Replikanya terpampang di sebuah halaman hotel pinggir kota. Biru pucat. Tampak dingin. Tapi wajahnya bengis, terlihat dari lekuk garis muka yang membentuk. Dulu ia primadona masyarakat pinggir kota ini. Perempuan yang dulunya senang dengan gaun mengembang kini justru telanjang di bawah matahari.
Lumut-lumut pekat mulai menggerogoti ujung kuku kakinya. Ia mati, walau dikelilingi ratusan tanaman liar yang mulai meninggi menggerogoti tungkainya. Ia mati tapi tetap tegak dalam replika raksasa. Ia mati tapi tetap dipuja. Dipuja hingga puluhan sesajen datang silih berganti dari siang, kembali siang.
Siang itu, seorang pria dengan tubuh tegapnya membawa segenggam lili putih. Ia melangkah pelan dengan harap-harap cemas. Ntah apa lagi yang akan ia temukan
digundukan tanah itu. Terakhir kali ia berkunjung, puluhan sesajen harus ia singkirkan.
Ujung bibirnya sedikit tertarik, matanya berbinar “Aku datang, lagi” gumamnya pelan.
Aroma sesajen selalu membawanya menuju lorong ingatan yang gelap, dikelilingi sunyi yang sangat nyaring. Aringga lelaki itu biasa disapa, berdiri tepat di hadapan replika sang primadona seolah menjadi pusara sang primadona, primadona yang memberinya kehidupan, memberinya air susu hingga mengantarkan langkah kaki pertamanya menuju masa depan.
Ingatan samarnya perlahan terbentuk, menerka-nerka setapak yang pernah mereka lewati. Bingung, tapi terasa tak begitu asing baginya. Ia isap cerutunya dalam-dalam, asapnya membuncah tersapu udara dingin.
Baca juga : Digugu dan Ditiru, Berhasrat dan Sesat
Aringga terhenti pada persimpangan, riuh lalu lalang orang-orang di jalanan sedikit memberikan angin segar baginya.
Tapi sejenak mata ia tertuju pada seorang perempuam paruh baya di seberang sana. Seakan mengingatkan pada sosok yang telah mengubah pandangan hidupnya. Aringga perlahan mengampiri perempuan yang sedang membawa sekantung beras yang barusan didapat dari sisa-sisa keiklasan. Lelaki dengan penuh keyakinan itu coba menegur nenek yang berjalan lambat.
“Mak Cu Mis”, perlahan nenek tua berbalik pandangan dan seketika hening. seakaan -akan Aringga menemukan sosok yang pernah merawat hidupnya. Tetapi harapan itu pupus ketika ternyata sosok yang ia cari selama ini sudah tiada. Aringga tersandar pada bahu jalan, memejamkan mata sambil menggerutu “hidup ini kejam”. Seketika lalu lalang kerumuman memperhatikan gerak-gerik pemuda yang penuh dengan keputusasaan.
____________________
Cerpen berantai ini dibuat dadakan saat duduk bersantai menumpang teras kantor orang sambil menyikat sepatu dan bermain ps.
Penulis : Ilham, Feisal, Tysa, Winda, Mara