dengan konten yang diracik sendiri, mengadopsi sebuah tren memiliki kemungkinan lebih kecil untuk dilakukan penyaringan oleh kreator, sebab bila hasil konten jauh berbeda, dikhawatirkan tidak akan cukup kompetitif untuk bergabung dalam tren tersebut. Antusiasme yang berlebihan dan didukung dengan kurangnya kesadaran untuk memilah inilah, kemudian menimbulkan kecacatan dari sebuah konten yang justru luput dari mata kreatornya sendiri.
Sebagai contoh, bila menoleh sedikit ke belakang pada April 2022 lalu, kita masih bisa melihat jejak-jejak digital pada aksi penolakan isu masa jabatan tiga periode untuk Presiden. Ketika itu, muncul tren berupa spanduk bertuliskan hal-hal yang mengarah pada vulgarisme sebagai bentuk protes yang dibawa masa aksi, seperti “Mending 3 ronde, daripada 3 periode,” di sejumlah kota di Indonesia. Hal ini tentu menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan masyarakat, maupun di kalangan mahasiswa itu sendiri. Bagi kelompok yang kontra, hal-hal berbau vulgar seperti ini tidak pantas dipertontonkan oleh mahasiswa yang merupakan lapisan terdidik dan satu di antara penyambung lidah dari masyarakat. Sementara sebagian lain yang mendukung, menganggap aksi ini sebagai bentuk sarkasme yang menggelitik.
Terlepas dari adanya pro dan kontra atas aksi tersebut, juga atas kemungkinan bahwa para pelaku hanyalah oknum yang sekadar ikut-ikutan aksi demi kebutuhan sosial media, agaknya kita memang perlu mengakui bahwa mahasiswa wajib berhati-hati atas setiap perilaku yang ia buat atas nama almamaternya. Pasalnya, dalam era digital ini orang-orang berhak dan memang akan cenderung menilai berdasarkan apa yang dipertontonkan dari layar mereka. Pemirsa dalam sudut pandangnya tetap akan melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang vulgar, tanpa menghiraukan kemungkinan pemilihan kata “ronde” sebagai sesuatu yang dekat dengan “periode”, maupun alasan lain di balik tindakan sang kreator. Hal ini karena perihal konten, pemirsa hanya akan mengambil kesimpulan berdasarkan yang tampak pada kontennya, tanpa memedulikan perkara di balik layar.
Baca Juga: Politik Kampus atau Kakus?
Sebagai contoh lain, mengutip pada unggahan reel Instagram salah satu Himpunan Mahasiswa di lingkungan FKIP Untan tanggal 20 Oktober 2022, terlihat bahwa dalam video promosi tersebut terdapat sebuah adegan di mana salah seorang pemeran meninju sebuah botol plastik hingga terlempar ke halaman, tanpa bermaksud ditujukan ke tempat sampah. Meski secara keseluruhan video ini bertujuan untuk mempromosikan suatu usaha dan sampah-sampahnya mungkin telah dibereskan setelahnya, tetapi tetap terdapat adegan yang dari perspektif sebagian orang terlihat seakan mencontohkan bahwa melempar sampah plastik ke mana saja bukan sebuah masalah. Lagi-lagi, muncul sebuah cacat karena ketidakhati-hatian dalam mengadopsi sebuah tren. Maka perlu pula rasanya untuk menekankan sekali lagi, bahwa dalam era digital, pemirsa menarik kesimpulan berdasarkan perspektifnya atas informasi-informasi yang ditampilkan saja, tanpa memedulikan urusan di belakang layar.
Pada akhirnya, serupa karya lain, sebuah kreasi konten tetap tak akan bisa sempurna, juga akan selalu ada pihak yang suka dan yang tidak. Itulah mengapa kecerdasan dan kehati-hatian seorang kreator amat dibutukan dalam merancang sebuah konten. Terlebih kreator sekelas mahasiswa sebagai kaum intelektual atau organisasi lingkup kampus. Penting bagi mahasiswa untuk memastikan bahwa kontennya dibuat dengan tujuan baik dan dikemas secara baik, tak sekadar ikut tren tanpa memilah mana yang kurang pantas. Tak kalah penting dari itu semua, mahasiswa agaknya perlu jua mempersiapkan mental untuk kritikan yang mungkin diterima atas setiap kontennya, mengingat konten yang diperuntukkan ke publik berarti berhak untuk dikomentari siapa saja. Bukankah yang gencar bicara soal ketahanan mental pada mahasiswa baru, mentalnya tak boleh runtuh hanya karena kritikan atas kontennya?
“Ada banyak hal yang lazim bagi kita semua—kelahiran, kematian, dan seumur hidup penuh dengan kesalahan, kekeliruan, dan kejanggalan.”
-Dale Carnegie
Penulis: Monica Priska Aprilia W.